Sumber gambar: Google
Wajan itu masih menyisakan suara
desisan lirih saat kutangkap suara batuk seorang lelaki di beranda; aku sedang
menyiapkan sarapan untuk makan kami seperti biasanya. Ventilasi udara di atas
ruangan dapur terhubung langsung dengan beranda sementara angin dengan leluasa
meneruskan suara itu tepat di pendengaranku. Aku menajamkan pendengaranku dan
berharap itu adalah Ayah. Seorang lelaki terkasih yang berpuluh tahun lalu menjadi
bagian keterasingan kami. Dan itu benar. Suara batuk Ayah. Bahkan, saking
terbiasanya aku mendengar suara batuk itu, tanpa harus melihatnya pun aku
selalu yakin kalau itu batuk Ayah.
Ayahku seorang periang, tukang
bercanda, dan kerap menghiasi setiap saatnya dengan senyum yang mekar di
bibirnya. Rambutnya yang ikal dan hitam legam selalu mengingatkanku kepada
kisah-kisah Ibu ketika mereka saling memadu rindu di masa-masa yang lampau.
Kini, keriangan di wajah Ayah seolah menguap diterbangkan angin setelah Ibu
meninggal. Keceriaannya seolah ikut terbawa mati bersamaan dengan jasad Ibu
yang membusuk di dalam tanah. Aku tahu, rasa sedih Ayah telah menggunung di
dalam diri Ayah hingga ia merasa bahwa hidupnya tak lagi mempunyai arti. Ayah
menjadi seorang yang pemurung bertahun-tahun kemudian.
Aku kerap menyaksikan Ayah duduk
termenung di beranda sendirian dengan tatapan mata kosong seolah menerawang ke
tempat-tempat yang jauh. Tentu saja tempat itu berisi Ibu. Hal itu terus
berlangsung lama hingga aku pernah merasa kuatir bahwa suatu saat—karena
hal-hal yang dilakukan Ayah—akan berakibat buruk terhadap kesehatannya.
Ternyata itu benar-benar terjadi. Ayah sakit. Terkadang demam tinggi, meracau,
seperti orang linglung, dan tidak mau makan. Tubuh Ayah menyusut terlalu cepat.
Suara batuk Ayah terdengar lagi.
Berat dan menekan. Seperti kebiasaan Ayah yang sudah berlangsung bertahun-tahun
lalu, duduk merenung di beranda selepas salat subuh seraya menghirup udara
segar pagi hari menjadi rutinitas tak terbantahkan. Meski dalam keadaan sakit
sekalipun hal itu kerap dilakukannya. Seperti saat ini.
“Ayah batuk lagi?” tanyaku. Tanpa
perlu jawaban sekalipun sebenarnya aku sudah mengetahuinya. “Sakit Ayah
kambuh?”
“Ayah baik-baik saja,” ucapnya datar
saja. Seperti biasa. Baik-baik saja menurut Ayah adalah ia mampu berjalan dari
dalam kamar menuju beranda. Selebihnya, tidak begitu. “Hanya pengaruh dari
peralihan musim saja,” lanjutnya. Ada satu hal yang berubah yang membuat
ledakan bahagia di dalam dadaku. Ayahku sudah mau menjawab pertanyaanku.
Sebelumnya, setiap ucapan dan pertanyaanku ia jawab hanya dengan gelengan dan
anggukan. Sekali ini, tidak.
“Sepertinya Ayah harus ke dokter.”
Sebenarnya aku mengatakannya hanya lirih saja. Namun, efeknya begitu luar
biasa. Mata Ayah mendelik—tak seperti biasanya. Sementara giginya bergemeletuk
seolah sedang menahan rasa dingin.
“Apa Ayah terlihat sebegitu
memprihatinkan, Nak? Sampai harus dibawa ke dokter?” Aku tak berani menatap
bola mata itu. Bola mata beku dan dingin di mana kerinduan akan Ibu kerap
bersemayam di sana. Aku hanya diam saja, menunggu api di dalam dada ayahku
mereda dan padam.
Aku masih teringat ketika kali
terakhir Ayah bicara panjang lebar perihal Ibu, Ia mengatakan bahwa dirinya
begitu mencintai Ibu, ketika Ibu meninggal dengan tiba-tiba, Ayah mengatakan
bahwa hatinya hancur lebur hingga Ayah berjanji bahwa sampai kapan pun sosok
Ibu tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Aku pikir itu hanya curahan hati
sesaat seorang lelaki yang ditinggal mati perempuannya. Bagaimanapun laki-laki
tetap laki-laki, yang kerap berjanji, tetapi kerap dengan mudah bisa
mengingkarinya. Nyatanya aku salah, Ayah terlalu teguh dengan pendiriannya.
Itu
kali terakhir Ayah berbicara, setelahnya Ayah seolah mengunci pintu bibirnya rapat-rapat
selama bertahun-tahun kepada siapa pun yang mengajaknya berbincang. Hari ini
sebuah pengecualian, ini kali pertama Ayah mau menjawab kalimat yang aku
lontarkan setelah bertahun-tahun bungkam. Aku pikir ini adalah sebuah kemajuan
berarti. Apa dada Ayah yang isinya sosok Ibu yang membeku mulai mencair?
“Apa Ayah tahu kalau hari ini hari
apa?” tanyaku dengan ragu. Aku sudah melakukan banyak hal untuk membuat hari
ini begitu spesial: memasak masakan kesukaan Ayah, membersihkan rumah, dan
mengundang orang-orang terdekat Ayah untuk acara yang sedianya akan
dilaksanakan malam nanti sementara Ayah sengaja belum aku beritahu. Dulu, dulu
sekali bila hari ini tiba, Ibu dengan antusias dan kegembiraan yang luar biasa,
akan melakukan hal yang sama seperti apa yang akan aku lakukan.
Ayah menatapku dengan sorot
menyelidik. Aku tahu Ayah sudah lama tidak mengingatnya. Bahkan, pada
tahun-tahun sebelumnya pun tidak.
Ayah menggeleng, lantas berkata,
“Sama sekali tidak. Kalau ini menyangkut ayahmu, sama sekali Ayah benar-benar
tidak ingat. Namun, kalau perihal yang menyangkut almarhumah ibumu, pastinya
Ayah tidak akan pernah lupa. Dan ini, sepertinya bukan perihal ibumu. Iya,
‘kan?”
Aku mendesah. Lagi-lagi perihal Ibu
yang mampu diingat oleh ayahku. “Tidak, Yah. Bukan tentang Ibu, tapi tentang
Ayah.”
“Lupakan kalau begitu, Nak.” Ayah
bungkam untuk waktu yang lama. Aku hanya mampu berdiri kaku sementara Ayah
sudah kembali dengan kenangannya.
Perlu bertahun-tahun bagi seseorang
untuk menyembuhkan lukanya akan kehilangan. Namun bagi Ayah luka itu tidak akan
pernah sembuh. Sampai kapan pun. Pernah suatu saat aku berinisiatif untuk
mengenalkan seorang perempuan kepada Ayah agar Ayah tidak lagi terus memikirkan
Ibu yang tak akan pernah kembali. Hidup harus terus berjalan dengan atau tanpa
kekasih sekalipun bukan? Maksudku baik, ingin agar Ayah kembali ceria dengan
hidupnya dan menyadari betapa berharganya sisa hidup yang masih bisa dijalani.
Aku tidak bermaksud membenamkan sosok Ibu agar Ayah melupakannya. Tidak seperti
itu.
Ayahku marah besar. Tidak bicara
ataupun berteriak seperti dulu. Tidak ada sepatah pun kalimat yang keluar
kecuali barang-barang yang dilempar dan dibanting. Sepanjang hari Ayah
mengurung di dalam kamarnya hingga kemarahannya mereda dengan sendirinya. Aku
tahu Ayah kecewa denganku. Maaf, bila itu
membuat Ayah terluka, bisikku
dalam hati.
“Hari ini Ayah ulang tahun,” bisikku
setenang yang aku bisa. Ayah hanya diam tanpa reaksi. Bila hari kelahirannya
tidak berarti apa-apa, itu artinya apa yang akan aku lakukan nanti malam
pastinya akan sia-sia. Aku menunggu Ayah bereaksi. Setidaknya senyum terima
kasih karena aku masih bisa mengingat hari besar Ayah. Nyatanya itu tidak
terjadi.
Aku hampir melangkah pergi ke dalam
rumah ketika Ayah terbatuk. Aku menghentikan langkah ketika Ayah menarik
lenganku dan berucap lirih, “Terima kasih, Nak.”
Aku tersenyum. “Iya Ayah. Seandainya
Ayah tidak marah, aku sudah menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk Ayah malam
nanti. Apakah Ayah bersedia melakukannya?”
Ayah menatapku. Bulir bening itu
serupa embun yang tumbuh di ujung kedua bola matanya. Ayah mengangguk. “Ayah
sudah banyak membuatmu kecewa semenjak ibumu meninggal, Nak. Sekali ini
sepertinya Ayah tidak ingin melakukannya.”
****
Meja bulat ukuran besar bertaplak warna
putih itu berisi macam-macam makaman di dalam piring. Gelas-gelas bertangkai
langsing berderet beraturan di beberapa tepinya. Ayah, aku, dan beberapa
kerabat duduk santai di setiap kursi yang mengitari meja dengan rona wajah
gembira. Bagaimana tidak, bertahun-tahun Ayah larut dalam kebisuan dan
kesendiriannya karena kehilangan kini telah berubah. Ayah yang dulu periang
kini telah kembali menjadi Ayah seperti biasanya. Dan aku yakin Ayah akan
menghabiskan waktunya dengan ceria bersamaku atau dengan siapa pun yang kelak
ayahku inginkan sebagai pendamping hidup. Ayah masih tetap seorang lelaki
normal yang masih butuh sentuh hangat seorang perempuan. Ayahku yang belum
genap 40 tahun masih punya hasrat yang menggebu untuk dicintai dan mencintai,
terkaku.
Siang
tadi aku bertanya kepada Ayah apakah setelah Ibu tidak ada, hasrat itu juga
hilang? Ayah hanya tersenyum tanpa jawaban, tetapi setelahnya ia berbisik di
telingaku, “Ayahmu ini masih normal, Nak. Terkadang ayahmu ini pun kerap
bergairah melihat perempuan dan berpikir 'apakah aku tidak lupa caranya
bercinta?' Aku masih merasa berusia dua puluhan sama seperti dirimu, Nak.” Aku
tertawa, ayahku pun sama terbahaknya seperti diriku. Itulah ayahku sebelum Ibu
meninggal. Kini, ayahku sudah kembali.
Ketika aku mengatakannya, walaupun
dengan nada bercanda—tentu saja aku takut ayahku itu tersinggung ketika aku
mengatakannya—tentang kemungkinan Ayah untuk mencari pengganti Ibu, Ayah hanya
tersenyum malu-malu.
“Lihat
saja nanti, Nak” jawabnya. “Ibumu pasti marah bila mengetahuinya, tetapi jangan
pernah kasih tahu ibumu, ya, Nak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar