putaran tasbih masih terbata,dan aroma embun menghapus gamang
sedikit cerita malam tadi kututurkan kepada jingga yang tersenyum perlahan
aku masih ingin bersamamu
mengikat hiruk-pikuk senja
dan aku tetap ingin bercengkrama denganmu,
ketika langit bergemuruh,mendegupkan gerimis lalu.
pagi ini,kubiarkan dingin mendekap nadiku,
hingga beku,lalu hangat membakar rindu bak candu
penantian yang lama kutunda
pada kemarau yang memarau
pada gerimis yang mengiris.
lalu kusisakan tawa dipucuk kabut
yang bersolek pada kirana
pada candra yang memucat
pada surya yang mungkin datang terlambat.
Jumat, 19 Juli 2013
Kamis, 18 Juli 2013
THE MARGINAL SAY
Ketika sang troroar bernafas tersendat,ku disana
di gerbang pekat,ironi hidup dalam dekapan kota
langkah tertatih,langkah tergesa,langkah tak tertuju
kamilah jelaga,kamilah noda,kamilah sampah tercecer
pada rimba raya yang tak pernah bersahabat dengan kami
kupasungkan ingin.
Tengoklah tubuh kami yang kering,kerontang
tanpa jasad,hanya belulang tergarang
tapi ku kokoh tergopoh
mencari dan terus mencari,adakah sedikit iba kau selipkan di jari manismu,wahai penguasa
sedang kami hanya menanti,dan mungkin terus menanti kepastian tak pasti.
kami ada,
selalu akan ada
pada debu,pada asap,pada denting denting dawai gitar disudut Semanggi
nyanyianku terus bercanda dengan polusi,trotoar hingga kolong jalan layang Cawang
lihat wajah kami,sedikit pasrah namun tak pernah ragu
kami berlari dan kami menari
pada ujung aspal
pada terminal
pada sekat-sekat pekat onggokkan Jakarta.
Pagi,siang,malam sahabat
menanti,menghiba,tak berpantang
lelah,jengah kutunda sementara.
Biar ku tersenyum,meski terkulum
atau tertawa,walau terbata
beri kami hidup,
dan beri kami kehidupan.
Pada ranting ibukota,kugantungkan harapku
pada pucuk-pucuk beton ku merayu
pada atap-atap jalanan ku menghapus ragu,
disini,di belantara hidup terluka
kutunggu kejujuran
tentang gita bahagia
lamggam dahaga.
di gerbang pekat,ironi hidup dalam dekapan kota
langkah tertatih,langkah tergesa,langkah tak tertuju
kamilah jelaga,kamilah noda,kamilah sampah tercecer
pada rimba raya yang tak pernah bersahabat dengan kami
kupasungkan ingin.
Tengoklah tubuh kami yang kering,kerontang
tanpa jasad,hanya belulang tergarang
tapi ku kokoh tergopoh
mencari dan terus mencari,adakah sedikit iba kau selipkan di jari manismu,wahai penguasa
sedang kami hanya menanti,dan mungkin terus menanti kepastian tak pasti.
kami ada,
selalu akan ada
pada debu,pada asap,pada denting denting dawai gitar disudut Semanggi
nyanyianku terus bercanda dengan polusi,trotoar hingga kolong jalan layang Cawang
lihat wajah kami,sedikit pasrah namun tak pernah ragu
kami berlari dan kami menari
pada ujung aspal
pada terminal
pada sekat-sekat pekat onggokkan Jakarta.
Pagi,siang,malam sahabat
menanti,menghiba,tak berpantang
lelah,jengah kutunda sementara.
Biar ku tersenyum,meski terkulum
atau tertawa,walau terbata
beri kami hidup,
dan beri kami kehidupan.
Pada ranting ibukota,kugantungkan harapku
pada pucuk-pucuk beton ku merayu
pada atap-atap jalanan ku menghapus ragu,
disini,di belantara hidup terluka
kutunggu kejujuran
tentang gita bahagia
lamggam dahaga.
Sabtu, 13 Juli 2013
SEDANG TIDAK INGIN BERDEBAT 2
Aku sedang tidak ingin berdebat
kelulah jemu mu sebentar
pendarkan pada langit-langit kamar,bila perlu
atau titipkan pada burung yang segera beranjak menyentuh mega
lipat segera,sampai semuanya lepas,tak berbekas.
Dan aku lagi tak ingin berdebat
tikam amarahmu secepatnya
jangan biarkan badai mendekap pantai diammu
kalau perlu tahan gerimis,ombak dan rintik yang menyiksa
lakukan segera sebelum waktu benar-benar mengakhiri abdinya.
Mendekatlah,perlahan
cuerahkan kesahmu pada desah
pada beranda jiwa yang mengembun diujung pagi
pada cermin diseberang kamar,pada dinding yang terkekeh
dan pada apapun
tersenyumlah,mungkin tertawa hingga terbahak
menarilah
sebab akupun tak ingin berdebat,lagi.
kelulah jemu mu sebentar
pendarkan pada langit-langit kamar,bila perlu
atau titipkan pada burung yang segera beranjak menyentuh mega
lipat segera,sampai semuanya lepas,tak berbekas.
Dan aku lagi tak ingin berdebat
tikam amarahmu secepatnya
jangan biarkan badai mendekap pantai diammu
kalau perlu tahan gerimis,ombak dan rintik yang menyiksa
lakukan segera sebelum waktu benar-benar mengakhiri abdinya.
Mendekatlah,perlahan
cuerahkan kesahmu pada desah
pada beranda jiwa yang mengembun diujung pagi
pada cermin diseberang kamar,pada dinding yang terkekeh
dan pada apapun
tersenyumlah,mungkin tertawa hingga terbahak
menarilah
sebab akupun tak ingin berdebat,lagi.
Kamis, 11 Juli 2013
PERCAKAPAN KECIL RANTING MAHONI KEPADA RUMPUT
Aku tahu yang dibisikkan ranting mahoni kepada rumput
ketika pekat menyandera ladang, dia mengumpat
dan ilalang begitu gamang bertutur
kala nasib tergusur
lalu sawah selalu resah
menanti pagi,malam menutup resah
hari akan datang,mencumbu gagah para tirani
kami terbuang,terungsikan,tersisih sepi.
kotaku telah lahir
dan aku,tersingkir
tentang nyanyian burung,teriakan bangau,dan erangan elang,sirna
hanya makian traktor,umpatan sang mandor menjadi noda.
tanahku telah musnah
berganti beton,menjelma ranah,
mana rumahku,mana mimpiku
terbeli,tergadaikan bahkan terabaikan
kemana langkahku kini,tanpa tepi,hanya sunyi.
inilah percakapan kecil ranting mahoni kepada rumput
sebelum kami benar-benar punah kalah bergelut.
istanamu,pusara bagiku.
ketika pekat menyandera ladang, dia mengumpat
dan ilalang begitu gamang bertutur
kala nasib tergusur
lalu sawah selalu resah
menanti pagi,malam menutup resah
hari akan datang,mencumbu gagah para tirani
kami terbuang,terungsikan,tersisih sepi.
kotaku telah lahir
dan aku,tersingkir
tentang nyanyian burung,teriakan bangau,dan erangan elang,sirna
hanya makian traktor,umpatan sang mandor menjadi noda.
tanahku telah musnah
berganti beton,menjelma ranah,
mana rumahku,mana mimpiku
terbeli,tergadaikan bahkan terabaikan
kemana langkahku kini,tanpa tepi,hanya sunyi.
inilah percakapan kecil ranting mahoni kepada rumput
sebelum kami benar-benar punah kalah bergelut.
istanamu,pusara bagiku.
Langganan:
Postingan (Atom)