03. Ayat-ayat Cinta – Habiburahman El
Shirazy
Tahun terbit: 2004
Penerbit: Republika, Jakarta
Tadinya,
saya sangat antusias memasukkan novel Ayat-ayat Cinta 2 masuk ke dalam list,
namun, sesuatu hal mengurungkan niat tersebut. Saya tidak sedang menyebutkan
bahwa Ayat-ayat Cinta mengalami penurunan kualitas disbanding Ayat-ayat Cinta
yang pertama, tidak sama sekali. Dari segi apa pun, kedua seri novel ini jelas
sangat luar biasa dan tidak perlu diperdebatkan. Hanya saja, saya harus memilih
di antara kedua novel tersebut. Tidak ada larangan untuk memasukkan dua buku
dari pengarang yang sama ke daftar saya. Akan tetapi, kecuali, Rectoverso dan
Intelegensi Embun Pagi—Dee. Sepertinya saya harus mempertimbangkan untuk
memilih salah satunya.
Kesuksesan
Ayat-ayat Cinta pertama membuat saya mempunyai expectasi berlebih untuk serial
kedua. Nyatanya, saya mengalami sebuah kekecewaan. Sekali lagi bukan
berhubungan dengan kualitas. Ketika saya memulai membaca Ayat-ayat Cinta 2 yang
menjelaskan bahwa tokoh Aisyah menghilang, saya selaku pembaca menduga aka nada
sesuatu yang lebih yang akan menarik perhatian saya hingga mengakhiri halaman
demi halaman cerita. Namun, ketika muncul tokoh pengemis berwajah rusak, saya
seolah menebak bahwa tokoh itu adalah Aisyah. Dan pada kenyataannya memang
benar.
Bila
saja tebakanku tidak terbukti, saya akan dengan begitu antusias mengatakan
bahwa buku kedua sangat memuaskan. Berhubung tebakanku terbukti bahwa pengemis
bermuka rusak itu adalah Aisyah, kecewalah saya. Kenapa begitu? Setidaknya,
bagi saya, ceritanya jadi tidak menarik sebab pembaca sudah bisa menebak. Maka dari itu, Ayat-ayat Cinta 2 langsung saya
ke sampingkan.
Ayat-ayat
Cinta pantas menempatkan penulisnya sebagai penulis novel nomor satu negeri
ini. Bagaimana tidak, permasalahan yang komplek perihal pandangan negatif dunia
terhadap Muslim terjawab di sini. Ada beberapa bagian dalam novel ini yang bisa
dengan tegas melantakkan pandangan miring orang-orang yang secara tegas ataupun
tidak bahwa Muslim itu teroris.
Tokoh
Fahri begitu hidup seolah benar-benar ada dalam kehidupan. Banyak tokoh lainnya
yang bisa dikatakan sentral: ada Noura, Aisyah, hingga Maria. Banyak konflik
yang secara tidak langsung menggambarkan kehidupan umat Islam yang tidak
sejelek prasangka orang-orang yang membenci. Apik dan banyak pelajaran yang bisa
diambil.
Setting
Timur Tengah-nya membuat cerita di dalam buku ini benar-benar hidup. Begitu religious,
menyentuh, dan bisa membuka mata dunia bahwa Islam itu agama damai.
02. Inteligensi Embun Pagi – Dewi Lestari
Tahun terbit: 2016
Penerbit: Bentang Pustaka,
Yogyakarta
Setelah
membaca buku pertama seri Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, jujur,
saya sangat antusias untuk mengikuti seri-seri selanjutnya. Bukan tanpa alasan,
bagi saya Supernova adalah sebuah kebaruan dalam ranah perbukuan di Indonesia,
fiksi ilmiah tidak selalu harus ngjelimet. Dewi Lestari berhasil mengubah
persepsi itu. Saya sendiri sangat menyukai setiap detail cerita yang dibangun. Banyak
kata-kata yang sebenarnya tidak kufahami, entah kenapa, saya tetap saja
menikmatinya tanpa harus mengerutkan dahi.
Bertahun-tahun
saya memburu kelanjutan Supernova. Ibarat puzzle, pada akhirnya Inteligensi
adalah keping terakhir yang membuat seri ini menjadi utuh. Ksatria, Putri, dan
Bintang Jatuh, adalah awal. Akar, Petir, Partikel, juga Gelombang adalah
kelanjutan cerita. Dan, Inteligensi Embun Pagi adalah klimaks puncak sekaligus
penyempurna dari buku-buku sebelumnya dengan tokoh-tokoh pada kisah-kisah
sebelumnya berkumpul.
Inteleginsi
Embun Pagi menjadi seri penutup Supernova yang menutup dengan begitu sempurna tanpa cela. Seri terakhir
ini menjadi ajang pertemuan sekaligus reuni dari tokoh-tokoh yang terlibat di
dalam kisah-kisah sebelumnya. Ada Elektra dari Petir, Gio, Body, Zarah dari
Partikel, dan Alfa Sagala dari Gelombang. Untuk kemudian mereka dipersatukan
dan terhubung di sini.
Karya
yang sangat luar biasa. Hanya saja di akhir cerita saya sedikit kecewa, kenapa
harus Alfa yang diceritakan harus terbunuh, bukan yang lain? Entahlah.
01. Cantik Itu Luka – Eka Kurniawan
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Membaca
Cantik Itu Luka seolah membaca sesuatu yang berbeda. Berbeda dalam artian
positif. Tidak banyak penulis yang berhasil mengangkat cerita berbalut cerita
sastra yang semenarik ini. Kebanyakan bahasa sastra sanggup membuat pembacanya
mengerutkan dahi begitu dalam, tidak mengerti. Di dalam cerita ini
segala-galanya ada: surealisnya, sedikit horror dan mistis, romantika, hingga
apa pun itu membuat cerita ini begitu luar bahasa.
Bukan
hal yang biasa saja bila sebuah cerita diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa negara
lain. Itu artinya kualitasnya berada pada level atas.
Cantik
itu luka adalah sejarah juga filosofi yang keberadaannya bisa jadi khazanah
yang mengagumkan bagi dunia perbukuan di Indonesia.
Mengutip
beberapa endors yang ada di dalam buku ini, di antaranya:
-
Maman S. Mahayana: Mencermati isinya, kita seperti
memasuki sebuah dunia yang di sana, segalanya ada.
-
Raudal Tanjung Banua: Membaca Novel Cantik Itu Luka
karya Eka Kurniawan, kita akan bersua cinta membara di antara tokoh-tokohnya.
-
Alex Supartono: Perihal berbagai gaya dan bentuk
yang diaduk jadi satu, Cantik Itu Luka memang sebuah penataan berbagai sastra
yang pernah ada
Cerita
di dalamnya begitu kompleks dan rumit, akan tetapi, jangan merasa terbebani
bila membacanya, sebab, gaya penuturan yang menarik bisa dengan telak
mengalahkan segala kerumitan tersebut. Buku ini sangat saya rekomendasikan
untuk dibaca.
Pada
akhirnya tulisan yang sangat sederhana ini harus saya akhiri. Saya selaku
penulis meminta maaf atas segala keterbatasan bahasa yang saya miliki. Semoga apa
yang saya tulis bisa bermanfaat bagi kalian yang membacanya. Semoga dan semoga.
Akhir kata dari saya, teruslah menulis, apa pun itu. Terima kasih atas kesedian
kalian membaca tulisan saya yang masih jauh dari kata berkualitas ini.
Cibatu,
Oktober, 2016