Pung
sudah memutuskan bahwa hari inilah ia harus melakukannya. Semalaman tadi, Pung
sudah bergulat dengan pertarungan tak terelakkan dalam dirinya, hingga tidurnya
terlalu terlambat untuk dilakukannya. Di
satu sisi, ia ingin melakukannya. Di sisi yang lain, ia tidak ingin
melakukannya. Pertarungan tidak selalu harus dimenangkan salah satu kubu. Namun,
sekali ini ada kubu yang harus memenangkan pertarungan. Pung memutuskan: ia
harus melakukannya.
Pung
berdiri dalam kebimbangan yang tak seharusnya. Berkali-kali ia mencoba berdamai
dengan gejolak dadanya yang tiba-tiba bergolak, tetapi itu saja tidak cukup.
Gejolak dada itu seolah melakukan penolakan. Namun mau apalagi, Pung pada
akhirnya harus mengabaikannya. Ada desir nyeri yang merambat tiba-tiba. Ia
harus melepas apa-apa yang pernah dimilikinya, meski itu sebuah penderitaan.
"Aku
ingin menjual kemalangan." Pung mengatakannya dengan ucapan penuh getar.
Ia---sebenarnya---masih belum rela atas keputusannya. "Berapa pun kau akan
menghargainya," tekannya dengan ketidakikhlasan masih mengambang.
Gedung
itu masih terasa sunyi ketika Pung masuk. Gedung dengan cat warna kusam dan
perabotan di dalamnya begitu lusuh, dan terlhat kotor, tak cukup menarik untuk
dilihat atau disentuh; penuh debu dan tidak terawat. Seorang lelaki tua---orang-orang
kerap menyebutkan lelaki itu usianya hampir delapan puluh tahun---botak
terperangkap dalam sosok mudanya yang tidak bisa ditawar-tawar. Wajahnya begitu
berseri cerah seolah penderitaan hidup tak pernah bersemayam di sana. Pung bisa
menegaskan bahwa usia tidak menggerus apa-apa dalam diri lelaki itu. Ia terlalu
muda untuk usia delapan puluh tahun, tanpa ringkih, apalagi sosok yang lemah tak
bertenaga.
"Aku
ingin menjual kemalanganku. Banyak kemalangan," Pung mengatakannya lagi
untuk kali kesekian.
Lelaki
itu mengangguk, lantas berkata, "Kemalangan seperti apa yang hendak kau
jual, Anak Muda?"
"Kemalangan
yang tidak semua orang dapatkan. Kemalangan yang mungkin saja hanya aku yang
memilikinya." Pung menatap lelaki itu dengan saksama. Menunggu reaksi
darinya. Lelaki itu tidak bereaksi apa pun kecuali senyum yang tersungging di
sudut bibirnya. Pung tahu bahwa bukan hanya dirinya yang pernah menawarkan
kemalangan itu kepadanya. Sepertinya lelaki itu sudah terbiasa menghadapi
situasi seperti ini.
"Banyak
orang ingin menjual kemalangannya seolah kemalangan itu tidak berarti apa-apa
untuk hidupnya, padahal sebaliknya kemalangan itu adalah obat agar manusia
tetap jadi manusia." Benar apa yang Pung duga. Ia adalah satu dari sekian
orang-orang yang ingin menjual kemalangannya. Pung mengernyitkan dahinya tak
mengerti. Lelaki itu mengucapkan kalimat yang belum ia pahami.
"Kemalangan
membuat hari-hariku buruk, putus asa, dan hendak menyerah. Apakah salah jika
aku ingin menjualnya?"
"Tidak,
Anak Muda. Sama sekali tidak ada yang salah," ujar lelaki itu. "Aku
cuma mengingatkanmu saja. Banyak orang melakukannya. Padahal, tanpa mereka
sadari, mereka telah membuang aset paling berharga dalam hidupnya."
"Aku
tidak mengerti," ucap Pung. "Kemalangan tetap kemalangan. Kemalangan
membuat aku menderita. Kemalangan membuat aku banyak merasakan kehilangan, bersedih,
dan ingin mati saja"
"Baiklah.
Berapa kau ingin jual kemalangan itu, Anak Muda?"
"Tak
banyak. Lima puluh atau tujuh puluh rupiah saja. Jikapun kau tidak ingin
membayarnya, aku akan dengan senang hati menyerahkan kemalanganku dengan
cuma-cuma."
"Aku
akan membayarnya. Tunggulah sebentar."
Lelaki
itu bergerak terlalu lincah untuk sosok seusia dirinya. Ia melangkah menuju
tempat di mana ia menyimpan banyak rupiah untuk kemalangan yang orang-orang
jual.
Gedung
itu masih terlampau sepi hingga seorang gadis muncul dengan wajah pucat dengan
kedua bola mata sembap. Ia melirik ke arah Pung yang sedang menunggu dengan
gelisah.
"Aku
ingin menjual kemalanganku. Aku diperkosa bapakku, dan aku hamil, lantas aku
hampir menjadi gila. Di mana aku bisa menjualnya?" tanyanya kepada Pung.
"Tempat
yang tepat. Di sini tempat kemalangan itu berpindah pemilik. Tapi, aku bukan
yang punya tempat. Tunggulah beberapa kejap." Si Gadis segera mencari
tempat duduk untuk menunggu. Di ujung ruangan dekat pintu masuk di mana-mana
tempat itu sama berdebunya dengan sudut-sudut lain gedung ini.
Lelaki
pemilik gedung kembali dengan sejumlah rupiah di tangannya. Ia menatap Pung
seolah ingin memastikan bahwa keputusannya sudah sangat bulat. Pung mengangguk.
Ia setuju dan tidak mau membatalkan transaksinya. Lelaki itu menyerahkan
uangnya dan menerima tiga karung kemalangan dari tangan Pung.
"Ini
kemalangan pertama. Kematian ibuku," ujar Pung, "yang kedua,
perselingkuhan istriku dengan bos tempat kerjanya. Dan yang terakhir
adalah anak gadisku yang mati dibunuh lima orang bangsat setelah
diperkosa secara beramai-ramai."
Lelaki
itu menerima tiga karung kemalangan dengan penuh keengganan. Ia kerap ingin
menolaknya, tetapi selalu saja tidak pernah tega. Ia hanya bisa menggeleng
tanpa tahu harus berbuat seperti apa.
"Kemalanganmu
aku terima. Semoga kau tidak akan menyesalinya setelah menjualnya
kepadaku."
******
Pung
sudah menjual kemalangan-kemalangannya. Ia sudah sudah terbiasa dengan
kemalangan-kemalangan itu, sebenarnya. Bahkan, kalau harus jujur, ia menganggap
kemalangannya adalah sahabatnya yang paling setia. Berhari-hari ia ingin
merasakan bahwa dengan tidak adanya kemalangan dalam hidupnya keadaannya akan jauh
lebih baik. Nyatanya ia salah. Pung merasa bahwa hari-harinya kini terasa
janggal. Ada yang hilang dalam dirinya.
Biasanya
ia tidur dengan kemalangan dalam kepalanya, masuk dalam mimpinya, dan ketika ia
terbangun, kemalangan itu akan menyapanya dengan segera. Sekali ini itu tidak
terjadi. Dan itu bagi Pung terasa aneh.Terasa begitu asing.
Pung
menjalani sepanjang harinya dengan kemalangan. Dan ia sangat menikmatinya. Ia
bisa menjadi begitu sabar karena kemalangannya. Ia pun bisa jauh menjadi lebih tegar
karena kemalangannya. Ia jauh merasa dirinya menjadi sangat manusia dibanding
manusia-manusia lainnya karena kemalangan-kemalangannya itu. Kini, kemalangan
itu tidak bisa lagi ia temui. Pung merasa kosong, rapuh, emosional, dan mudah
menyerah. Kemalangan itu meninggalkan diri Pung menjadi orang yang begitu
lemah. Ini bukan Pung yang ia kenal. Bahkan Pung meyakinkan diri bahwa Pung
tanpa kemalangan adalah orang lain.
Harusnya
hidup Pung tanpa kemalangan akan sangat baik-baik saja. Itu tidak terjadi.
Hidup Pung berada pada level kebalikannya: buruk. Bahkan jauh lebih buruk
dibanding saat kemalangan-kemalangan itu ada bersamanya. Pung memutuskan untuk
membeli kemalangan itu kembali.
"Aku
ingin membeli kembali kemalangan-kemalanganku itu, berapa pun kau akan
menjualnya kembali," paksa Pung kepada lelaki pemilik Gedung Kemalangan.
"Sudah
kuduga. Padahal aku sudah mengingatkan," jawab lelaki itu dengan senyuman
sinis. Wajahnya yang terbiasa dengan senyuman, kian cerah dan benderang.
Membeli kemalangan orang tampaknya membuat rona bahagia tumbuh di wajahnya itu
berwaktu-waktu lamanya.
"Berapa
aku harus membayarnya?" tanya Pung.
"Tidak
satu rupiah pun."
"Kenapa
bisa begitu?"
"Karena
aku tidak akan menjualnya kembali. Kemalangan itu membuat aku hidup jauh lebih
kuat. Jauh lebih bahagia. Jauh lebih tegar. Terkadang orang-orang tidak
menyadarinya. Jadi, lupakan," tolak lelaki itu.
"Tapi
aku sangat ingin memiliki kemalanganku kembali?"
"Kenapa
kau tidak memikirkan itu sebelumnya?"
"Aku berpikir tanpa kemalangan hidup akan jauh
lebih baik, jauh lebih indah, jauh lebih bahagia. Nyatanya aku salah. Aku
menyadarinya. Hidup tanpa kemalangan adalah kesia-siaan tanpa arti."
Lelaki
itu tertawa. Bahunya ikut bergerak-gerak. Ia seolah sedang bahagia atas situasi
ini. Lelaki itu tidak bersikeras untuk menahan kemalangan Pung kembali. Ia
hanya menguji alasan seperti apa yang akan Pung lontarkan. Ternyata alasan Pung
sejalan dengan yang lelaki itu pikirkan. Jadi tidak ada alasan untuk
mempertahankan kemalangan itu kembali kepada pemiliknya.
"Baiklah,
Anak Muda. Tak banyak orang yang menyadari kenyataan ini. Ambillah kemalanganmu
itu kembali dan tidak usah membayarnya."
"Terima
kasih," Pung mengatakan itu dengan kegembiraan yang membuncah.
Pung
pulang dengan kebahagiaan tak terperi. Ia telah memiliki kemalangan-kemalangan
itu dan berjanji tidak ingin menjualnya, ke mana pun, kepada siapa pun. Ia
ingin menikmatinya sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar