PULANG
Suaru burung sirit uncuing* menyalak
di atap rumahku, lengkingan suaranya mampu membuat bulu kudukku bergidik. Aku
ingat betul yang dikatakan ibuku waktu aku kecil, bahwa suara burung sirit
uncuing itu sebagai pertanda bahwa akan ada orang yang meninggal. Ini hari
ketiga, uncuing ini bertamu di rumahku. Dua hari yang lalu, masih di tempat
yang sama. Setiap kali suara uncuing itu terdengar, setiap kali pikiranku
diseret ke sebuah tempat nun jauh di sana, di belakang sebuah gunung bernama Cikuray---tempat
asalku. Tempat itu tempat dimana masa kecilku kuhabiskan, itu berpuluh tahun
lalu. Kini, pikiranku harus kembali ke tempat itu, tempat dimana ibu dan
bapakku tinggal. Sudah dua kali lebaran aku tidak pulang. Suara uncuing itu kembali
menyalak, kali ini tiba-tiba wajah ibuku tergambar jelas di pelupuk mataku. Apa
yang sedang terjadi pada ibuku, gumamku. Aku merasakan tiba-tiba rasa kangen
itu meruah kembali di sanubariku, setelah beberapa hari yang lalu merasakan hal
yang sama. Aku mencoba mencari tahu kabar dari ibuku, kucoba menghubungi sebuah
nomor telepon---nomor satu-satunya yang kumiliki, bukan telepon milik ibuku
melainkan telepon milik tetangga, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan
rumah ibuku. Kupijit rangkaian nomor tersebut. Beberapa saat bungkam tak ada
sahutan, hanya ocehan perempuan yang sudah sering aku dengar, bahkan aku telah begitu
hapal dengan setiap kalimat yang diucapkannya. “Nomor yang anda tuju sedang
tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan, tunggulah beberapa saat
lagi.” Sial, makiku dalam hati. Lagi, setiap kali aku menghubungi nomor itu
setiap kali tidak bisa. Sinyal jaringan di tempat ibuku tinggal tidak pernah
bagus, selalu jelek. Aku banting telepon, kuhenyakkan tubuhku di kursi. Sekali ini
wajah ibu kembali muncul di benakku.
“Apa tak sebaiknya Mas pulang dulu,
beberapa hari di sanalah,” suara istriku dari dapur menyelusup ke ruang tengah.
“Inginnya sih begitu Mah, tapi…entahlah, mas masih ragu.” Sesaat hening, hanya
suara minyak yang mendidih yang menyeruak menebarkan aroma ikan asin yang sedang
istriku goreng. “Sebaiknya Mas mengalah saja, tidak baik lho memperpanjang
permusuhan, apalagi sama bapak sendiri.” Lanjut istriku yang masih sibuk
menggoreng ikan asin juga membuat sambal untuk makan kami sekeluarga. “dari
dulu Bapak memang keras, Mah. Sudah sering mas berantem. Salah paham bukanlah
hal baru, namun mas untuk masalah yang satu ini mencoba untuk bertahan. Ini
masalah prinsip, mah.” Belaku. “Sampai kapan Mas, apa mending Mas saja yang
mengalah,” suara istriku seakan membujukku, aku memikirkannya. Aku tahu aku
memang tipenya keras, bapakku juga. Kesalahpahaman, mungkin tepatnya
ketidaksetujuan bapak akan pilihan hidupku telah membuka jarak antara aku dan
bapak begitu panjang.
“Apa sebaiknya kamu batalkan saja
pernikahannya, Dud?’ suatu saat bapak bicara suatu hal yang membuat aku tak
habis pikir, kenapa bapak bisa bicara seperti itu. Apa yang salah dengan aku,
Anti---calon istriku juga pernikahanku.
“Maksud Bapak?” aku sedikit terkejut
sekaligus heran. “Ya dibatalin, bapak tidak setuju dengan pilihanmu. Bapak jauh
lebih setuju kamu menikah sama Irna.”
Irna, seorang gadis
yang selama ini begitu aku kenal, namun aku menganggapnya tak lebih dari
sekedar teman, teman masa kecilku juga ketika merangkak remaja. Kemana-mana aku
selalu bersama, berantem, berselisih, dan apapun itu telah sama-sama kami
rasakan.
“Tidak Pak, bukannya apa-apa. Aku
sudah besar pak dan aku sudah punya calon sendiri Pak. Lagi pula mana mau aku
menikah sama Irna, dia itu sahabatku.” Aku menolak perkataan bapak, bapak marah
bukan kepalang. Aku tak habis pikir ko bisa bapak menyuruh-nyuruh untuk menikah
sama orang yang aku tak mencintainya. Bapak berang, sejak saat itu bapak tidak
pernah lagi mau mengobrol sama aku. Itu berlangsung cukup lama, sampai aku
menikahpun bapak tidak mau hadir dan mengantarku, restupun tak pernah
kudapatkan. Ibu mencoba membujuk bapak, namun hasilnya nol besar, tidak
berhasil. Aku tak pernah habis pikir apa yang membuat bapak begitu mati-matian
memaksaku menikah sama Irna. Usut punya usut ternyata bapak mengincar jabatan
wakil kepala desa di tempatku, bapak sangat terobsesi. Bapak berharap kalau aku
menikah sama Irna, maka bapak akan dengan mudah menduduki jabatan tersebut,
sebab bapaknya Irna adalah kepala desanya---yang jabatannya tak pernah bisa
direbut oleh siapaun di tempatku sebab sistem rezim turun-temurun berlaku di
desaku. Kakeknya Irna dulunya kepala desa lalu jabatannya diturunkan kepada
bapaknya Irna, dan berikutnya akan terus begitu.
Ini tahun kedua aku tidak pulang.
Setelah pertengkaran itu dan setelah aku benar-benar menikah, bapak menjaga
jarak denganku. Tidak pernah lagi bapak mau bicara padaku, hanya untuk
mengantar aku pergi merantau bersama istriku pun, bapak enggan. Aku pergi
dengan membawa luka. Istriku tahu permasalahannya, namun istriku tipe yang
sabar. Dia tidak pernah merasa dendam pada bapakku. Dia menerimanya dengan hati
lapang.
“Maafin Bapakku ya, Mah.”
“Sebelum Mas minta pun, aku sudah
memaafin Bapak. Tenang saja Mas, aku selalu berdoa kepada Allah, suatu saat Bapak
mau menerimaku. Lagian saya cintanya sama Mas, bukan sama Bapak,” jawabnya
bijak. Kali itu aku merasa laki-laki paling beruntung bisa mendapatkan istri
seperti Anti, orangnya betul-betul bijaksana dan bisa menjadi seorang penengah
tanpa ada sedikit pun rasa dendam di hatinya.
*****
Hujan begitu lebat, halilintar seakan
marah menyambut kehadiranku. Aku menjejakan kakiku kembali di tempat ini,
tempat dimana aku pernah merasa riang manakala hujan turun. Dudi kecil akan
berlari kesana kemari dengan bertelanjang dada. Bermain-main dengan air hujan
sekali-kali tertawa riuh bersama anak lainnya, termasuk Irna. Aku masih
membayangkan tubuh kecilku berlari mengejar bola plastik di tengah lapangan
becek dengan lumpur lumayan tebal, maklum hujan sepertinya telah berhari-hari
berkunjung di kampungku. Lapangan itu sebenarnya bekas sawah yang padinya telah
dipanen sebelumnya. Lapangan itu masihlah sama seperti terakhir kali aku
meninggalkannya, hanya pepohonan yang tumbuh di sisinya yang berbeda. Kini
pohon-pohon jati berdiri tegak.
Aku menatap sekeliling, kampungku
sedikit berubah, setelah dua tahun aku tak menyambanginya. Dulu ditempatku berdiri,
pohon asam tua kokoh berdiri. Pohon asam ini sering dianngap ada setannya oleh
penduduk kampung. Pohonnya yang besar juga daun-daunnya yang rindang memang
sedikit menyeramkan, aku membenarkan mitos tersebut kala itu. Kini, pohon asam
itu telah menjelma sebuah gapura dari tembok yang diapit kanan kirinya oleh
pesawahan. Ada jalan setapak yang telah dipelester semen, dulu hanya berupa
jalan tanah yang kalau hujan beceknya minta ampun juga licin, dan terkadang
orang sering terpeleset saking licinnya. Sudah banyak rumah sekarang, aku
menghitung banyak sebab dulu hanya beberapa yang dihitung jari pun bisa.
“Ojeg, Bang!” suara seorang laki-laki
separuh baya membuyarkan lamunanku. Aku hanya menganggukan kepala pertanda
mengiyakan.
“Kemana, Bang?” lanjutnya. “Rumahnya
pak Arman,” jawabku singkat. Tanpa banyak kata-kata lagi laki-laki itu segera
bergegas dengan motornya, mengantarku ke rumah pak Arman, bapakku.
Aku berdiri di depan sebuah rumah
dengan tembok berwarna biru, halamannya begitu luas. Di kanan kirinya pohon
singkong berjejer rapi. Pohon nangka masih berdiri tegak di belakang rumah. Aku
tersenyum sendirian, manakala aku mengingat kejadian waktu aku masih kecil,
ketika aku terjatuh dari pohon nangka hanya gara-gara layangan. Aku sedikit
menggigil, hujan telah membuat tubuhku kedinginan, plastik yang diberikan
tukang ojeg untuk menutup tubuhku tak banyak membantu, aku tetap kehujanan. Aku
melangkah tergesa, tiba-tiba jantungku berdegup begitu kencang. Aku membayangkan
bapak muncul di sana lalu marah-marah, aku masih ingat wajah bapak kalau marah.
Matanya memerah saga, mulutnya meracu seperti orang kesurupan. Aku membayangkan
itu, saat ketika aku dan istriku harus benar-benar angkat kaki dari rumah bapak
masih kuingat. Sedih, sudah pasti. Namun aku tak patah arang, keputusanku
memperistri Anti tak pernah kusesali walaupun aku harus pergi dari rumah
karenanya. Aku sedikit ragu memasuki rumah, rasa takut itu kembali menyeruak.
Namun wajah ibu kadang bisa mengalihkan rasa takutku.
“Assalamu ‘alaikum,” ucapku lirih
seraya memegang gagang pintu. Tak ada jawaban, sepi. Aku membuka pintu, tak
seorang pun di ruang depan. Aku masuk rumah langsung menuju dapur. Aku paham
betul, ibu biasanya kalau tidak di depan ya di dapur. Aku bergegas, benar
tebakanku. Ibuku sedang di dapur membelakangiku. Tubuhnya masih sama seperti
dua tahun lalu. Masih berdiri tegak, osteoporosis
sepertinya tidak mempan menyerang tubuh ibuku. Ibuku sudah tua namun hanya
sedikit uban yang tumbuh di rambutnya. Aku pernah heran, namun kenyataannya
memang demikian.
“Assalamu ‘alaikum,” ulangku sekali
lagi. Perempuan itu menjawab salamku seraya membalikan badannya. Raut wajahnya
langsung ceria manakala mengetahui suara itu berasal dari mulutku, suara anaknya
yang telah lama tidak didengarnya. “Waalaikum salam,” jawabnya seraya
menghampiriku lalu ia memelukku dan menciumku. Ada kerinduan yang teramat dalam
yang kurasakan manakala memeluk tubuh hangatnya. Aku telah lama kehilangan
hangatnya. Beberapa lama kami tenggelam dalam kebisuaan, hanya degup jantung
kami yang saling bertegur sapa. Wajahku masih terbenan didadanya, dada yang
selalu kujadikan tempat berlabuh manakala aku harus meluapkan kesedihan juga
kegembiraan. Ibu melepaskan pelukannya, aku melihat ada sebentuk kristal bening
terjatuh dari sudut matanya yang mulai melayu, usia tuanya merambat naik.
“Mana Anti?” seakan menyadari kalau
kehadiranku hanya seorang diri.
“Tidak ikut, Bu,” aku sedikit
tertahan mengatakannya. “Bapak mana, Bu?” lanjutku. Ibu hanya terdiam, tak satu
kata pun keluar dari mulutnya. Aku melihat sepintas mimik wajah ibuku ada
sesuatu yang sedang terjadi. Wajah yang sebelumnya ceria kini sedikit bergeser
muram. Ibu menarik nafas panjang, ada beban dari caranya menarik nafas, begitu
berat nampaknya. Aku semakin penasaran kupeluk tubuhnya lagi. “Bapak mana bu,
aku ingin bertemu dan minta maaf,” kataku dalam nada sedikit terbata. Ibu tak
menjawab, namun ibu segera berdiri lalu melangkah ke ruang depan dan menuju
sebuah ruangan di sebelahnya. Aku mengikuti dengan banyak pertanyaan
meletup-letup di kepalaku. Ibu membuka pintu, kamar bapakku. Aku terkejut, di
dalam kamar sesosok tubuh terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya aku kenal
betul, wajah bapakku. Namun aku begitu heran dengan keadaanya saat ini.
Wajahnya yang dulu tegap dan kokoh, kini hanya sebentuk tulang tanpa daging,
begitu tirus. Tubuh pun demikian. Bapakku bertubuh tinggi tegap dengan
otot-otot besar---maklum dulu bapakku seorang kuli bangunan merangkap petani.
Namun kini tubuhnya begitu kurus tinggal seonggok tulang tanpa daging. Aku
bergegas masuk lalu merangkulnya, air mata ini tidak bisa dibendung, sedari
tadi aku mencoba menahan luapannya namun tak bisa. Aku menciumnya, lalu tangannya
aku genggam, punggung telapaknya kucium juga. Aku meneteskan air mataku, aku
menyaksikkan bapaku yang begitu garang kini hanya terkulai lemas tak berdaya.
“Kenapa Bapak, Bu?” tanyaku.
“Doter menyebutnya TBC, ibu tak tahu
artinya apa itu,” jawab ibuku.
“Sejak kapan, Bu?’ tanyaku lagi,
penasaran.
“Satu tahun lalu, beberapa bulan setelah kamu
pergi,” terang ibuku. Aku terkejut. Seketika itu tubuhku bergetar hebat, aku
merasa terpukul sekaligus merasa begitu berdosa. Keputusanku telah membuat
bapak sakit, pikirku. Aku benar-benar merasa bersalah, air mataku kembali
berjatuhan tanpa diminta. Hatiku hancur, aku mengutuk diriku sendiri. Aku
kembali memeluk erat tubuh bapakku. “Pak, maafkan aku, aku menyesal. Aku telah
salah sama Bapak,” ratapku berulang-ulang sambil sesekali mencium wajahnya.
Bapakku hanya diam, tak bicara sepatah katapun. Namun matanya yang sudah
sedikit lamur tampak jelas menitikan air mata juga.
“Selain TBC, Bapak juga lumpuh.
Sekujur tubuhnya sudah tidak berfungsi sama sekali.” Terang ibuku. Hatiku
semakin hancur mendengarnya.
“Kenapa ibu tak memberi kabar sama
sekali kepadaku, bu?’
“Bapak melarang Ibu, sebelum lumpuh
bapak melarang Ibu. Ibu tak bisa berbuat banyak. Sebab alamatmu pun Ibu tak
tahu.” Aku terdiam, tak ada yang bisa dipersalahkan. Aku selama ini memang tak
pernah memberitahu dimana aku tinggal, nomor telepon pun tak kutinggalkan, baru
setelah sebulan kemarin aku mendapatkan nomor tetanggaku, namun semuanya sia-sia.
Sinyal bodoh itu menggagalkan semuanya.
“Maafkan aku, Bu.”
“Tak ada yang patut dipersalahkan
Dud, semuanya telah menjadi jalan Tuhan. Kita sebagai mahluk-Nya hanya bisa
menjalaninya. Sudahlah, istirahat dulu sana. Ibu akan menyiapkan makanan
untukmu.”
Sepi, semuanya sepi. Malam ini dan
malam-malam sebelumnya aku terus menemani bapak. Aku terus berdoa untuk
kesembuhan bapak. Aku berharap suatu saat aku bisa kembali berbincang-bincang
tentang apa saja dengan bapakku. Bicara tentang sawah, ladamg, sungai tempat
aku berenang bersama bapak kala kecil dulu, tentang kampung ini, si Umar, orang
gila di tengah sawah dan banyak lagi. Aku terenyuh melihat bapak sekarang.
Bapak hanya bisa makan kalau ibu menyuapinya, itupun hanya makan bubur halus.
Disini aku menyadari kesalahanku, setiap saat aku meminta maaf kepada bapak,
dan dibalas dengan linangan air mata di matanya.
*****
Gerimis tipis baru saja selesai
dengan tugasnya membasahi bumi. Aku terduduk di sini, di depan sebuah nisan
dengan tanah basah masih terhampar, di sebelahku ibuku dengan posisi yang sama.
Air mata masih ruah dari kedua mataku juga mata ibuku. Tak ada orang lain lagi
selain kami berdua. Aku memeluk tubuh ibuku dari samping. Aroma bunga masih
tercium, dari atas pusara, kelopak-kelopak bunga tergolek di atas pusara. Aku
menatap nisan itu dalam-dalam, sebuah nama tertatah di dalamnya ARMAN HIDAYAT,
nama bapakku. Bapakku berpulang malam tadi, bapak tak lagi bisa sembuh.
“Maafkan aku, Pak. Aku salah, aku
sangat menyesal dengan keputusan ini. Seandainya ada pilihan lain, mungkin
pilihan ini tidak aku ambil. Sekali lagi aku, anakmu minta maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga di alam sana Bapak diterima di sisi Tuhan. Aku pamit pulang, Pak. Aku
berjanji aku akan terus berdoa untukmu, dan aku berjanji akan menjaga Ibu untuk
Bapak.” Kata terakhirku ruah di tengah pusara bapakku. Lalu gerimis pun luruh
kembali menjelma tangisan kehilangan dari mata orang-orang yang ditinggalkan.
Aku bergegas pulang menuntun ibu bersamaan dengan tetesan gerimis yang
membasahi bumi. Kini aku teringat dengan suara burung sirit uncuing beberapa
saat lalu. Ternyata sebuah pertanda kematian dari orang yang kucintai, bapakku.
Keterangan:
*) nama salah satu
burung, yang di Jawa Barat dianggap sebagai burung pembawa kabar kematian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar