Ketika sang troroar bernafas tersendat,ku disana
di gerbang pekat,ironi hidup dalam dekapan kota
langkah tertatih,langkah tergesa,langkah tak tertuju
kamilah jelaga,kamilah noda,kamilah sampah tercecer
pada rimba raya yang tak pernah bersahabat dengan kami
kupasungkan ingin.
Tengoklah tubuh kami yang kering,kerontang
tanpa jasad,hanya belulang tergarang
tapi ku kokoh tergopoh
mencari dan terus mencari,adakah sedikit iba kau selipkan di jari manismu,wahai penguasa
sedang kami hanya menanti,dan mungkin terus menanti kepastian tak pasti.
kami ada,
selalu akan ada
pada debu,pada asap,pada denting denting dawai gitar disudut Semanggi
nyanyianku terus bercanda dengan polusi,trotoar hingga kolong jalan layang Cawang
lihat wajah kami,sedikit pasrah namun tak pernah ragu
kami berlari dan kami menari
pada ujung aspal
pada terminal
pada sekat-sekat pekat onggokkan Jakarta.
Pagi,siang,malam sahabat
menanti,menghiba,tak berpantang
lelah,jengah kutunda sementara.
Biar ku tersenyum,meski terkulum
atau tertawa,walau terbata
beri kami hidup,
dan beri kami kehidupan.
Pada ranting ibukota,kugantungkan harapku
pada pucuk-pucuk beton ku merayu
pada atap-atap jalanan ku menghapus ragu,
disini,di belantara hidup terluka
kutunggu kejujuran
tentang gita bahagia
lamggam dahaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar