Hujan
baru saja menderas membasahi jalanan. Orang-orang lebih memilih menyingkir
untuk berteduh daripada memaksakan diri menerabas jarum-jarum air yang seolah
lelah, terlalu lama bersemayam di dalam kerudung awan.
Seorang
perempuan tidak memedulikan bajunya basah kuyup. Ia bergegas ke arah selatan. Mobil-mobil
bergerak melambat terhalang genangan air. Gorong-gorong di kota ini selalu
menciptakan masalah baru ketika musim penghujan datang. Air selokan meluap,
karena mampet.
Beberapa
kali perempuan itu terhenti. Menoleh, menunduk, lantas kembali bergegas. Aku memerhatikannya
dari balik kaca jendela sebuah mini resto. Secangkir cokelat panas masih
mengepul. Sedari tadi aku menatapnya. Apa yang hendak dilakukannya di luar sana
ketika cuaca mustahil membaik? Pertanyaan bodoh. Aku tidak mengenali perempuan
itu. Tapi, kenapa aku memikirkannya.
“Perempuan
gila.” Suara seseorang membuatku menoleh dan membiarkan sosok perempuan itu
menghilang di kelok jalan. Seorang pria paruh baya dengan dandanan perlente. Terlihat
flamboyan berdiri di belakang kursiku.
Aku
tak tertarik dengan kalimat yang diucapkannya barusan, kalau saja dia tidak
mengulanginya.
“Perempuan
gila.”
“Maksudmu?”
aku menyelidik tatap matanya. Bola matanya kelabu, menatap lurus ke depan, ke arah
perempuan tadi menghilang.
“Tak
ada,” jawabnya singkat, tetapi menjengkelkan.
Kalau
saja hari tidak sedang hujan. Mungkin, aku akan segera bergegas pergi daripada
harus terlibat percakapan tidak penting yang mungkin saja terjadi setelah ini. Perkiraanku
ternyata tidak terjadi. Setelah mengatakan ‘perempuan itu gila’ untuk yang
ketiga kalinya, ia bergegas menuju kursi di sudut ruangan.
Pikirku,
ia pria aneh. Sama anehnya dengan perempuan tadi.
*****
Hujan
kembali membungkus kota ini keesokan harinya. Lagi-lagi aku harus terjebak di
dalam mini resto ini. Perempuan itu datang lagi. Aku kembali menatapnya dari
balik kaca jendela. Perempuan yang sama dengan pakaian yang sama pula. Aku berpikir,
apakah dia tipe perempuan jorok, yang mengenakan pakaian yang sama
berhari-hari? Atau, mungkin juga stok pakaiannya tidak sedikit, namun
pakaiannya selalu dengan jahitan dan corak yang sama pula.
Kali
ini dia tidak langsung melangkah di antara deras hujan. Ia berdiri di bawah
tiang lampu yang menyala kuning. Ia menoleh ke arahku. Aku pastikan aku tidak
mengenalinya. Kecuali kulit wajahnya yang putih, wajahnya terlalu pucat hingga
aku dipaksa menautkan kedua ujung alisku, heran.
Dia
tidak tersenyum apalagi tertawa. Sesuatu yang buruk mengganduli matanya. Apa ia
menangis? Air mata dan tetes air hujan sama sekali tidak mampu kubedakan. Selain
terlihat sembap, matanya memerah.
Lama
ia berdiri membelakangi mini resto yang ada aku di dalamnya. Lagi-lagi ia
memaksakan diri melangkah di sela deras hujan. Kemudian menghilang di kelok
jalan.
Perempuan gila.
Aku
ingat ucapan pria misterius kemarin. Entah perasaan apa yang tiba-tiba
menyuruhku untuk bangkit. Ada rasa penasaran yang hinggap perihal perempuan
tadi.
Aku
tidak berminat pergi. Tapi, sesuatu yang entah mengajakku beranjak dari mini
resto. Aku melakukannya. Berjalan mengikuti arah yang tadi dilalui perempuan
itu. Mobil-mobil lambat berjalan. Seperti kemarin, jalanan kembali tergenang. Aku
melipat celana panjangku hingga betis. Sementara sepatu kerjaku, dengan tanpa
keraguan lagi, kubiarkan basah.
Di
kelok jalan aku terhenti. Hujan semakin deras. Sesuatu yang pekat mengadang di
hadapanku. Aku tak bisa melihat warna jalan, tiang listrik, bahkan suara kendaraan
yang melaju seolah lenyap sama sekali.
Aku
menoleh. Mini resto yang tadi kukunjungi, juga jalan dan lalu-lalang kendaraan
hilang, menyisakan diriku yang berdiri kukuh kebingungan di atas tanah lapang. Banyak
gundukan tanah di sekitarku.
Sesuatu
yang buruk terjadi. Rasa takut membuat bulu kudukku meremang. Aku berniat pergi
ketika sebuah tangisan menggaung di udara.
Perempuan
itu. Ya, perempuan yang sering kuperhatikan—aku yakin itu—pakaian yang
dikenakannya masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Perempuan itu tengah
bersimpuh di salah satu gundukan tanah.
Aku
pikir ini pemakaman. Lantas resto dan jalan tadi, raib ke mana?
Perempuan
itu tak sedikit pun peduli dengan keberadaanku. Aku tidak harus mendekat, kalau
bisa malah menjauh. Tangisannya terus membahana, tangisan yang terlalu menyayat
hati. Tangisan kepedihan, seperti tangis akan sebuah kehilangan. Aku terus
memerhatikannya. Ia tidak melakukan hal lain, selain duduk bersimpuh, menangis,
dan mengelus gundukan tanah di hadapannya.
Aku
mengerjap, sebuah sentuhan hangat membuatku menoleh. Pria itu. Pria yang
kemarin. Dia tersenyum ke arahku.
“Perempuan
itu sudah gila.” Kalimat yang sama.
“Gila?”
“Ya.
Gila. Perempuan yang membunuh suaminya sendiri bukankah perempuan yang sudah gila?”
Aku
tidak mengerti maksud ucapan pria ini. Gila? Suaminya? Membunuh?
Aku
memikirkannya. Hingga sama sekali tidak menyadari bahwa aku sedang terduduk di
kursi mini resto dengan cokelat panas masih mengepul di hadapanku. Perempuan dan
pemakaman itu tak ada lagi. Dan…
Pria
itu telah lenyap sebelum aku menyadarinya.
Cibatu,
28 Januari 2016