Sabtu, 11 Mei 2019

SATU HARI DI BULAN AYAH



            Sumber gambar: Google


          


            Wajan itu masih menyisakan suara desisan lirih saat kutangkap suara batuk seorang lelaki di beranda; aku sedang menyiapkan sarapan untuk makan kami seperti biasanya. Ventilasi udara di atas ruangan dapur terhubung langsung dengan beranda sementara angin dengan leluasa meneruskan suara itu tepat di pendengaranku. Aku menajamkan pendengaranku dan berharap itu adalah Ayah. Seorang lelaki terkasih yang berpuluh tahun lalu menjadi bagian keterasingan kami. Dan itu benar. Suara batuk Ayah. Bahkan, saking terbiasanya aku mendengar suara batuk itu, tanpa harus melihatnya pun aku selalu yakin kalau itu batuk Ayah.
            Ayahku seorang periang, tukang bercanda, dan kerap menghiasi setiap saatnya dengan senyum yang mekar di bibirnya. Rambutnya yang ikal dan hitam legam selalu mengingatkanku kepada kisah-kisah Ibu ketika mereka saling memadu rindu di masa-masa yang lampau. Kini, keriangan di wajah Ayah seolah menguap diterbangkan angin setelah Ibu meninggal. Keceriaannya seolah ikut terbawa mati bersamaan dengan jasad Ibu yang membusuk di dalam tanah. Aku tahu, rasa sedih Ayah telah menggunung di dalam diri Ayah hingga ia merasa bahwa hidupnya tak lagi mempunyai arti. Ayah menjadi seorang yang pemurung bertahun-tahun kemudian.
            Aku kerap menyaksikan Ayah duduk termenung di beranda sendirian dengan tatapan mata kosong seolah menerawang ke tempat-tempat yang jauh. Tentu saja tempat itu berisi Ibu. Hal itu terus berlangsung lama hingga aku pernah merasa kuatir bahwa suatu saat—karena hal-hal yang dilakukan Ayah—akan berakibat buruk terhadap kesehatannya. Ternyata itu benar-benar terjadi. Ayah sakit. Terkadang demam tinggi, meracau, seperti orang linglung, dan tidak mau makan. Tubuh Ayah menyusut terlalu cepat.
            Suara batuk Ayah terdengar lagi. Berat dan menekan. Seperti kebiasaan Ayah yang sudah berlangsung bertahun-tahun lalu, duduk merenung di beranda selepas salat subuh seraya menghirup udara segar pagi hari menjadi rutinitas tak terbantahkan. Meski dalam keadaan sakit sekalipun hal itu kerap dilakukannya. Seperti saat ini.
            “Ayah batuk lagi?” tanyaku. Tanpa perlu jawaban sekalipun sebenarnya aku sudah mengetahuinya. “Sakit Ayah kambuh?”
            “Ayah baik-baik saja,” ucapnya datar saja. Seperti biasa. Baik-baik saja menurut Ayah adalah ia mampu berjalan dari dalam kamar menuju beranda. Selebihnya, tidak begitu. “Hanya pengaruh dari peralihan musim saja,” lanjutnya. Ada satu hal yang berubah yang membuat ledakan bahagia di dalam dadaku. Ayahku sudah mau menjawab pertanyaanku. Sebelumnya, setiap ucapan dan pertanyaanku ia jawab hanya dengan gelengan dan anggukan. Sekali ini, tidak.
            “Sepertinya Ayah harus ke dokter.” Sebenarnya aku mengatakannya hanya lirih saja. Namun, efeknya begitu luar biasa. Mata Ayah mendelik—tak seperti biasanya. Sementara giginya bergemeletuk seolah sedang menahan rasa dingin.
            “Apa Ayah terlihat sebegitu memprihatinkan, Nak? Sampai harus dibawa ke dokter?” Aku tak berani menatap bola mata itu. Bola mata beku dan dingin di mana kerinduan akan Ibu kerap bersemayam di sana. Aku hanya diam saja, menunggu api di dalam dada ayahku mereda dan padam.
            Aku masih teringat ketika kali terakhir Ayah bicara panjang lebar perihal Ibu, Ia mengatakan bahwa dirinya begitu mencintai Ibu, ketika Ibu meninggal dengan tiba-tiba, Ayah mengatakan bahwa hatinya hancur lebur hingga Ayah berjanji bahwa sampai kapan pun sosok Ibu tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Aku pikir itu hanya curahan hati sesaat seorang lelaki yang ditinggal mati perempuannya. Bagaimanapun laki-laki tetap laki-laki, yang kerap berjanji, tetapi kerap dengan mudah bisa mengingkarinya. Nyatanya aku salah, Ayah terlalu teguh dengan pendiriannya.
Itu kali terakhir Ayah berbicara, setelahnya Ayah seolah mengunci pintu bibirnya rapat-rapat selama bertahun-tahun kepada siapa pun yang mengajaknya berbincang. Hari ini sebuah pengecualian, ini kali pertama Ayah mau menjawab kalimat yang aku lontarkan setelah bertahun-tahun bungkam. Aku pikir ini adalah sebuah kemajuan berarti. Apa dada Ayah yang isinya sosok Ibu yang membeku mulai mencair?
            “Apa Ayah tahu kalau hari ini hari apa?” tanyaku dengan ragu. Aku sudah melakukan banyak hal untuk membuat hari ini begitu spesial: memasak masakan kesukaan Ayah, membersihkan rumah, dan mengundang orang-orang terdekat Ayah untuk acara yang sedianya akan dilaksanakan malam nanti sementara Ayah sengaja belum aku beritahu. Dulu, dulu sekali bila hari ini tiba, Ibu dengan antusias dan kegembiraan yang luar biasa, akan melakukan hal yang sama seperti apa yang akan aku lakukan.
            Ayah menatapku dengan sorot menyelidik. Aku tahu Ayah sudah lama tidak mengingatnya. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya pun tidak.
            Ayah menggeleng, lantas berkata, “Sama sekali tidak. Kalau ini menyangkut ayahmu, sama sekali Ayah benar-benar tidak ingat. Namun, kalau perihal yang menyangkut almarhumah ibumu, pastinya Ayah tidak akan pernah lupa. Dan ini, sepertinya bukan perihal ibumu. Iya, ‘kan?”
            Aku mendesah. Lagi-lagi perihal Ibu yang mampu diingat oleh ayahku. “Tidak, Yah. Bukan tentang Ibu, tapi tentang Ayah.”
            “Lupakan kalau begitu, Nak.” Ayah bungkam untuk waktu yang lama. Aku hanya mampu berdiri kaku sementara Ayah sudah kembali dengan kenangannya.
            Perlu bertahun-tahun bagi seseorang untuk menyembuhkan lukanya akan kehilangan. Namun bagi Ayah luka itu tidak akan pernah sembuh. Sampai kapan pun. Pernah suatu saat aku berinisiatif untuk mengenalkan seorang perempuan kepada Ayah agar Ayah tidak lagi terus memikirkan Ibu yang tak akan pernah kembali. Hidup harus terus berjalan dengan atau tanpa kekasih sekalipun bukan? Maksudku baik, ingin agar Ayah kembali ceria dengan hidupnya dan menyadari betapa berharganya sisa hidup yang masih bisa dijalani. Aku tidak bermaksud membenamkan sosok Ibu agar Ayah melupakannya. Tidak seperti itu.
            Ayahku marah besar. Tidak bicara ataupun berteriak seperti dulu. Tidak ada sepatah pun kalimat yang keluar kecuali barang-barang yang dilempar dan dibanting. Sepanjang hari Ayah mengurung di dalam kamarnya hingga kemarahannya mereda dengan sendirinya. Aku tahu Ayah kecewa denganku. Maaf, bila itu membuat Ayah terluka, bisikku dalam hati.
            “Hari ini Ayah ulang tahun,” bisikku setenang yang aku bisa. Ayah hanya diam tanpa reaksi. Bila hari kelahirannya tidak berarti apa-apa, itu artinya apa yang akan aku lakukan nanti malam pastinya akan sia-sia. Aku menunggu Ayah bereaksi. Setidaknya senyum terima kasih karena aku masih bisa mengingat hari besar Ayah. Nyatanya itu tidak terjadi.
            Aku hampir melangkah pergi ke dalam rumah ketika Ayah terbatuk. Aku menghentikan langkah ketika Ayah menarik lenganku dan berucap lirih, “Terima kasih, Nak.”
            Aku tersenyum. “Iya Ayah. Seandainya Ayah tidak marah, aku sudah menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk Ayah malam nanti. Apakah Ayah bersedia melakukannya?”
            Ayah menatapku. Bulir bening itu serupa embun yang tumbuh di ujung kedua bola matanya. Ayah mengangguk. “Ayah sudah banyak membuatmu kecewa semenjak ibumu meninggal, Nak. Sekali ini sepertinya Ayah tidak ingin melakukannya.”
           
            ****
             
            Meja bulat ukuran besar bertaplak warna putih itu berisi macam-macam makaman di dalam piring. Gelas-gelas bertangkai langsing berderet beraturan di beberapa tepinya. Ayah, aku, dan beberapa kerabat duduk santai di setiap kursi yang mengitari meja dengan rona wajah gembira. Bagaimana tidak, bertahun-tahun Ayah larut dalam kebisuan dan kesendiriannya karena kehilangan kini telah berubah. Ayah yang dulu periang kini telah kembali menjadi Ayah seperti biasanya. Dan aku yakin Ayah akan menghabiskan waktunya dengan ceria bersamaku atau dengan siapa pun yang kelak ayahku inginkan sebagai pendamping hidup. Ayah masih tetap seorang lelaki normal yang masih butuh sentuh hangat seorang perempuan. Ayahku yang belum genap 40 tahun masih punya hasrat yang menggebu untuk dicintai dan mencintai, terkaku.
Siang tadi aku bertanya kepada Ayah apakah setelah Ibu tidak ada, hasrat itu juga hilang? Ayah hanya tersenyum tanpa jawaban, tetapi setelahnya ia berbisik di telingaku, “Ayahmu ini masih normal, Nak. Terkadang ayahmu ini pun kerap bergairah melihat perempuan dan berpikir 'apakah aku tidak lupa caranya bercinta?' Aku masih merasa berusia dua puluhan sama seperti dirimu, Nak.” Aku tertawa, ayahku pun sama terbahaknya seperti diriku. Itulah ayahku sebelum Ibu meninggal. Kini, ayahku sudah kembali.
            Ketika aku mengatakannya, walaupun dengan nada bercanda—tentu saja aku takut ayahku itu tersinggung ketika aku mengatakannya—tentang kemungkinan Ayah untuk mencari pengganti Ibu, Ayah hanya tersenyum malu-malu.
“Lihat saja nanti, Nak” jawabnya. “Ibumu pasti marah bila mengetahuinya, tetapi jangan pernah kasih tahu ibumu, ya, Nak.”

Tidak ada komentar: