Kamis, 28 Januari 2016

Perempuan yang Menangis







Hujan baru saja menderas membasahi jalanan. Orang-orang lebih memilih menyingkir untuk berteduh daripada memaksakan diri menerabas jarum-jarum air yang seolah lelah, terlalu lama bersemayam di dalam kerudung awan.

Seorang perempuan tidak memedulikan bajunya basah kuyup. Ia bergegas ke arah selatan. Mobil-mobil bergerak melambat terhalang genangan air. Gorong-gorong di kota ini selalu menciptakan masalah baru ketika musim penghujan datang. Air selokan meluap, karena mampet.

Beberapa kali perempuan itu terhenti. Menoleh, menunduk, lantas kembali bergegas. Aku memerhatikannya dari balik kaca jendela sebuah mini resto. Secangkir cokelat panas masih mengepul. Sedari tadi aku menatapnya. Apa yang hendak dilakukannya di luar sana ketika cuaca mustahil membaik? Pertanyaan bodoh. Aku tidak mengenali perempuan itu. Tapi, kenapa aku memikirkannya.

“Perempuan gila.” Suara seseorang membuatku menoleh dan membiarkan sosok perempuan itu menghilang di kelok jalan. Seorang pria paruh baya dengan dandanan perlente. Terlihat flamboyan berdiri di belakang kursiku.

Aku tak tertarik dengan kalimat yang diucapkannya barusan, kalau saja dia tidak mengulanginya.

“Perempuan gila.”
“Maksudmu?” aku menyelidik tatap matanya. Bola matanya kelabu, menatap lurus ke depan, ke arah perempuan tadi menghilang.

“Tak ada,” jawabnya singkat, tetapi menjengkelkan.

Kalau saja hari tidak sedang hujan. Mungkin, aku akan segera bergegas pergi daripada harus terlibat percakapan tidak penting yang mungkin saja terjadi setelah ini. Perkiraanku ternyata tidak terjadi. Setelah mengatakan ‘perempuan itu gila’ untuk yang ketiga kalinya, ia bergegas menuju kursi di sudut ruangan.

Pikirku, ia pria aneh. Sama anehnya dengan perempuan tadi.


*****

Hujan kembali membungkus kota ini keesokan harinya. Lagi-lagi aku harus terjebak di dalam mini resto ini. Perempuan itu datang lagi. Aku kembali menatapnya dari balik kaca jendela. Perempuan yang sama dengan pakaian yang sama pula. Aku berpikir, apakah dia tipe perempuan jorok, yang mengenakan pakaian yang sama berhari-hari? Atau, mungkin juga stok pakaiannya tidak sedikit, namun pakaiannya selalu dengan jahitan dan corak yang sama pula.

Kali ini dia tidak langsung melangkah di antara deras hujan. Ia berdiri di bawah tiang lampu yang menyala kuning. Ia menoleh ke arahku. Aku pastikan aku tidak mengenalinya. Kecuali kulit wajahnya yang putih, wajahnya terlalu pucat hingga aku dipaksa menautkan kedua ujung alisku, heran.

Dia tidak tersenyum apalagi tertawa. Sesuatu yang buruk mengganduli matanya. Apa ia menangis? Air mata dan tetes air hujan sama sekali tidak mampu kubedakan. Selain terlihat sembap, matanya memerah.

Lama ia berdiri membelakangi mini resto yang ada aku di dalamnya. Lagi-lagi ia memaksakan diri melangkah di sela deras hujan. Kemudian menghilang di kelok jalan.

Perempuan gila.

Aku ingat ucapan pria misterius kemarin. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyuruhku untuk bangkit. Ada rasa penasaran yang hinggap perihal perempuan tadi.

Aku tidak berminat pergi. Tapi, sesuatu yang entah mengajakku beranjak dari mini resto. Aku melakukannya. Berjalan mengikuti arah yang tadi dilalui perempuan itu. Mobil-mobil lambat berjalan. Seperti kemarin, jalanan kembali tergenang. Aku melipat celana panjangku hingga betis. Sementara sepatu kerjaku, dengan tanpa keraguan lagi, kubiarkan basah.

Di kelok jalan aku terhenti. Hujan semakin deras. Sesuatu yang pekat mengadang di hadapanku. Aku tak bisa melihat warna jalan, tiang listrik, bahkan suara kendaraan yang melaju seolah lenyap sama sekali.

Aku menoleh. Mini resto yang tadi kukunjungi, juga jalan dan lalu-lalang kendaraan hilang, menyisakan diriku yang berdiri kukuh kebingungan di atas tanah lapang. Banyak gundukan tanah di sekitarku.

Sesuatu yang buruk terjadi. Rasa takut membuat bulu kudukku meremang. Aku berniat pergi ketika sebuah tangisan menggaung di udara.

Perempuan itu. Ya, perempuan yang sering kuperhatikan—aku yakin itu—pakaian yang dikenakannya masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Perempuan itu tengah bersimpuh di salah satu gundukan tanah.

Aku pikir ini pemakaman. Lantas resto dan jalan tadi, raib ke mana?

Perempuan itu tak sedikit pun peduli dengan keberadaanku. Aku tidak harus mendekat, kalau bisa malah menjauh. Tangisannya terus membahana, tangisan yang terlalu menyayat hati. Tangisan kepedihan, seperti tangis akan sebuah kehilangan. Aku terus memerhatikannya. Ia tidak melakukan hal lain, selain duduk bersimpuh, menangis, dan mengelus gundukan tanah di hadapannya.

Aku mengerjap, sebuah sentuhan hangat membuatku menoleh. Pria itu. Pria yang kemarin. Dia tersenyum ke arahku.

“Perempuan itu sudah gila.” Kalimat yang sama.
“Gila?”
“Ya. Gila. Perempuan yang membunuh suaminya sendiri bukankah perempuan yang sudah gila?”

Aku tidak mengerti maksud ucapan pria ini. Gila? Suaminya? Membunuh?

Aku memikirkannya. Hingga sama sekali tidak menyadari bahwa aku sedang terduduk di kursi mini resto dengan cokelat panas masih mengepul di hadapanku. Perempuan dan pemakaman itu tak ada lagi. Dan…

Pria itu telah lenyap sebelum aku menyadarinya.





Cibatu, 28 Januari 2016

Tidak ada komentar: