Sabtu, 25 Mei 2019

Angin



Ke mana perginya angin?

ke rindu yang datangnya
mengendap-endap

cuaca mengubah
perangai
saat ingatan
dilahap
melulu namamu



Bekasi, 25 Mei 2019

Sabtu, 11 Mei 2019

Dagelan Negeri Kardus




                             Layar dinaikkan
                             tokoh utama bertukar peran

                             yang sapi menjadi ayam
                             yang babi menjadi domba

                             Kucing menggonggong
                             anjing mengeong

                             Penonton bertepuk tangan
                             aku; bingung




                            Bekasi, 11 Mei 2019

SATU HARI DI BULAN AYAH



            Sumber gambar: Google


          


            Wajan itu masih menyisakan suara desisan lirih saat kutangkap suara batuk seorang lelaki di beranda; aku sedang menyiapkan sarapan untuk makan kami seperti biasanya. Ventilasi udara di atas ruangan dapur terhubung langsung dengan beranda sementara angin dengan leluasa meneruskan suara itu tepat di pendengaranku. Aku menajamkan pendengaranku dan berharap itu adalah Ayah. Seorang lelaki terkasih yang berpuluh tahun lalu menjadi bagian keterasingan kami. Dan itu benar. Suara batuk Ayah. Bahkan, saking terbiasanya aku mendengar suara batuk itu, tanpa harus melihatnya pun aku selalu yakin kalau itu batuk Ayah.
            Ayahku seorang periang, tukang bercanda, dan kerap menghiasi setiap saatnya dengan senyum yang mekar di bibirnya. Rambutnya yang ikal dan hitam legam selalu mengingatkanku kepada kisah-kisah Ibu ketika mereka saling memadu rindu di masa-masa yang lampau. Kini, keriangan di wajah Ayah seolah menguap diterbangkan angin setelah Ibu meninggal. Keceriaannya seolah ikut terbawa mati bersamaan dengan jasad Ibu yang membusuk di dalam tanah. Aku tahu, rasa sedih Ayah telah menggunung di dalam diri Ayah hingga ia merasa bahwa hidupnya tak lagi mempunyai arti. Ayah menjadi seorang yang pemurung bertahun-tahun kemudian.
            Aku kerap menyaksikan Ayah duduk termenung di beranda sendirian dengan tatapan mata kosong seolah menerawang ke tempat-tempat yang jauh. Tentu saja tempat itu berisi Ibu. Hal itu terus berlangsung lama hingga aku pernah merasa kuatir bahwa suatu saat—karena hal-hal yang dilakukan Ayah—akan berakibat buruk terhadap kesehatannya. Ternyata itu benar-benar terjadi. Ayah sakit. Terkadang demam tinggi, meracau, seperti orang linglung, dan tidak mau makan. Tubuh Ayah menyusut terlalu cepat.
            Suara batuk Ayah terdengar lagi. Berat dan menekan. Seperti kebiasaan Ayah yang sudah berlangsung bertahun-tahun lalu, duduk merenung di beranda selepas salat subuh seraya menghirup udara segar pagi hari menjadi rutinitas tak terbantahkan. Meski dalam keadaan sakit sekalipun hal itu kerap dilakukannya. Seperti saat ini.
            “Ayah batuk lagi?” tanyaku. Tanpa perlu jawaban sekalipun sebenarnya aku sudah mengetahuinya. “Sakit Ayah kambuh?”
            “Ayah baik-baik saja,” ucapnya datar saja. Seperti biasa. Baik-baik saja menurut Ayah adalah ia mampu berjalan dari dalam kamar menuju beranda. Selebihnya, tidak begitu. “Hanya pengaruh dari peralihan musim saja,” lanjutnya. Ada satu hal yang berubah yang membuat ledakan bahagia di dalam dadaku. Ayahku sudah mau menjawab pertanyaanku. Sebelumnya, setiap ucapan dan pertanyaanku ia jawab hanya dengan gelengan dan anggukan. Sekali ini, tidak.
            “Sepertinya Ayah harus ke dokter.” Sebenarnya aku mengatakannya hanya lirih saja. Namun, efeknya begitu luar biasa. Mata Ayah mendelik—tak seperti biasanya. Sementara giginya bergemeletuk seolah sedang menahan rasa dingin.
            “Apa Ayah terlihat sebegitu memprihatinkan, Nak? Sampai harus dibawa ke dokter?” Aku tak berani menatap bola mata itu. Bola mata beku dan dingin di mana kerinduan akan Ibu kerap bersemayam di sana. Aku hanya diam saja, menunggu api di dalam dada ayahku mereda dan padam.
            Aku masih teringat ketika kali terakhir Ayah bicara panjang lebar perihal Ibu, Ia mengatakan bahwa dirinya begitu mencintai Ibu, ketika Ibu meninggal dengan tiba-tiba, Ayah mengatakan bahwa hatinya hancur lebur hingga Ayah berjanji bahwa sampai kapan pun sosok Ibu tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Aku pikir itu hanya curahan hati sesaat seorang lelaki yang ditinggal mati perempuannya. Bagaimanapun laki-laki tetap laki-laki, yang kerap berjanji, tetapi kerap dengan mudah bisa mengingkarinya. Nyatanya aku salah, Ayah terlalu teguh dengan pendiriannya.
Itu kali terakhir Ayah berbicara, setelahnya Ayah seolah mengunci pintu bibirnya rapat-rapat selama bertahun-tahun kepada siapa pun yang mengajaknya berbincang. Hari ini sebuah pengecualian, ini kali pertama Ayah mau menjawab kalimat yang aku lontarkan setelah bertahun-tahun bungkam. Aku pikir ini adalah sebuah kemajuan berarti. Apa dada Ayah yang isinya sosok Ibu yang membeku mulai mencair?
            “Apa Ayah tahu kalau hari ini hari apa?” tanyaku dengan ragu. Aku sudah melakukan banyak hal untuk membuat hari ini begitu spesial: memasak masakan kesukaan Ayah, membersihkan rumah, dan mengundang orang-orang terdekat Ayah untuk acara yang sedianya akan dilaksanakan malam nanti sementara Ayah sengaja belum aku beritahu. Dulu, dulu sekali bila hari ini tiba, Ibu dengan antusias dan kegembiraan yang luar biasa, akan melakukan hal yang sama seperti apa yang akan aku lakukan.
            Ayah menatapku dengan sorot menyelidik. Aku tahu Ayah sudah lama tidak mengingatnya. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya pun tidak.
            Ayah menggeleng, lantas berkata, “Sama sekali tidak. Kalau ini menyangkut ayahmu, sama sekali Ayah benar-benar tidak ingat. Namun, kalau perihal yang menyangkut almarhumah ibumu, pastinya Ayah tidak akan pernah lupa. Dan ini, sepertinya bukan perihal ibumu. Iya, ‘kan?”
            Aku mendesah. Lagi-lagi perihal Ibu yang mampu diingat oleh ayahku. “Tidak, Yah. Bukan tentang Ibu, tapi tentang Ayah.”
            “Lupakan kalau begitu, Nak.” Ayah bungkam untuk waktu yang lama. Aku hanya mampu berdiri kaku sementara Ayah sudah kembali dengan kenangannya.
            Perlu bertahun-tahun bagi seseorang untuk menyembuhkan lukanya akan kehilangan. Namun bagi Ayah luka itu tidak akan pernah sembuh. Sampai kapan pun. Pernah suatu saat aku berinisiatif untuk mengenalkan seorang perempuan kepada Ayah agar Ayah tidak lagi terus memikirkan Ibu yang tak akan pernah kembali. Hidup harus terus berjalan dengan atau tanpa kekasih sekalipun bukan? Maksudku baik, ingin agar Ayah kembali ceria dengan hidupnya dan menyadari betapa berharganya sisa hidup yang masih bisa dijalani. Aku tidak bermaksud membenamkan sosok Ibu agar Ayah melupakannya. Tidak seperti itu.
            Ayahku marah besar. Tidak bicara ataupun berteriak seperti dulu. Tidak ada sepatah pun kalimat yang keluar kecuali barang-barang yang dilempar dan dibanting. Sepanjang hari Ayah mengurung di dalam kamarnya hingga kemarahannya mereda dengan sendirinya. Aku tahu Ayah kecewa denganku. Maaf, bila itu membuat Ayah terluka, bisikku dalam hati.
            “Hari ini Ayah ulang tahun,” bisikku setenang yang aku bisa. Ayah hanya diam tanpa reaksi. Bila hari kelahirannya tidak berarti apa-apa, itu artinya apa yang akan aku lakukan nanti malam pastinya akan sia-sia. Aku menunggu Ayah bereaksi. Setidaknya senyum terima kasih karena aku masih bisa mengingat hari besar Ayah. Nyatanya itu tidak terjadi.
            Aku hampir melangkah pergi ke dalam rumah ketika Ayah terbatuk. Aku menghentikan langkah ketika Ayah menarik lenganku dan berucap lirih, “Terima kasih, Nak.”
            Aku tersenyum. “Iya Ayah. Seandainya Ayah tidak marah, aku sudah menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk Ayah malam nanti. Apakah Ayah bersedia melakukannya?”
            Ayah menatapku. Bulir bening itu serupa embun yang tumbuh di ujung kedua bola matanya. Ayah mengangguk. “Ayah sudah banyak membuatmu kecewa semenjak ibumu meninggal, Nak. Sekali ini sepertinya Ayah tidak ingin melakukannya.”
           
            ****
             
            Meja bulat ukuran besar bertaplak warna putih itu berisi macam-macam makaman di dalam piring. Gelas-gelas bertangkai langsing berderet beraturan di beberapa tepinya. Ayah, aku, dan beberapa kerabat duduk santai di setiap kursi yang mengitari meja dengan rona wajah gembira. Bagaimana tidak, bertahun-tahun Ayah larut dalam kebisuan dan kesendiriannya karena kehilangan kini telah berubah. Ayah yang dulu periang kini telah kembali menjadi Ayah seperti biasanya. Dan aku yakin Ayah akan menghabiskan waktunya dengan ceria bersamaku atau dengan siapa pun yang kelak ayahku inginkan sebagai pendamping hidup. Ayah masih tetap seorang lelaki normal yang masih butuh sentuh hangat seorang perempuan. Ayahku yang belum genap 40 tahun masih punya hasrat yang menggebu untuk dicintai dan mencintai, terkaku.
Siang tadi aku bertanya kepada Ayah apakah setelah Ibu tidak ada, hasrat itu juga hilang? Ayah hanya tersenyum tanpa jawaban, tetapi setelahnya ia berbisik di telingaku, “Ayahmu ini masih normal, Nak. Terkadang ayahmu ini pun kerap bergairah melihat perempuan dan berpikir 'apakah aku tidak lupa caranya bercinta?' Aku masih merasa berusia dua puluhan sama seperti dirimu, Nak.” Aku tertawa, ayahku pun sama terbahaknya seperti diriku. Itulah ayahku sebelum Ibu meninggal. Kini, ayahku sudah kembali.
            Ketika aku mengatakannya, walaupun dengan nada bercanda—tentu saja aku takut ayahku itu tersinggung ketika aku mengatakannya—tentang kemungkinan Ayah untuk mencari pengganti Ibu, Ayah hanya tersenyum malu-malu.
“Lihat saja nanti, Nak” jawabnya. “Ibumu pasti marah bila mengetahuinya, tetapi jangan pernah kasih tahu ibumu, ya, Nak.”

Jumat, 10 Mei 2019

Pung, Lelaki yang Menjual Kemalangannya






Pung sudah memutuskan bahwa hari inilah ia harus melakukannya. Semalaman tadi, Pung sudah bergulat dengan pertarungan tak terelakkan dalam dirinya, hingga tidurnya terlalu terlambat  untuk dilakukannya. Di satu sisi, ia ingin melakukannya. Di sisi yang lain, ia tidak ingin melakukannya. Pertarungan tidak selalu harus dimenangkan salah satu kubu. Namun, sekali ini ada kubu yang harus memenangkan pertarungan. Pung memutuskan: ia harus melakukannya.

Pung berdiri dalam kebimbangan yang tak seharusnya. Berkali-kali ia mencoba berdamai dengan gejolak dadanya yang tiba-tiba bergolak, tetapi itu saja tidak cukup. Gejolak dada itu seolah melakukan penolakan. Namun mau apalagi, Pung pada akhirnya harus mengabaikannya. Ada desir nyeri yang merambat tiba-tiba. Ia harus melepas apa-apa yang pernah dimilikinya, meski itu sebuah penderitaan.

"Aku ingin menjual kemalangan." Pung mengatakannya dengan ucapan penuh getar. Ia---sebenarnya---masih belum rela atas keputusannya. "Berapa pun kau akan menghargainya," tekannya dengan ketidakikhlasan masih mengambang.

Gedung itu masih terasa sunyi ketika Pung masuk. Gedung dengan cat warna kusam dan perabotan di dalamnya begitu lusuh, dan terlhat kotor, tak cukup menarik untuk dilihat atau disentuh; penuh debu dan tidak terawat. Seorang lelaki tua---orang-orang kerap menyebutkan lelaki itu usianya hampir delapan puluh tahun---botak terperangkap dalam sosok mudanya yang tidak bisa ditawar-tawar. Wajahnya begitu berseri cerah seolah penderitaan hidup tak pernah bersemayam di sana. Pung bisa menegaskan bahwa usia tidak menggerus apa-apa dalam diri lelaki itu. Ia terlalu muda untuk usia delapan puluh tahun, tanpa ringkih, apalagi sosok yang lemah tak bertenaga.

"Aku ingin menjual kemalanganku. Banyak kemalangan," Pung mengatakannya lagi untuk kali kesekian.

Lelaki itu mengangguk, lantas berkata, "Kemalangan seperti apa yang hendak kau jual, Anak Muda?"

"Kemalangan yang tidak semua orang dapatkan. Kemalangan yang mungkin saja hanya aku yang memilikinya." Pung menatap lelaki itu dengan saksama. Menunggu reaksi darinya. Lelaki itu tidak bereaksi apa pun kecuali senyum yang tersungging di sudut bibirnya. Pung tahu bahwa bukan hanya dirinya yang pernah menawarkan kemalangan itu kepadanya. Sepertinya lelaki itu sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.

"Banyak orang ingin menjual kemalangannya seolah kemalangan itu tidak berarti apa-apa untuk hidupnya, padahal sebaliknya kemalangan itu adalah obat agar manusia tetap jadi manusia." Benar apa yang Pung duga. Ia adalah satu dari sekian orang-orang yang ingin menjual kemalangannya. Pung mengernyitkan dahinya tak mengerti. Lelaki itu mengucapkan kalimat yang belum ia pahami.

"Kemalangan membuat hari-hariku buruk, putus asa, dan hendak menyerah. Apakah salah jika aku ingin menjualnya?"

"Tidak, Anak Muda. Sama sekali tidak ada yang salah," ujar lelaki itu. "Aku cuma mengingatkanmu saja. Banyak orang melakukannya. Padahal, tanpa mereka sadari, mereka telah membuang aset paling berharga dalam hidupnya."

"Aku tidak mengerti," ucap Pung. "Kemalangan tetap kemalangan. Kemalangan membuat aku menderita. Kemalangan membuat aku banyak merasakan kehilangan, bersedih, dan ingin mati saja"

"Baiklah. Berapa kau ingin jual kemalangan itu, Anak Muda?"

"Tak banyak. Lima puluh atau tujuh puluh rupiah saja. Jikapun kau tidak ingin membayarnya, aku akan dengan senang hati menyerahkan kemalanganku dengan cuma-cuma."

"Aku akan membayarnya. Tunggulah sebentar."

Lelaki itu bergerak terlalu lincah untuk sosok seusia dirinya. Ia melangkah menuju tempat di mana ia menyimpan banyak rupiah untuk kemalangan yang orang-orang jual.
Gedung itu masih terlampau sepi hingga seorang gadis muncul dengan wajah pucat dengan kedua bola mata sembap. Ia melirik ke arah Pung yang sedang menunggu dengan gelisah.

"Aku ingin menjual kemalanganku. Aku diperkosa bapakku, dan aku hamil, lantas aku hampir menjadi gila. Di mana aku bisa menjualnya?" tanyanya kepada Pung.

"Tempat yang tepat. Di sini tempat kemalangan itu berpindah pemilik. Tapi, aku bukan yang punya tempat. Tunggulah beberapa kejap." Si Gadis segera mencari tempat duduk untuk menunggu. Di ujung ruangan dekat pintu masuk di mana-mana tempat itu sama berdebunya dengan sudut-sudut lain gedung ini.

Lelaki pemilik gedung kembali dengan sejumlah rupiah di tangannya. Ia menatap Pung seolah ingin memastikan bahwa keputusannya sudah sangat bulat. Pung mengangguk. Ia setuju dan tidak mau membatalkan transaksinya. Lelaki itu menyerahkan uangnya dan menerima tiga karung kemalangan dari tangan Pung.

"Ini kemalangan pertama. Kematian ibuku," ujar Pung, "yang kedua, perselingkuhan istriku dengan bos tempat kerjanya. Dan yang terakhir adalah  anak gadisku yang mati dibunuh lima orang bangsat setelah diperkosa secara beramai-ramai."

Lelaki itu menerima tiga karung kemalangan dengan penuh keengganan. Ia kerap ingin menolaknya, tetapi selalu saja tidak pernah tega. Ia hanya bisa menggeleng tanpa tahu harus berbuat seperti apa.

"Kemalanganmu aku terima. Semoga kau tidak akan menyesalinya setelah menjualnya kepadaku."

******



Pung sudah menjual kemalangan-kemalangannya. Ia sudah sudah terbiasa dengan kemalangan-kemalangan itu, sebenarnya. Bahkan, kalau harus jujur, ia menganggap kemalangannya adalah sahabatnya yang paling setia. Berhari-hari ia ingin merasakan bahwa dengan tidak adanya kemalangan dalam hidupnya keadaannya akan jauh lebih baik. Nyatanya ia salah. Pung merasa bahwa hari-harinya kini terasa janggal. Ada yang hilang dalam dirinya.

Biasanya ia tidur dengan kemalangan dalam kepalanya, masuk dalam mimpinya, dan ketika ia terbangun, kemalangan itu akan menyapanya dengan segera. Sekali ini itu tidak terjadi. Dan itu bagi Pung terasa aneh.Terasa begitu asing.

Pung menjalani sepanjang harinya dengan kemalangan. Dan ia sangat menikmatinya. Ia bisa menjadi begitu sabar karena kemalangannya. Ia pun bisa jauh menjadi lebih tegar karena kemalangannya. Ia jauh merasa dirinya menjadi sangat manusia dibanding manusia-manusia lainnya karena kemalangan-kemalangannya itu. Kini, kemalangan itu tidak bisa lagi ia temui. Pung merasa kosong, rapuh, emosional, dan mudah menyerah. Kemalangan itu meninggalkan diri Pung menjadi orang yang begitu lemah. Ini bukan Pung yang ia kenal. Bahkan Pung meyakinkan diri bahwa Pung tanpa kemalangan adalah orang lain.

Harusnya hidup Pung tanpa kemalangan akan sangat baik-baik saja. Itu tidak terjadi. Hidup Pung berada pada level kebalikannya: buruk. Bahkan jauh lebih buruk dibanding saat kemalangan-kemalangan itu ada bersamanya. Pung memutuskan untuk membeli kemalangan itu kembali.

"Aku ingin membeli kembali kemalangan-kemalanganku itu, berapa pun kau akan menjualnya kembali," paksa Pung kepada lelaki pemilik Gedung Kemalangan.

"Sudah kuduga. Padahal aku sudah mengingatkan," jawab lelaki itu dengan senyuman sinis. Wajahnya yang terbiasa dengan senyuman, kian cerah dan benderang. Membeli kemalangan orang tampaknya membuat rona bahagia tumbuh di wajahnya itu berwaktu-waktu lamanya.

"Berapa aku harus membayarnya?" tanya Pung.
"Tidak satu rupiah pun."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena aku tidak akan menjualnya kembali. Kemalangan itu membuat aku hidup jauh lebih kuat. Jauh lebih bahagia. Jauh lebih tegar. Terkadang orang-orang tidak menyadarinya. Jadi, lupakan," tolak lelaki itu.
"Tapi aku sangat ingin memiliki kemalanganku kembali?"
"Kenapa kau tidak memikirkan itu sebelumnya?"
"Aku berpikir tanpa kemalangan hidup akan jauh lebih baik, jauh lebih indah, jauh lebih bahagia. Nyatanya aku salah. Aku menyadarinya. Hidup tanpa kemalangan adalah kesia-siaan tanpa arti."

Lelaki itu tertawa. Bahunya ikut bergerak-gerak. Ia seolah sedang bahagia atas situasi ini. Lelaki itu tidak bersikeras untuk menahan kemalangan Pung kembali. Ia hanya menguji alasan seperti apa yang akan Pung lontarkan. Ternyata alasan Pung sejalan dengan yang lelaki itu pikirkan. Jadi tidak ada alasan untuk mempertahankan kemalangan itu kembali kepada pemiliknya.

"Baiklah, Anak Muda. Tak banyak orang yang menyadari kenyataan ini. Ambillah kemalanganmu itu kembali dan tidak usah membayarnya."

"Terima kasih," Pung mengatakan itu dengan kegembiraan yang membuncah.


Pung pulang dengan kebahagiaan tak terperi. Ia telah memiliki kemalangan-kemalangan itu dan berjanji tidak ingin menjualnya, ke mana pun, kepada siapa pun. Ia ingin menikmatinya sendirian.