Sabtu, 01 Maret 2014

Pulang


          PULANG


          Suaru burung sirit uncuing* menyalak di atap rumahku, lengkingan suaranya mampu membuat bulu kudukku bergidik. Aku ingat betul yang dikatakan ibuku waktu aku kecil, bahwa suara burung sirit uncuing itu sebagai pertanda bahwa akan ada orang yang meninggal. Ini hari ketiga, uncuing ini bertamu di rumahku. Dua hari yang lalu, masih di tempat yang sama. Setiap kali suara uncuing itu terdengar, setiap kali pikiranku diseret ke sebuah tempat nun jauh di sana, di belakang sebuah gunung bernama Cikuray---tempat asalku. Tempat itu tempat dimana masa kecilku kuhabiskan, itu berpuluh tahun lalu. Kini, pikiranku harus kembali ke tempat itu, tempat dimana ibu dan bapakku tinggal. Sudah dua kali lebaran aku tidak pulang. Suara uncuing itu kembali menyalak, kali ini tiba-tiba wajah ibuku tergambar jelas di pelupuk mataku. Apa yang sedang terjadi pada ibuku, gumamku. Aku merasakan tiba-tiba rasa kangen itu meruah kembali di sanubariku, setelah beberapa hari yang lalu merasakan hal yang sama. Aku mencoba mencari tahu kabar dari ibuku, kucoba menghubungi sebuah nomor telepon---nomor satu-satunya yang kumiliki, bukan telepon milik ibuku melainkan telepon milik tetangga, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah ibuku. Kupijit rangkaian nomor tersebut. Beberapa saat bungkam tak ada sahutan, hanya ocehan perempuan yang sudah sering aku dengar, bahkan aku telah begitu hapal dengan setiap kalimat yang diucapkannya. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan, tunggulah beberapa saat lagi.” Sial, makiku dalam hati. Lagi, setiap kali aku menghubungi nomor itu setiap kali tidak bisa. Sinyal jaringan di tempat ibuku tinggal tidak pernah bagus, selalu jelek. Aku banting telepon, kuhenyakkan tubuhku di kursi. Sekali ini wajah ibu kembali muncul di benakku.
          “Apa tak sebaiknya Mas pulang dulu, beberapa hari di sanalah,” suara istriku dari dapur menyelusup ke ruang tengah. “Inginnya sih begitu Mah, tapi…entahlah, mas masih ragu.” Sesaat hening, hanya suara minyak yang mendidih yang menyeruak menebarkan aroma ikan asin yang sedang istriku goreng. “Sebaiknya Mas mengalah saja, tidak baik lho memperpanjang permusuhan, apalagi sama bapak sendiri.” Lanjut istriku yang masih sibuk menggoreng ikan asin juga membuat sambal untuk makan kami sekeluarga. “dari dulu Bapak memang keras, Mah. Sudah sering mas berantem. Salah paham bukanlah hal baru, namun mas untuk masalah yang satu ini mencoba untuk bertahan. Ini masalah prinsip, mah.” Belaku. “Sampai kapan Mas, apa mending Mas saja yang mengalah,” suara istriku seakan membujukku, aku memikirkannya. Aku tahu aku memang tipenya keras, bapakku juga. Kesalahpahaman, mungkin tepatnya ketidaksetujuan bapak akan pilihan hidupku telah membuka jarak antara aku dan bapak begitu panjang.
          “Apa sebaiknya kamu batalkan saja pernikahannya, Dud?’ suatu saat bapak bicara suatu hal yang membuat aku tak habis pikir, kenapa bapak bisa bicara seperti itu. Apa yang salah dengan aku, Anti---calon istriku juga pernikahanku.
          “Maksud Bapak?” aku sedikit terkejut sekaligus heran. “Ya dibatalin, bapak tidak setuju dengan pilihanmu. Bapak jauh lebih setuju kamu menikah sama Irna.”
Irna, seorang gadis yang selama ini begitu aku kenal, namun aku menganggapnya tak lebih dari sekedar teman, teman masa kecilku juga ketika merangkak remaja. Kemana-mana aku selalu bersama, berantem, berselisih, dan apapun itu telah sama-sama kami rasakan.
          “Tidak Pak, bukannya apa-apa. Aku sudah besar pak dan aku sudah punya calon sendiri Pak. Lagi pula mana mau aku menikah sama Irna, dia itu sahabatku.” Aku menolak perkataan bapak, bapak marah bukan kepalang. Aku tak habis pikir ko bisa bapak menyuruh-nyuruh untuk menikah sama orang yang aku tak mencintainya. Bapak berang, sejak saat itu bapak tidak pernah lagi mau mengobrol sama aku. Itu berlangsung cukup lama, sampai aku menikahpun bapak tidak mau hadir dan mengantarku, restupun tak pernah kudapatkan. Ibu mencoba membujuk bapak, namun hasilnya nol besar, tidak berhasil. Aku tak pernah habis pikir apa yang membuat bapak begitu mati-matian memaksaku menikah sama Irna. Usut punya usut ternyata bapak mengincar jabatan wakil kepala desa di tempatku, bapak sangat terobsesi. Bapak berharap kalau aku menikah sama Irna, maka bapak akan dengan mudah menduduki jabatan tersebut, sebab bapaknya Irna adalah kepala desanya---yang jabatannya tak pernah bisa direbut oleh siapaun di tempatku sebab sistem rezim turun-temurun berlaku di desaku. Kakeknya Irna dulunya kepala desa lalu jabatannya diturunkan kepada bapaknya Irna, dan berikutnya akan terus begitu.
          Ini tahun kedua aku tidak pulang. Setelah pertengkaran itu dan setelah aku benar-benar menikah, bapak menjaga jarak denganku. Tidak pernah lagi bapak mau bicara padaku, hanya untuk mengantar aku pergi merantau bersama istriku pun, bapak enggan. Aku pergi dengan membawa luka. Istriku tahu permasalahannya, namun istriku tipe yang sabar. Dia tidak pernah merasa dendam pada bapakku. Dia menerimanya dengan hati lapang.
          “Maafin Bapakku ya, Mah.”
          “Sebelum Mas minta pun, aku sudah memaafin Bapak. Tenang saja Mas, aku selalu berdoa kepada Allah, suatu saat Bapak mau menerimaku. Lagian saya cintanya sama Mas, bukan sama Bapak,” jawabnya bijak. Kali itu aku merasa laki-laki paling beruntung bisa mendapatkan istri seperti Anti, orangnya betul-betul bijaksana dan bisa menjadi seorang penengah tanpa ada sedikit pun rasa dendam di hatinya.
*****

          Hujan begitu lebat, halilintar seakan marah menyambut kehadiranku. Aku menjejakan kakiku kembali di tempat ini, tempat dimana aku pernah merasa riang manakala hujan turun. Dudi kecil akan berlari kesana kemari dengan bertelanjang dada. Bermain-main dengan air hujan sekali-kali tertawa riuh bersama anak lainnya, termasuk Irna. Aku masih membayangkan tubuh kecilku berlari mengejar bola plastik di tengah lapangan becek dengan lumpur lumayan tebal, maklum hujan sepertinya telah berhari-hari berkunjung di kampungku. Lapangan itu sebenarnya bekas sawah yang padinya telah dipanen sebelumnya. Lapangan itu masihlah sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya, hanya pepohonan yang tumbuh di sisinya yang berbeda. Kini pohon-pohon jati berdiri tegak.
          Aku menatap sekeliling, kampungku sedikit berubah, setelah dua tahun aku tak menyambanginya. Dulu ditempatku berdiri, pohon asam tua kokoh berdiri. Pohon asam ini sering dianngap ada setannya oleh penduduk kampung. Pohonnya yang besar juga daun-daunnya yang rindang memang sedikit menyeramkan, aku membenarkan mitos tersebut kala itu. Kini, pohon asam itu telah menjelma sebuah gapura dari tembok yang diapit kanan kirinya oleh pesawahan. Ada jalan setapak yang telah dipelester semen, dulu hanya berupa jalan tanah yang kalau hujan beceknya minta ampun juga licin, dan terkadang orang sering terpeleset saking licinnya. Sudah banyak rumah sekarang, aku menghitung banyak sebab dulu hanya beberapa yang dihitung jari pun bisa.
          “Ojeg, Bang!” suara seorang laki-laki separuh baya membuyarkan lamunanku. Aku hanya menganggukan kepala pertanda mengiyakan.
          “Kemana, Bang?” lanjutnya. “Rumahnya pak Arman,” jawabku singkat. Tanpa banyak kata-kata lagi laki-laki itu segera bergegas dengan motornya, mengantarku ke rumah pak Arman, bapakku.
          Aku berdiri di depan sebuah rumah dengan tembok berwarna biru, halamannya begitu luas. Di kanan kirinya pohon singkong berjejer rapi. Pohon nangka masih berdiri tegak di belakang rumah. Aku tersenyum sendirian, manakala aku mengingat kejadian waktu aku masih kecil, ketika aku terjatuh dari pohon nangka hanya gara-gara layangan. Aku sedikit menggigil, hujan telah membuat tubuhku kedinginan, plastik yang diberikan tukang ojeg untuk menutup tubuhku tak banyak membantu, aku tetap kehujanan. Aku melangkah tergesa, tiba-tiba jantungku berdegup begitu kencang. Aku membayangkan bapak muncul di sana lalu marah-marah, aku masih ingat wajah bapak kalau marah. Matanya memerah saga, mulutnya meracu seperti orang kesurupan. Aku membayangkan itu, saat ketika aku dan istriku harus benar-benar angkat kaki dari rumah bapak masih kuingat. Sedih, sudah pasti. Namun aku tak patah arang, keputusanku memperistri Anti tak pernah kusesali walaupun aku harus pergi dari rumah karenanya. Aku sedikit ragu memasuki rumah, rasa takut itu kembali menyeruak. Namun wajah ibu kadang bisa mengalihkan rasa takutku.
          “Assalamu ‘alaikum,” ucapku lirih seraya memegang gagang pintu. Tak ada jawaban, sepi. Aku membuka pintu, tak seorang pun di ruang depan. Aku masuk rumah langsung menuju dapur. Aku paham betul, ibu biasanya kalau tidak di depan ya di dapur. Aku bergegas, benar tebakanku. Ibuku sedang di dapur membelakangiku. Tubuhnya masih sama seperti dua tahun lalu. Masih berdiri tegak, osteoporosis sepertinya tidak mempan menyerang tubuh ibuku. Ibuku sudah tua namun hanya sedikit uban yang tumbuh di rambutnya. Aku pernah heran, namun kenyataannya memang demikian.
         “Assalamu ‘alaikum,” ulangku sekali lagi. Perempuan itu menjawab salamku seraya membalikan badannya. Raut wajahnya langsung ceria manakala mengetahui suara itu berasal dari mulutku, suara anaknya yang telah lama tidak didengarnya. “Waalaikum salam,” jawabnya seraya menghampiriku lalu ia memelukku dan menciumku. Ada kerinduan yang teramat dalam yang kurasakan manakala memeluk tubuh hangatnya. Aku telah lama kehilangan hangatnya. Beberapa lama kami tenggelam dalam kebisuaan, hanya degup jantung kami yang saling bertegur sapa. Wajahku masih terbenan didadanya, dada yang selalu kujadikan tempat berlabuh manakala aku harus meluapkan kesedihan juga kegembiraan. Ibu melepaskan pelukannya, aku melihat ada sebentuk kristal bening terjatuh dari sudut matanya yang mulai melayu, usia tuanya merambat naik.
          “Mana Anti?” seakan menyadari kalau kehadiranku hanya seorang diri.
          “Tidak ikut, Bu,” aku sedikit tertahan mengatakannya. “Bapak mana, Bu?” lanjutku. Ibu hanya terdiam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Aku melihat sepintas mimik wajah ibuku ada sesuatu yang sedang terjadi. Wajah yang sebelumnya ceria kini sedikit bergeser muram. Ibu menarik nafas panjang, ada beban dari caranya menarik nafas, begitu berat nampaknya. Aku semakin penasaran kupeluk tubuhnya lagi. “Bapak mana bu, aku ingin bertemu dan minta maaf,” kataku dalam nada sedikit terbata. Ibu tak menjawab, namun ibu segera berdiri lalu melangkah ke ruang depan dan menuju sebuah ruangan di sebelahnya. Aku mengikuti dengan banyak pertanyaan meletup-letup di kepalaku. Ibu membuka pintu, kamar bapakku. Aku terkejut, di dalam kamar sesosok tubuh terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya aku kenal betul, wajah bapakku. Namun aku begitu heran dengan keadaanya saat ini. Wajahnya yang dulu tegap dan kokoh, kini hanya sebentuk tulang tanpa daging, begitu tirus. Tubuh pun demikian. Bapakku bertubuh tinggi tegap dengan otot-otot besar---maklum dulu bapakku seorang kuli bangunan merangkap petani. Namun kini tubuhnya begitu kurus tinggal seonggok tulang tanpa daging. Aku bergegas masuk lalu merangkulnya, air mata ini tidak bisa dibendung, sedari tadi aku mencoba menahan luapannya namun tak bisa. Aku menciumnya, lalu tangannya aku genggam, punggung telapaknya kucium juga. Aku meneteskan air mataku, aku menyaksikkan bapaku yang begitu garang kini hanya terkulai lemas tak berdaya.
        “Kenapa Bapak, Bu?” tanyaku.
         “Doter menyebutnya TBC, ibu tak tahu artinya apa itu,” jawab ibuku.
         “Sejak kapan, Bu?’ tanyaku lagi, penasaran.
         “Satu tahun lalu, beberapa bulan setelah kamu pergi,” terang ibuku. Aku terkejut. Seketika itu tubuhku bergetar hebat, aku merasa terpukul sekaligus merasa begitu berdosa. Keputusanku telah membuat bapak sakit, pikirku. Aku benar-benar merasa bersalah, air mataku kembali berjatuhan tanpa diminta. Hatiku hancur, aku mengutuk diriku sendiri. Aku kembali memeluk erat tubuh bapakku. “Pak, maafkan aku, aku menyesal. Aku telah salah sama Bapak,” ratapku berulang-ulang sambil sesekali mencium wajahnya. Bapakku hanya diam, tak bicara sepatah katapun. Namun matanya yang sudah sedikit lamur tampak jelas menitikan air mata juga.
         “Selain TBC, Bapak juga lumpuh. Sekujur tubuhnya sudah tidak berfungsi sama sekali.” Terang ibuku. Hatiku semakin hancur mendengarnya.
          “Kenapa ibu tak memberi kabar sama sekali kepadaku, bu?’
          “Bapak melarang Ibu, sebelum lumpuh bapak melarang Ibu. Ibu tak bisa berbuat banyak. Sebab alamatmu pun Ibu tak tahu.” Aku terdiam, tak ada yang bisa dipersalahkan. Aku selama ini memang tak pernah memberitahu dimana aku tinggal, nomor telepon pun tak kutinggalkan, baru setelah sebulan kemarin aku mendapatkan nomor tetanggaku, namun semuanya sia-sia. Sinyal bodoh itu menggagalkan semuanya.
          “Maafkan aku, Bu.”
          “Tak ada yang patut dipersalahkan Dud, semuanya telah menjadi jalan Tuhan. Kita sebagai mahluk-Nya hanya bisa menjalaninya. Sudahlah, istirahat dulu sana. Ibu akan menyiapkan makanan untukmu.”

          Sepi, semuanya sepi. Malam ini dan malam-malam sebelumnya aku terus menemani bapak. Aku terus berdoa untuk kesembuhan bapak. Aku berharap suatu saat aku bisa kembali berbincang-bincang tentang apa saja dengan bapakku. Bicara tentang sawah, ladamg, sungai tempat aku berenang bersama bapak kala kecil dulu, tentang kampung ini, si Umar, orang gila di tengah sawah dan banyak lagi. Aku terenyuh melihat bapak sekarang. Bapak hanya bisa makan kalau ibu menyuapinya, itupun hanya makan bubur halus. Disini aku menyadari kesalahanku, setiap saat aku meminta maaf kepada bapak, dan dibalas dengan linangan air mata di matanya.
*****

          Gerimis tipis baru saja selesai dengan tugasnya membasahi bumi. Aku terduduk di sini, di depan sebuah nisan dengan tanah basah masih terhampar, di sebelahku ibuku dengan posisi yang sama. Air mata masih ruah dari kedua mataku juga mata ibuku. Tak ada orang lain lagi selain kami berdua. Aku memeluk tubuh ibuku dari samping. Aroma bunga masih tercium, dari atas pusara, kelopak-kelopak bunga tergolek di atas pusara. Aku menatap nisan itu dalam-dalam, sebuah nama tertatah di dalamnya ARMAN HIDAYAT, nama bapakku. Bapakku berpulang malam tadi, bapak tak lagi bisa sembuh.
          “Maafkan aku, Pak. Aku salah, aku sangat menyesal dengan keputusan ini. Seandainya ada pilihan lain, mungkin pilihan ini tidak aku ambil. Sekali lagi aku, anakmu minta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga di alam sana Bapak diterima di sisi Tuhan. Aku pamit pulang, Pak. Aku berjanji aku akan terus berdoa untukmu, dan aku berjanji akan menjaga Ibu untuk Bapak.” Kata terakhirku ruah di tengah pusara bapakku. Lalu gerimis pun luruh kembali menjelma tangisan kehilangan dari mata orang-orang yang ditinggalkan. Aku bergegas pulang menuntun ibu bersamaan dengan tetesan gerimis yang membasahi bumi. Kini aku teringat dengan suara burung sirit uncuing beberapa saat lalu. Ternyata sebuah pertanda kematian dari orang yang kucintai, bapakku.


Keterangan:
*) nama salah satu burung, yang di Jawa Barat dianggap sebagai burung pembawa kabar kematian



Tidak ada komentar: