Jumat, 10 Mei 2019

Pung, Lelaki yang Menjual Kemalangannya






Pung sudah memutuskan bahwa hari inilah ia harus melakukannya. Semalaman tadi, Pung sudah bergulat dengan pertarungan tak terelakkan dalam dirinya, hingga tidurnya terlalu terlambat  untuk dilakukannya. Di satu sisi, ia ingin melakukannya. Di sisi yang lain, ia tidak ingin melakukannya. Pertarungan tidak selalu harus dimenangkan salah satu kubu. Namun, sekali ini ada kubu yang harus memenangkan pertarungan. Pung memutuskan: ia harus melakukannya.

Pung berdiri dalam kebimbangan yang tak seharusnya. Berkali-kali ia mencoba berdamai dengan gejolak dadanya yang tiba-tiba bergolak, tetapi itu saja tidak cukup. Gejolak dada itu seolah melakukan penolakan. Namun mau apalagi, Pung pada akhirnya harus mengabaikannya. Ada desir nyeri yang merambat tiba-tiba. Ia harus melepas apa-apa yang pernah dimilikinya, meski itu sebuah penderitaan.

"Aku ingin menjual kemalangan." Pung mengatakannya dengan ucapan penuh getar. Ia---sebenarnya---masih belum rela atas keputusannya. "Berapa pun kau akan menghargainya," tekannya dengan ketidakikhlasan masih mengambang.

Gedung itu masih terasa sunyi ketika Pung masuk. Gedung dengan cat warna kusam dan perabotan di dalamnya begitu lusuh, dan terlhat kotor, tak cukup menarik untuk dilihat atau disentuh; penuh debu dan tidak terawat. Seorang lelaki tua---orang-orang kerap menyebutkan lelaki itu usianya hampir delapan puluh tahun---botak terperangkap dalam sosok mudanya yang tidak bisa ditawar-tawar. Wajahnya begitu berseri cerah seolah penderitaan hidup tak pernah bersemayam di sana. Pung bisa menegaskan bahwa usia tidak menggerus apa-apa dalam diri lelaki itu. Ia terlalu muda untuk usia delapan puluh tahun, tanpa ringkih, apalagi sosok yang lemah tak bertenaga.

"Aku ingin menjual kemalanganku. Banyak kemalangan," Pung mengatakannya lagi untuk kali kesekian.

Lelaki itu mengangguk, lantas berkata, "Kemalangan seperti apa yang hendak kau jual, Anak Muda?"

"Kemalangan yang tidak semua orang dapatkan. Kemalangan yang mungkin saja hanya aku yang memilikinya." Pung menatap lelaki itu dengan saksama. Menunggu reaksi darinya. Lelaki itu tidak bereaksi apa pun kecuali senyum yang tersungging di sudut bibirnya. Pung tahu bahwa bukan hanya dirinya yang pernah menawarkan kemalangan itu kepadanya. Sepertinya lelaki itu sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.

"Banyak orang ingin menjual kemalangannya seolah kemalangan itu tidak berarti apa-apa untuk hidupnya, padahal sebaliknya kemalangan itu adalah obat agar manusia tetap jadi manusia." Benar apa yang Pung duga. Ia adalah satu dari sekian orang-orang yang ingin menjual kemalangannya. Pung mengernyitkan dahinya tak mengerti. Lelaki itu mengucapkan kalimat yang belum ia pahami.

"Kemalangan membuat hari-hariku buruk, putus asa, dan hendak menyerah. Apakah salah jika aku ingin menjualnya?"

"Tidak, Anak Muda. Sama sekali tidak ada yang salah," ujar lelaki itu. "Aku cuma mengingatkanmu saja. Banyak orang melakukannya. Padahal, tanpa mereka sadari, mereka telah membuang aset paling berharga dalam hidupnya."

"Aku tidak mengerti," ucap Pung. "Kemalangan tetap kemalangan. Kemalangan membuat aku menderita. Kemalangan membuat aku banyak merasakan kehilangan, bersedih, dan ingin mati saja"

"Baiklah. Berapa kau ingin jual kemalangan itu, Anak Muda?"

"Tak banyak. Lima puluh atau tujuh puluh rupiah saja. Jikapun kau tidak ingin membayarnya, aku akan dengan senang hati menyerahkan kemalanganku dengan cuma-cuma."

"Aku akan membayarnya. Tunggulah sebentar."

Lelaki itu bergerak terlalu lincah untuk sosok seusia dirinya. Ia melangkah menuju tempat di mana ia menyimpan banyak rupiah untuk kemalangan yang orang-orang jual.
Gedung itu masih terlampau sepi hingga seorang gadis muncul dengan wajah pucat dengan kedua bola mata sembap. Ia melirik ke arah Pung yang sedang menunggu dengan gelisah.

"Aku ingin menjual kemalanganku. Aku diperkosa bapakku, dan aku hamil, lantas aku hampir menjadi gila. Di mana aku bisa menjualnya?" tanyanya kepada Pung.

"Tempat yang tepat. Di sini tempat kemalangan itu berpindah pemilik. Tapi, aku bukan yang punya tempat. Tunggulah beberapa kejap." Si Gadis segera mencari tempat duduk untuk menunggu. Di ujung ruangan dekat pintu masuk di mana-mana tempat itu sama berdebunya dengan sudut-sudut lain gedung ini.

Lelaki pemilik gedung kembali dengan sejumlah rupiah di tangannya. Ia menatap Pung seolah ingin memastikan bahwa keputusannya sudah sangat bulat. Pung mengangguk. Ia setuju dan tidak mau membatalkan transaksinya. Lelaki itu menyerahkan uangnya dan menerima tiga karung kemalangan dari tangan Pung.

"Ini kemalangan pertama. Kematian ibuku," ujar Pung, "yang kedua, perselingkuhan istriku dengan bos tempat kerjanya. Dan yang terakhir adalah  anak gadisku yang mati dibunuh lima orang bangsat setelah diperkosa secara beramai-ramai."

Lelaki itu menerima tiga karung kemalangan dengan penuh keengganan. Ia kerap ingin menolaknya, tetapi selalu saja tidak pernah tega. Ia hanya bisa menggeleng tanpa tahu harus berbuat seperti apa.

"Kemalanganmu aku terima. Semoga kau tidak akan menyesalinya setelah menjualnya kepadaku."

******



Pung sudah menjual kemalangan-kemalangannya. Ia sudah sudah terbiasa dengan kemalangan-kemalangan itu, sebenarnya. Bahkan, kalau harus jujur, ia menganggap kemalangannya adalah sahabatnya yang paling setia. Berhari-hari ia ingin merasakan bahwa dengan tidak adanya kemalangan dalam hidupnya keadaannya akan jauh lebih baik. Nyatanya ia salah. Pung merasa bahwa hari-harinya kini terasa janggal. Ada yang hilang dalam dirinya.

Biasanya ia tidur dengan kemalangan dalam kepalanya, masuk dalam mimpinya, dan ketika ia terbangun, kemalangan itu akan menyapanya dengan segera. Sekali ini itu tidak terjadi. Dan itu bagi Pung terasa aneh.Terasa begitu asing.

Pung menjalani sepanjang harinya dengan kemalangan. Dan ia sangat menikmatinya. Ia bisa menjadi begitu sabar karena kemalangannya. Ia pun bisa jauh menjadi lebih tegar karena kemalangannya. Ia jauh merasa dirinya menjadi sangat manusia dibanding manusia-manusia lainnya karena kemalangan-kemalangannya itu. Kini, kemalangan itu tidak bisa lagi ia temui. Pung merasa kosong, rapuh, emosional, dan mudah menyerah. Kemalangan itu meninggalkan diri Pung menjadi orang yang begitu lemah. Ini bukan Pung yang ia kenal. Bahkan Pung meyakinkan diri bahwa Pung tanpa kemalangan adalah orang lain.

Harusnya hidup Pung tanpa kemalangan akan sangat baik-baik saja. Itu tidak terjadi. Hidup Pung berada pada level kebalikannya: buruk. Bahkan jauh lebih buruk dibanding saat kemalangan-kemalangan itu ada bersamanya. Pung memutuskan untuk membeli kemalangan itu kembali.

"Aku ingin membeli kembali kemalangan-kemalanganku itu, berapa pun kau akan menjualnya kembali," paksa Pung kepada lelaki pemilik Gedung Kemalangan.

"Sudah kuduga. Padahal aku sudah mengingatkan," jawab lelaki itu dengan senyuman sinis. Wajahnya yang terbiasa dengan senyuman, kian cerah dan benderang. Membeli kemalangan orang tampaknya membuat rona bahagia tumbuh di wajahnya itu berwaktu-waktu lamanya.

"Berapa aku harus membayarnya?" tanya Pung.
"Tidak satu rupiah pun."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena aku tidak akan menjualnya kembali. Kemalangan itu membuat aku hidup jauh lebih kuat. Jauh lebih bahagia. Jauh lebih tegar. Terkadang orang-orang tidak menyadarinya. Jadi, lupakan," tolak lelaki itu.
"Tapi aku sangat ingin memiliki kemalanganku kembali?"
"Kenapa kau tidak memikirkan itu sebelumnya?"
"Aku berpikir tanpa kemalangan hidup akan jauh lebih baik, jauh lebih indah, jauh lebih bahagia. Nyatanya aku salah. Aku menyadarinya. Hidup tanpa kemalangan adalah kesia-siaan tanpa arti."

Lelaki itu tertawa. Bahunya ikut bergerak-gerak. Ia seolah sedang bahagia atas situasi ini. Lelaki itu tidak bersikeras untuk menahan kemalangan Pung kembali. Ia hanya menguji alasan seperti apa yang akan Pung lontarkan. Ternyata alasan Pung sejalan dengan yang lelaki itu pikirkan. Jadi tidak ada alasan untuk mempertahankan kemalangan itu kembali kepada pemiliknya.

"Baiklah, Anak Muda. Tak banyak orang yang menyadari kenyataan ini. Ambillah kemalanganmu itu kembali dan tidak usah membayarnya."

"Terima kasih," Pung mengatakan itu dengan kegembiraan yang membuncah.


Pung pulang dengan kebahagiaan tak terperi. Ia telah memiliki kemalangan-kemalangan itu dan berjanji tidak ingin menjualnya, ke mana pun, kepada siapa pun. Ia ingin menikmatinya sendirian.

Tidak ada komentar: