Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2016

Aku dan Jakarta

Gambar
Aku membaui aroma Jakarta pagi ini. Dari pesing dan bedeng yang meng impit, tangisan pertamaku pecah Aku, bocah kecil yang mengencingi ibukota, meminum timbal dan anyir limbah Aku berkembang di antara atap-atap yang terendam Di bahan pohon kersen, ibuku mencuci kebodohan dengan sedikit deterjen bubuk Aku, bocah kecil yang lupa caranya bermain bola. tanah lapang adalah separuh ingatan yang tertinggal entah di mana. Orang-orang berlarian dalam kepalaku. Hiruk-pikuk penjaja tubuh menjadi aroma malam yang kerap kucicipi. Aku sudah biasa: mendengar rintih, mendengar desah. Bahkan, kelaminmu dicuci di mana, aku pun tahu Aku membaui aroma Jakarta pagi ini ada yang mati di dalam got, di rumah Tuhan, di keramaian. Nyawa Jakarta terlalu murah Saham gabungan naik valuta asing naik kenapa harga diri dan rokmu malah turun? Tenang saja Jakarta aku masih 'cinta' padamu Tasik Malaya, 15 Januari 2016

Laki-laki Luka

Gambar
Laki-laki Luka 1/ Kita adalah sepasang luka yang ditanak waktu dimatangkan usia perihal badai perihal gelombang adalah keteguhan sampan yang terombang-ambing samudera hidup : kita telah melewati banyak hal /2 Kita adalah sepasang musim yang bergerak dalam takdirnya masing-masing kau musim utara aku musim selatan apakah kita pernah menyatu? sekadar bertegur sapa dalam bahasa angin: hujan-kemarau : kita telah saling pergi saling meninggalkan 3/ Kita adalah sayap-sayap patah yang getas merapuh lantas lumpuh tidak ada udara kosong tempat kita saling mengepak oh, betapa langit luas hanyalah kepedihan yang abai diarungi : kita terluka dalam sayap keterasingan /4 Kita sepasang luka perempuan luka laki-laki luka perihal lalu perihal ingatan perihal kenangan yang terserak Adakah kita pernah saling mengingat? sekadar menjemput kenang untuk dikembalikan musim /5 Cermin kita telah pecah, Sayang luka kita: sama berdarah lambat mengering Tasik Malaya, 02 Septe

Melankolia September

Gambar
Aku tidak sedang mengeja musim. Tentu saja. Tidak sedang merapal gemuruh di tangkai gerimis. Aku sedang merindu kehangatan. Dari sepasang matahari yang terdampar pada matamu. Seperti angin yang mendesir. Rindu mencucuk tulang selayak salju musim dingin. Menikam. Merajam. Mengancam. Tak mampu kuredam. Aku merindukan degup. Dari denyut sepasang jantung yang saling bercerita: perihal rekah bunga melati, perihal rebah rumput ilalang, perihal resah tentang kepergian. Aku tidak sedang melafal debur ombak. Tentu saja. Aku tidak sedang menjaring badai yang lantak di landai pantai. Aku sedang merindu dermaga, tempat kita kerap terdampar. Aku menjadi suar, kau sampannya. Seperti September. Rindu meruya bersama hujan. Datang tiba-tiba, menjadi genang di ruang kenang. Riuh. Bergemuruh. Tanpa lenguh. Tak disuruh. Aku merindukan cahaya. Dari gelap yang kautinggalkan. Dari kisah yang kausisakan: perihal mekar bunga kemboja, perihal denyar perasaan, perihal memar dada kita

Ironisme Pemuda Masa Kini

Ah kau hanya pandai bercuap: "Satu Indonesia." "Satu Indonesia!" "Satu Indonesia?" Benarkah? Benarkah? Bahkan persatuan tidak lebih dari ranting kering yang jatuh diinjak lantas patah Betapa rentannya kau, wahai pemuda Lantas aku bisa apa selain mengelus dada menengok para pemuda yang berkoar-koar mengatasnamakan persatuan sementara di belakangku mereka: saling sikut saling rebut saling ribut Setahuku bersatu adalah bersama, sama-sama, satu tuju Kau? Ah sudahlah Ada uang kau bersatu Tidak ada Tahulah aku BCI, 28 Oktober 2016