Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Perempuan yang Menangis

Gambar
Hujan baru saja menderas membasahi jalanan. Orang-orang lebih memilih menyingkir untuk berteduh daripada memaksakan diri menerabas jarum-jarum air yang seolah lelah, terlalu lama bersemayam di dalam kerudung awan. Seorang perempuan tidak memedulikan bajunya basah kuyup. Ia bergegas ke arah selatan. Mobil-mobil bergerak melambat terhalang genangan air. Gorong-gorong di kota ini selalu menciptakan masalah baru ketika musim penghujan datang. Air selokan meluap, karena mampet. Beberapa kali perempuan itu terhenti. Menoleh, menunduk, lantas kembali bergegas. Aku memerhatikannya dari balik kaca jendela sebuah mini resto. Secangkir cokelat panas masih mengepul. Sedari tadi aku menatapnya. Apa yang hendak dilakukannya di luar sana ketika cuaca mustahil membaik? Pertanyaan bodoh. Aku tidak mengenali perempuan itu. Tapi, kenapa aku memikirkannya. “Perempuan gila.” Suara seseorang membuatku menoleh dan membiarkan sosok perempuan itu menghilang di kelok jalan. Seorang pr

JANUARI NOL-NOL SATU

Gambar
Kita tidak melulu mengemasi angka-angka yang terserak di sepanjang jalan para pemintal dongeng-dongeng masa Kita tidak melulu mengemasi hari-hari usang dalam lengang puisi sekalipun bahkan dalam kesetian ranting-daun, dalam gigil tetap bertaut di sisa musim yang kemudian ditandaskan letup kembang api Ini Januari kita, Sayang kemasi luka-luka lalu duka-duka lama. Segera. setelahnya kita berjalan bersisian (lagi). Biarkan mantera Desember menyelesaikan tugasnya SDR, 01 Januari 2016

AKU DAN JAKARTA

Gambar
Aku dan Jakarta Aku membaui aroma Jakarta pagi ini. Dari pesing dan bedeng yang menghimpit, tangisan pertamaku pecah Aku, bocah kecil yang mengencingi ibukota, meminum timbal dan anyir limbah Aku berkembang di antara atap-atap yang terendam Di bahan pohon kersen tepi Ciliwung, ibuku mencuci kebodohan dengan sedikit deterjen bubuk Aku, bocah kecil yang lupa caranya bermain bola. tanah lapang adalah separuh ingatan yang tertinggal entah di mana. Orang-orang berlarian dalam kepalaku. Hiruk-pikuk penjaja tubuh menjadi aroma malam yang kerap kucicipi. Aku sudah biasa: mendengar rintih, mendengar desah. Bahkan, kelaminmu dicuci di mana, aku pun tahu Aku membaui aroma Jakarta pagi ini ada yang mati di dalam got, di rumah Tuhan, di keramaian.  Nyawa Jakarta terlalu murah Saham gabungan naik valuta asing naik kenapa harga diri dan rokmu malah turun? Tenang saja Jakarta aku masih 'cinta' padamu Tasik Malaya, 15 Januari 2016

DAPUR KITA

Gambar
Dapur Kita : dari Alysa di riuh penggorengan kala subuh Tak perlu mencincang bawang untuk membuatku menangis seikat bayam tak mampu meredakan segala amarah Ada yang kosong di piring nasi percakapan, perdebatan Celoteh ayam-ayam sudah lama pecah Aku sedang menjerang segala kenang memanaskan ingatan pada sekotak keju parut di atas oven Kamu di sana. Mungkin tak pernah ingat dengan menu yang kerap aku buat Aku tidak perlu mengiris bawang untuk membuat mataku sembap cukup, hangatkan memori di magic com dapur kita selebihnya kita kembali ke tujuh tahun lalu Aku, kamu mengunyah segala sesap pahit-getir kehidupan Secangkir kopi sudah cukup mengalirkan segala remah dan dedak ingatan Tujuh tahun yang sendiri di riuh dapur kita BCI, 08 Januari 2016

Begitu Lekas, Begitu Gegas

Gambar
Begitu Lekas, Begitu Gegas Jam retak di pergelangan tangan. Mengais-ngais luruhan waktu di ambang petang Kau begitu gegas. Sepotong cerita baru selesai kukunyah sementara rindu yang datang selekas kereta api di ujung rel yang menuntun kepergian Ada yang malam seusai senyap. Kau begitu lekas begitu gegas. Napas yang kauhidu di jendela kamar mencair lantas menggenang di atas karpet ruang kita Ruang dengan lengang-lengang setelahnya. Kau begitu gegas, begitu lekas. Secepat Tuhan mengutus malaikat menemuimu Napas terhenti begitu lekas gegas : lengang Tasik Malaya, 22 Januari 2016