Emosi Asih memuncah, air mata yang
sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga, menggenang bersama tetesan hujan
yang ruah di pelataran rumah. “Ari abdi nasib teh kieu-kieu teuing, Mak,”*
ratapnya seakan menyesali hidup yang sedang dijalaninya saat ini, seraya
memeluk erat tubuh renta Emaknya. “Boga salaki teh euweuh nu sahulueun hiji
oge,”** lanjutnya. Air matanya semakin deras mengalir. Hujan di luar semakin
deras, seakan turut berduka atas kesedihan Asih.
Ini pernikahan ketiga bagi Asih,
setelah dua pernikahan sebelumnya berakhir dengan perceraian. Pernikahan
pertamanya dengan Somad kandas, ketika usia pernikahannya baru memasuki bulan
keempat. Somad meninggalkan Asih begitu saja, tanpa diketahui Asih kemana dan dimana
Somad pergi. Selang beberapa minggu berikutnya, Asih mendapat kabar, Somad
menikah lagi.
Pernikahan kedua lebih tragis lagi,
Asih kena tipu mentah-mentah. Ardan, suaminya yang katanya juragan kelapa sawit
dari Pekanbaru itu, mempunyai tiga orang istri, dan Asih adalah istrinya yang
keempat. Padahal sebelumnya Ardan mengaku bujangan, Asih percaya sebab dari
wajahnya masih terlihat muda, ternyata Asih salah. Setelah mengetahui dari
mulut salah seorang karibnya, Asih tentu saja berontak, Asih minta diceraikan.
Kini, pernikahannya yang ketiga
sedang diujung tanduk. Oman, suaminya yang ketiga sedang menjadi perbincangan
hangat dikalangan tetangga. Oman dikabarkan selingkuh dengan mantan pacarnya
dulu. Tentu saja Asih berang, Asih mencoba menyelidiki kebenarannya. Asih tidak
pernah mau percaya omongan orang, sebelum mata kepalanya sendiri
menyaksikannya. Berhari-hari Asih mencoba menyelidiki. Dan ternyata, terbukti.
Asih menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Oman sedang duduk bermesraan
dengan mantannya di saung sawah milik pak RT.
“Dasar perempuan gila, kamu teh
kenapa sudah jelas lelaki ini teh sudah punya istri, masih saja dilayani.” Maki
Asih dengan emosi yang meluap-luap sembari menjambak rambut perempuan
itu---yang belakangan diketahui namanya Ijah, mantan pacar Oman sewaktu masih
sekolah. Asih marah sejadi-jadinya, ia berkelahi mati-matian dengan musuhnya di
tengah sawah dengan disaksikan oleh suaminya. Kabar pun menyebar cepat. Berita
ini jadi santapan mulut-mulut nyinyir para tetangga.
“Asih salah paham, Akang mah tidak
ngapa-ngapain sama si Ijah,” pembelaan Oman ketika semua keluarga dua belah
pihak sedang berkumpul untuk menyelesaikan masalahnya.
“Akang mah sudah ketahuan juga tidak
mau ngaku. Asih melihat dengan mata sendiri, Akang teh lagi mesra-mesraan di
saung teh,” cerocos Asih menjelaskan apa-apa yang dilihatnya. Semua diam,
amarah Asih sedang dipuncaknya. Matanya tampak sembab, air matanya
terus-terusan mengalir.
“Kalau sudah tak cinta, ngomong atuh
ka Asih. Jangan begini caranya, Kang.” Asih merajuk. Oman hanya terdiam, tak
bisa membela diri lagi. Oman memang sudah benar-benar buntu, tidak ada lagi
kata-kata yang bisa diucapkannya kepada Asih. Semuanya sudah terbuka, tidak ada
lagi yang bisa di sembunyikan Oman.
“Ya sudah atuh Sih, Akang minta maaf.
Akang khilaf. Maukan Asih memaafkan Akang?’ suara itu meluncur deras dari bibir
Oman. Asih bingung, antara memaafkan atau tidak. Asih melihat ada ketulusan
dari cara suaminya bicara. Asih terdiam beberapa saat, mencoba
menimbang-nimbang keputusan apa yang seharusnya diambil.
“Kalau menurut Bapak mah, maafin saja
Sih. Oman sudah mengakuinya dan menyesal,” pak Imran, bapaknya Asih ikut
nimbrung, seakan memberi solusi terbaik buat Asih.
“Tapi Akang janji ya, jangan seperti
itu lagi,” suara Asih melunak. Oman hanya mengangguk pelan pertanda setuju. Suasana
hening, tapi hati masing-masing masih, banyak yang ingin diucapkan,
dipertanyakan, dan diperjelas. Namun isi hati merteka tidak bisa menyeruak ke
permukaan, semuanya bisu. Mereka pun kembali ke keadaan semula, sepasang suami
istri.
Waktu berjalan cepat, hari tenggelam
menjadi bulan, bulan berlalu menjadi tahun. Dan pada tahun kedua setelah
kejadian di saung sawah. Asih dikejutkan oleh kejadian suatu pagi. Ketika
sebuah prahara terjadi lagi manakali Asih sedang begitu asyiknya menikmati
hidup.
“Sih ada yang ingin Akang bicarakan
sama Asih, tapi Asih janji jangan marah yah,”
Oman mengawali percakapannya sambil sesekali meniup gelas kopinya yang
masih mengepul-ngepul. Asih terdiam sejenak, keningnya dikernyitkan sedemikian
rupa, tanda heran.
“Tentang apa, Kang?” Asih penasaran,
menatap wajah Oman lekat-lekat. Ada sebentuk rasa penasaran di wajah Asih.
“Asih tidak bakalan marah, kan?” Oman
menegaskan seraya meneguk kopinya yang sudah mulai dingin.
“Tentang apa dulu, Kang?’ Asih semakin
penasaran, namun dia mulai bimbang. Ada sesuatu rasa yang aneh yang Asih
rasakan tentang pembicaraan Oman kali ini. Asih mendekati Oman kemudian duduk
bersimpuh di hadapan tubuh Oman yang duduk bersila di atas bale-bale bambu.
“Tentang kita Sih, rumah tangga
kita,”
“Maksud Akang?” Asih semakin
mengerutkan keningnya semakin tidak mengerti. Oman menarik nafas dalam-dalam,
ada beban yang teramat berat dari caranya mengembuskan nafasnya. Matanya
menerawang seakan mencari-cari sesuatu di tengah udara pagi yang mulai
merangkak. Bibirnya berkomat-kamit, namun belum ada satu patah kata pun keluar
dari bibirnya. Kembali menatap wajah Asih lekat-lekat. Asih merasa ada yang aneh,
tapi apa itu Asih tidak mengerti. Semenjak kejadian tempo hari, Asih tidak
pernah lagi mendapatkan kelakuan yang aneh, atau mencurigakan yang
diperlihatkan suaminya, namun tidak untuk sekali ini. Ini diluar kebiasaan
suaminya.
“Maafkan Akang, Sih,” sedikit
tertahan. Ada penyesalan terdalam dari caranya bicara. Asih terdiam tanpa tahu
apa yang harus diucapkannya.
“Akang,….Akang…,” sedikit ragu Oman
tersekat-sekat bicaranya. Asih menatap mata suaminya dalam-dalam.
“Maafkan Akang, Akang sudah…… me.., menikah
lagi,” lanjutnya.
Jedeeeeer! seperti ada
halilintar di tengah siang bolong, Asih tersentak kaget bukan kepalang. Apa
yang didengarnya baru saja itu memaksa denyut nadinya tiba-tiba berhenti,
beratus-ratus lebah tiba-tiba muncul dan mengelilinginya. Tubuh Asih bergetar
hebat, mulutnya tiba-tiba mati rasa. Benarkah ucapan suaminya itu, atau hanya
guyonan. Raut wajah Asih berubah merah. Mencoba berucap walau terbata-bata.
“Akang, akang………., tega,” hanya itu
kata terakhir yang bisa diucapkan Asih, selebihnya gelap mulai merayap,
kunang-kunang berlarian di hadapannya. Kata-kata suaminya berubah menjadi
tikaman beratus-ratus belati yang menghujam tubuhnya berulang-ulang. Sakit,
perih Asih rasakan.
Beberapa menit kemudian
tubuh Asih limbung lalu jatuh di depan Oman. Asih pingsan, terlalu berat bagi
Asih mendengarnya. Asih tidak dapat menerima itu. Asih benar-benar kecewa.
*****
“Emak, kieu jeung kieu Asih teh ningan***,”
rajuk Asih sama mak Iti, emaknya.
“Sabar atuh Sih, gogoda hirup ieu teh
ngaranna****,” hanya itu yang diucapkan
mak Iti, tidak lebih.
Selepas kejadian itu Asih meninggalkan
rumahnya, tinggal sementara di rumah emaknya. Asih mencoba memikirkan apa yang
harus dilakukannya. Oman tidak berniat menceraikan Asih, namun perempuan mana
yang rela dengan senang hati dimadu oleh suaminya. Alasan Oman sebenarnya masuk
akal juga untuk nikah lagi, namun tetap saja tidak bisa ditoleransi oleh Asih.
Oman ingin punya anak, oman ingin punya keturunan. Alasam itu yang didengar
Asih. Asih tidak menyalahkan sebenarnya. Sebab selama tiga tahun pernikahannya
dengan Oman, Asih sampai saat ini belum hamil tanda-tandanya pun tidak ada. Itu
yang membuat suaminya nekad menikah lagi. Tapi apakah itu cara terbaik bagi
Oman, tentu saja tidak. Asih tetap menganggap semua ini adalah pengkhianatan,
apapun alasannya.
Asih menatap suaminya lekat-lekat,
aroma kemarahan masih terlihat jelas dari manik matanya, hari ini Asih
didatangi Oman. Asih berusaha untuk tegar, keputusannya sudah dipikirkan
matang-matang. Asih ingin suaminya menceraikannya. Walau sebelumnya menolak,
Oman akhirnya menyetujui permintaan istrinya itu.
“Maafkan Akang, Sih. Tidak ada
pilihan lain. Sebenarnya Akang teh masih cinta sama Asih.” Asih tak menjawab, hanya menundukan
kepalanya. Asih tidak sanggup berkata-kata lagi, semuanya telah berakhir. Rela
gak rela Asih harus merelakan suaminya berpindah ke lain hati. Asih larut dalam
kepedihan, sesekali sesenggukan menahan tangisnya.
“Sudahlah Kang, pergilah. Akang
berhak untuk meninggalkan Asih. Asih memang perempuan tak berguna. Kalau memang
Akang menginginkannya demikian Asih mencoba ikhlas.” Tangis Asih akhirnya
meledak, Asih mencoba untuk tegar, namun tetap saja hati seorang perempuan yang
disakiti tidak bias disembunyikan.
Asih kini mencoba melalui hidupnya
sendirian. Asih mencoba untuk melupakan sosok Oman, perlu waktu untuk Asih
menyembuhkan luka ini.
Ini pernikahan ketiga Asih, dua
pernikahan sebelumnya berakhir dengan perceraian dan pernikahan yang ketiga ini
pun harus berakhir dengan perceraian.
Cibatu, 12 Desember
2013
Keterangan:
*) Nasib ko begini terus, Mak
**) Punya suami tidak ada yang benar
***) Selalu begini, Mak
****) Sabar Sih, itu namanya cobaan hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar