Random: Prolog Epilog untuk Penguasa
Boleh aku pinjam lubang telingamu, Bapak?
(sebentar saja) agar Bapak bisa lebih mendengar suara-suara sumbang Kami.
Oh ya! Aku harap Bapak belum benar-benar tuli. Sebab, banyak teriakan
diabaikan, banyak jeritan dibisukan, bahkan banyak tangisan
ketidakadilan dianggap angin lalu.
Baiklah. Tak Mengapa. Kami sudah terbiasa.
Ada yang ingin aku tanyakan. Bolehkan, Pak?
(katanya: dari katanya) negeri ini sudah mati. Apa benar?
Tadinya aku ingin meminjam bola matamu sekalian (tentu saja) agar Bapak tahu, banyak tontonan menarik di negeri ini:
Lihat, Pak!
badut-badut politik main dagelan
para bedebah bermain drama
para pencoleng sutradaranya.
Mereka gembira, Bapak.
sedang Kami hanya puas jadi penonton. Mau tertawa (sepertinya) sulit.
Bagaimana bisa tertawa, bicara saja susah. Perut keroncongan: busung lapar.
Saat di televisi, Bapak bisanya hanya bercanda (saja). Garing, sih!
Tapi bukankah negeri ini butuh candaan?
biarkan Kami tertawa meski settingan
biarkan Kami bertepuk tangan meski tak menarik.
‘Sing penting Bapak senang ae.’ Betul?
Boleh pinjam lubang telingamu, Pak? sekalian bola matamu.
biar Bapak bisa mendengar dan melihat siapa Kami? Yang tercekik dan nyaris mati.
jangan tanya birokrasi
sebelum kami kenyang makan nasi
jangan tanya demokrasi
bila janji sekadar basa-basi
jangan tanya koalisi
bila kami dieksekusi hanya karena lantang berorasi
Subsidi
konvensasi
mungkin itu (hanya) sebuah trik sensasi
Penguasa…
penguasa…
muka kalian topeng besi
Nggak malu sama dasi?
Bangkai Negeri
Aku berdiri di atas negeri ini
negeri yang katanya tanah sorga
negeri ketika menyemai kayu-batu jadi tanaman
Mimpi yang sudah lama mati
coba kautanam kayu-batu
yang tumbuh bangkai dan taik
Negeri ini sudah lama kehilangan jatidiri:
anjing-anjing mengeong
sementara kucing-kucing terkaing-kaing
babi-babi mengembik
apakah tak lantas kambing-kambing mengaum?
Negeri yang aneh
Si Goblok mengaku pintar
Si Pintar merasa diri paling goblok
Lantas, yang goblok siapa?
Sudah! Lupakan!
Negeri ini sangat perkasa:
neraka dimakannya
matahari tentu saja dikunyahnya
Ah, betapa negeri ini sedang di ujung tanduk
tanduk siapa?
Aku berdiri di atas negeri ini
harusnya aku bangga
nyatanya tidak
Terlalu banyak tuan-tuan
yang memakan bangkai hambanya
terlalu banyak bangkai-bangkai
tergeletak dengan uar bau
Negeri yang sakit
sebentar lagi mungkin, mati
menjadi bangkai
Negeri yang sekarat
lahat yang mana hendak kalian gali?
sementara tanah-air tak menyisakan lubang pusara
Sama sekali
Ah!
Lupakan!
Mungkin aku akan jadi bagian
dari bangkai negeri ini
#SaveIndonesia
BCI, 18 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar