Minggu, 13 November 2016

Aku dan Jakarta




Aku membaui aroma Jakarta
pagi ini. Dari pesing dan bedeng
yang mengimpit, tangisan pertamaku pecah

Aku, bocah kecil yang mengencingi ibukota, meminum timbal dan anyir limbah

Aku berkembang di antara atap-atap yang terendam
Di bahan pohon kersen, ibuku mencuci kebodohan dengan sedikit deterjen bubuk

Aku, bocah kecil yang lupa caranya bermain bola. tanah lapang adalah separuh ingatan yang tertinggal entah di mana.

Orang-orang berlarian dalam kepalaku. Hiruk-pikuk penjaja tubuh menjadi aroma malam yang kerap kucicipi. Aku sudah biasa: mendengar rintih, mendengar desah. Bahkan, kelaminmu dicuci di mana, aku pun tahu

Aku membaui aroma Jakarta
pagi ini
ada yang mati di dalam got, di rumah Tuhan, di keramaian.
Nyawa Jakarta terlalu murah

Saham gabungan naik
valuta asing naik
kenapa harga diri dan rokmu malah turun?

Tenang saja Jakarta
aku masih 'cinta' padamu

Tasik Malaya, 15 Januari 2016

Laki-laki Luka

Laki-laki Luka




1/
Kita adalah sepasang luka
yang ditanak waktu
dimatangkan usia
perihal badai
perihal gelombang
adalah keteguhan sampan yang terombang-ambing
samudera hidup
: kita telah melewati banyak hal

/2
Kita adalah sepasang musim
yang bergerak dalam takdirnya masing-masing
kau musim utara
aku musim selatan
apakah kita pernah menyatu?
sekadar bertegur sapa dalam bahasa
angin: hujan-kemarau
: kita telah saling pergi saling meninggalkan

3/
Kita adalah sayap-sayap patah
yang getas merapuh lantas lumpuh
tidak ada udara kosong tempat kita saling mengepak
oh, betapa langit luas hanyalah
kepedihan yang abai diarungi
: kita terluka dalam sayap keterasingan

/4
Kita sepasang luka
perempuan luka
laki-laki luka
perihal lalu
perihal ingatan
perihal kenangan yang terserak

Adakah kita pernah saling mengingat?
sekadar menjemput kenang untuk dikembalikan musim

/5
Cermin kita telah pecah, Sayang
luka kita: sama
berdarah
lambat mengering


Tasik Malaya, 02 September 2016

Melankolia September


Aku tidak sedang mengeja musim. Tentu saja. Tidak sedang merapal gemuruh di tangkai gerimis. Aku sedang merindu kehangatan. Dari sepasang matahari yang terdampar pada matamu.

Seperti angin yang mendesir. Rindu mencucuk tulang selayak salju musim dingin. Menikam. Merajam. Mengancam. Tak mampu kuredam.

Aku merindukan degup. Dari denyut sepasang jantung yang saling bercerita: perihal rekah bunga melati, perihal rebah rumput ilalang, perihal resah tentang kepergian.

Aku tidak sedang melafal debur ombak. Tentu saja. Aku tidak sedang menjaring badai yang lantak di landai pantai. Aku sedang merindu dermaga, tempat kita kerap terdampar. Aku menjadi suar, kau sampannya.

Seperti September. Rindu meruya bersama hujan. Datang tiba-tiba, menjadi genang di ruang kenang. Riuh. Bergemuruh. Tanpa lenguh. Tak disuruh.

Aku merindukan cahaya. Dari gelap yang kautinggalkan. Dari kisah yang kausisakan: perihal mekar bunga kemboja, perihal denyar perasaan, perihal memar dada kita.



BCI, 16 September 2016

Ironisme Pemuda Masa Kini


Ah kau hanya pandai bercuap:
"Satu Indonesia."
"Satu Indonesia!"
"Satu Indonesia?"
Benarkah?
Benarkah?
Bahkan persatuan tidak lebih dari
ranting kering yang jatuh
diinjak lantas patah
Betapa rentannya kau, wahai pemuda
Lantas aku bisa apa
selain mengelus dada
menengok para pemuda yang berkoar-koar mengatasnamakan persatuan
sementara di belakangku
mereka:
saling sikut
saling rebut
saling ribut
Setahuku bersatu adalah bersama, sama-sama, satu tuju
Kau?
Ah sudahlah
Ada uang kau bersatu
Tidak ada
Tahulah aku


BCI, 28 Oktober 2016