Sabtu, 15 Februari 2014

Pisah





          Emosi Asih memuncah, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga, menggenang bersama tetesan hujan yang ruah di pelataran rumah. “Ari abdi nasib teh kieu-kieu teuing, Mak,”* ratapnya seakan menyesali hidup yang sedang dijalaninya saat ini, seraya memeluk erat tubuh renta Emaknya. “Boga salaki teh euweuh nu sahulueun hiji oge,”** lanjutnya. Air matanya semakin deras mengalir. Hujan di luar semakin deras, seakan turut berduka atas kesedihan Asih.
          Ini pernikahan ketiga bagi Asih, setelah dua pernikahan sebelumnya berakhir dengan perceraian. Pernikahan pertamanya dengan Somad kandas, ketika usia pernikahannya baru memasuki bulan keempat. Somad meninggalkan Asih begitu saja, tanpa diketahui Asih kemana dan dimana Somad pergi. Selang beberapa minggu berikutnya, Asih mendapat kabar, Somad menikah lagi.
          Pernikahan kedua lebih tragis lagi, Asih kena tipu mentah-mentah. Ardan, suaminya yang katanya juragan kelapa sawit dari Pekanbaru itu, mempunyai tiga orang istri, dan Asih adalah istrinya yang keempat. Padahal sebelumnya Ardan mengaku bujangan, Asih percaya sebab dari wajahnya masih terlihat muda, ternyata Asih salah. Setelah mengetahui dari mulut salah seorang karibnya, Asih tentu saja berontak, Asih minta diceraikan.
          Kini, pernikahannya yang ketiga sedang diujung tanduk. Oman, suaminya yang ketiga sedang menjadi perbincangan hangat dikalangan tetangga. Oman dikabarkan selingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Tentu saja Asih berang, Asih mencoba menyelidiki kebenarannya. Asih tidak pernah mau percaya omongan orang, sebelum mata kepalanya sendiri menyaksikannya. Berhari-hari Asih mencoba menyelidiki. Dan ternyata, terbukti. Asih menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Oman sedang duduk bermesraan dengan mantannya di saung sawah milik pak RT.
          “Dasar perempuan gila, kamu teh kenapa sudah jelas lelaki ini teh sudah punya istri, masih saja dilayani.” Maki Asih dengan emosi yang meluap-luap sembari menjambak rambut perempuan itu---yang belakangan diketahui namanya Ijah, mantan pacar Oman sewaktu masih sekolah. Asih marah sejadi-jadinya, ia berkelahi mati-matian dengan musuhnya di tengah sawah dengan disaksikan oleh suaminya. Kabar pun menyebar cepat. Berita ini jadi santapan mulut-mulut nyinyir para tetangga.
          “Asih salah paham, Akang mah tidak ngapa-ngapain sama si Ijah,” pembelaan Oman ketika semua keluarga dua belah pihak sedang berkumpul untuk menyelesaikan masalahnya.
          “Akang mah sudah ketahuan juga tidak mau ngaku. Asih melihat dengan mata sendiri, Akang teh lagi mesra-mesraan di saung teh,” cerocos Asih menjelaskan apa-apa yang dilihatnya. Semua diam, amarah Asih sedang dipuncaknya. Matanya tampak sembab, air matanya terus-terusan mengalir.
          “Kalau sudah tak cinta, ngomong atuh ka Asih. Jangan begini caranya, Kang.” Asih merajuk. Oman hanya terdiam, tak bisa membela diri lagi. Oman memang sudah benar-benar buntu, tidak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkannya kepada Asih. Semuanya sudah terbuka, tidak ada lagi yang bisa di sembunyikan Oman.
          “Ya sudah atuh Sih, Akang minta maaf. Akang khilaf. Maukan Asih memaafkan Akang?’ suara itu meluncur deras dari bibir Oman. Asih bingung, antara memaafkan atau tidak. Asih melihat ada ketulusan dari cara suaminya bicara. Asih terdiam beberapa saat, mencoba menimbang-nimbang keputusan apa yang seharusnya diambil.
          “Kalau menurut Bapak mah, maafin saja Sih. Oman sudah mengakuinya dan menyesal,” pak Imran, bapaknya Asih ikut nimbrung, seakan memberi solusi terbaik buat Asih.
          “Tapi Akang janji ya, jangan seperti itu lagi,” suara Asih melunak. Oman hanya mengangguk pelan pertanda setuju. Suasana hening, tapi hati masing-masing masih, banyak yang ingin diucapkan, dipertanyakan, dan diperjelas. Namun isi hati merteka tidak bisa menyeruak ke permukaan, semuanya bisu. Mereka pun kembali ke keadaan semula, sepasang suami istri.
          Waktu berjalan cepat, hari tenggelam menjadi bulan, bulan berlalu menjadi tahun. Dan pada tahun kedua setelah kejadian di saung sawah. Asih dikejutkan oleh kejadian suatu pagi. Ketika sebuah prahara terjadi lagi manakali Asih sedang begitu asyiknya menikmati hidup.
          “Sih ada yang ingin Akang bicarakan sama Asih, tapi Asih janji jangan marah yah,”  Oman mengawali percakapannya sambil sesekali meniup gelas kopinya yang masih mengepul-ngepul. Asih terdiam sejenak, keningnya dikernyitkan sedemikian rupa, tanda heran.
          “Tentang apa, Kang?” Asih penasaran, menatap wajah Oman lekat-lekat. Ada sebentuk rasa penasaran di wajah Asih.
          “Asih tidak bakalan marah, kan?” Oman menegaskan seraya meneguk kopinya yang sudah mulai dingin.
         “Tentang apa dulu, Kang?’ Asih semakin penasaran, namun dia mulai bimbang. Ada sesuatu rasa yang aneh yang Asih rasakan tentang pembicaraan Oman kali ini. Asih mendekati Oman kemudian duduk bersimpuh di hadapan tubuh Oman yang duduk bersila di atas bale-bale bambu.
          “Tentang kita Sih, rumah tangga kita,”
          “Maksud Akang?” Asih semakin mengerutkan keningnya semakin tidak mengerti. Oman menarik nafas dalam-dalam, ada beban yang teramat berat dari caranya mengembuskan nafasnya. Matanya menerawang seakan mencari-cari sesuatu di tengah udara pagi yang mulai merangkak. Bibirnya berkomat-kamit, namun belum ada satu patah kata pun keluar dari bibirnya. Kembali menatap wajah Asih lekat-lekat. Asih merasa ada yang aneh, tapi apa itu Asih tidak mengerti. Semenjak kejadian tempo hari, Asih tidak pernah lagi mendapatkan kelakuan yang aneh, atau mencurigakan yang diperlihatkan suaminya, namun tidak untuk sekali ini. Ini diluar kebiasaan suaminya.
          “Maafkan Akang, Sih,” sedikit tertahan. Ada penyesalan terdalam dari caranya bicara. Asih terdiam tanpa tahu apa yang harus diucapkannya.
          “Akang,….Akang…,” sedikit ragu Oman tersekat-sekat bicaranya. Asih menatap mata suaminya dalam-dalam.
         “Maafkan Akang, Akang sudah…… me.., menikah lagi,” lanjutnya.
Jedeeeeer! seperti ada halilintar di tengah siang bolong, Asih tersentak kaget bukan kepalang. Apa yang didengarnya baru saja itu memaksa denyut nadinya tiba-tiba berhenti, beratus-ratus lebah tiba-tiba muncul dan mengelilinginya. Tubuh Asih bergetar hebat, mulutnya tiba-tiba mati rasa. Benarkah ucapan suaminya itu, atau hanya guyonan. Raut wajah Asih berubah merah. Mencoba berucap walau terbata-bata.
          “Akang, akang………., tega,” hanya itu kata terakhir yang bisa diucapkan Asih, selebihnya gelap mulai merayap, kunang-kunang berlarian di hadapannya. Kata-kata suaminya berubah menjadi tikaman beratus-ratus belati yang menghujam tubuhnya berulang-ulang. Sakit, perih Asih rasakan.
Beberapa menit kemudian tubuh Asih limbung lalu jatuh di depan Oman. Asih pingsan, terlalu berat bagi Asih mendengarnya. Asih tidak dapat menerima itu. Asih benar-benar kecewa.
*****
          Emak, kieu jeung kieu Asih teh ningan***,” rajuk Asih sama mak Iti, emaknya.
          Sabar atuh Sih, gogoda hirup ieu teh ngaranna****,”  hanya itu yang diucapkan mak Iti, tidak lebih.
          Selepas kejadian itu Asih meninggalkan rumahnya, tinggal sementara di rumah emaknya. Asih mencoba memikirkan apa yang harus dilakukannya. Oman tidak berniat menceraikan Asih, namun perempuan mana yang rela dengan senang hati dimadu oleh suaminya. Alasan Oman sebenarnya masuk akal juga untuk nikah lagi, namun tetap saja tidak bisa ditoleransi oleh Asih. Oman ingin punya anak, oman ingin punya keturunan. Alasam itu yang didengar Asih. Asih tidak menyalahkan sebenarnya. Sebab selama tiga tahun pernikahannya dengan Oman, Asih sampai saat ini belum hamil tanda-tandanya pun tidak ada. Itu yang membuat suaminya nekad menikah lagi. Tapi apakah itu cara terbaik bagi Oman, tentu saja tidak. Asih tetap menganggap semua ini adalah pengkhianatan, apapun alasannya.

          Asih menatap suaminya lekat-lekat, aroma kemarahan masih terlihat jelas dari manik matanya, hari ini Asih didatangi Oman. Asih berusaha untuk tegar, keputusannya sudah dipikirkan matang-matang. Asih ingin suaminya menceraikannya. Walau sebelumnya menolak, Oman akhirnya menyetujui permintaan istrinya itu.
          “Maafkan Akang, Sih. Tidak ada pilihan lain. Sebenarnya Akang teh masih cinta sama Asih.”  Asih tak menjawab, hanya menundukan kepalanya. Asih tidak sanggup berkata-kata lagi, semuanya telah berakhir. Rela gak rela Asih harus merelakan suaminya berpindah ke lain hati. Asih larut dalam kepedihan, sesekali sesenggukan menahan tangisnya.
          “Sudahlah Kang, pergilah. Akang berhak untuk meninggalkan Asih. Asih memang perempuan tak berguna. Kalau memang Akang menginginkannya demikian Asih mencoba ikhlas.” Tangis Asih akhirnya meledak, Asih mencoba untuk tegar, namun tetap saja hati seorang perempuan yang disakiti tidak bias disembunyikan.
          Asih kini mencoba melalui hidupnya sendirian. Asih mencoba untuk melupakan sosok Oman, perlu waktu untuk Asih menyembuhkan luka ini.
          Ini pernikahan ketiga Asih, dua pernikahan sebelumnya berakhir dengan perceraian dan pernikahan yang ketiga ini pun harus berakhir dengan perceraian.

Cibatu, 12 Desember 2013

Keterangan:
*)       Nasib ko begini terus, Mak
**)     Punya suami tidak ada yang benar
***)   Selalu begini, Mak
****)  Sabar Sih, itu namanya cobaan hidup



         

Tidak ada komentar: