Minggu, 30 April 2017

Raya dan Tiga Anak Tuyul








            Perihal Raya hidup sendirian di tengah hutan belantara, dengan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun yang menjulang tinggi, itu memang benar. Perihal Raya ‘dibuang’ oleh orangtuanya ke dalam hutan dengan banyak hewan buas di dalamnya, itu juga benar. Yang salah adalah rumor yang beredar hingga membuat Raya terusir dari buaian orang tuanya, bahwa Raya adalah anak siluman. Kedua orangtuanya tentu saja menyangkalnya dengan tegas.
            Kang Saleh yang tentu saja saleh seperti namanya itu, tak mungkin seorang siluman. Mana ada siluman yang salat dan mengaji? Bahkan, siluman dari negeri siluman sebelah mana yang bisa berkhutbah dan memiliki banyak jamaah? Itu tidak benar, sangkal Kang Saleh sendiri. Ia berani bersumpah, bahkan dengan menyebut nama Allah dan meletakkan Al-Quran di atas kepalanya pun ia tak akan pernah mau mengakuinya kalau dirinya adalah siluman atau bersekutu dengan siluman.
            “Saya manusia biasa. Tentu saja. Saya bukan siluman,” tegas Kang Saleh terus menerus. Namun, toh, orang-orang tak pernah mau mempercayainya.
            Ibunya Raya, Ceu Ulya, sama sekali tidak mirip dengan potongan—yang kerap digadang-gadang mirip—wajah siluman betina. Dia cantik tidak menakutkan, berambut sebahu tidak panjang, tersenyum manis tidak menyeringai, dan pastinya dia tidak bertaring. Harusnya, itu saja sudah cukup untuk membungkam mulut orang-orang yang menyebut Raya anak siluman.
            Lantas, hal apa yang membuat orang-orang menuduh Raya anak siluman?
            “Raya berbulu.”
Itu benar. Raya, di hampir seluruh bagian tubuhnya berbulu halus selayaknya monyet. Tapi, kalau tidak salah, ada penyakit tentang kelainan ini bukan? Manusia monyet. Di India, China, atau belahan bumi lain, ada.
            “Raya berekor.”
            Sebenarnya ini hanya tonjolan daging mirip ekor di pantat Raya. Kecil saja, tapi efeknya tak sekecil tonjolan daging tersebut.
            “Raya tidak menangis ketika untuk kali pertama membaui aroma dunia, malahan mengembik selayaknya kambing.” Yang ini, orangtuanya tidak bisa menyangkal. Kenyataannya memang demikian, dukun beranak yang membantu kelahiran Raya menyaksikannya sendiri. Dan, kabarnya pun berembus sangat cepat.
            Orang-orang desa tidak terima dengan ini semua. Selain mereka mengembuskan rumor bahwa Raya adalah anak siluman, hal lain menambah rumor ini kian menyudutkan: Kang Saleh bersekutu dengan siluman sebagai budak pesugihan.
            Kang Saleh tidak kaya. Apa mungkin?
            “Mungkin saja!” serempak orang-orang bersetuju. Apa boleh buat.

            Perihal Raya berada di dalam hutan belantara sendirian—sebenarnya tidak, itu benar. Tapi, kedua orangtuanya tidak benar-benar membuangnya. Mereka hanya mengungsikannya sementara, walau pada kenyataannya, Raya tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Perihal dibuang atau diungsikan, bagi Raya itu tidaklah penting. Karena Raya tidak memahaminya.
            Raya sendirian. Ia kesepian? Rasa-rasanya tidak. Ia memiliki tiga orang sahabat, posturnya kecil-kecil dan kepalanya botak, yang herannya, ketiga sahabatnya itu tidak pernah ada ketika malam hari. Raya sudah tujuh tahun usianya, itu menurut perhitungan Raya sendiri dengan ditegaskan oleh salah satu sahabatnya. Tak ada akta lahir, tak ada kalender, tentu saja.
            Perihal kedua orangtuanya yang tak pernah datang menemuinya lagi, Raya tidak keberatan. Ia sudah biasa sendirian—tentu saja ketiga sahabatnya itu lebih sering meninggalkan ketimbang menemaninya. Ia tergeletak tidak berdaya di dahan pohon beringin besar dengan beralaskan koran, tujuh tahun lalu. Kalian tahu, kenapa Raya diberi nama Raya oleh ketiga sahabatnya yang  kali pertama menemukannya?
            Koran itu berisi berita dengan judul huruf besar-besar: MERAYAKAN HARI KEMERDEKAAN RI YANG KE-67…. Tidak mungkin ‘kan menamainya dengan kalimat sepanjang itu? Ya, setuju, Raya lebih cocok untuk nama seorang anak manusia.
            Raya berbulu? Iya. Berekor juga? Iya. Mengembik? Sudah tidak. Raya sudah bisa berucap selayaknya manusia, karena ia memang manusia—tiga sahabatnya yang mengajarkan caranya bicara. Orangtuanya juga manusia, bukan siluman.
            Perihal tiga orang sahabatnya Raya yang hilang di malam hari, itu kenyataannya. Mereka mungkin pergi ke suatu tempat. Mereka bekerja untuk majikan-majikannya. Digaji? Tentu saja, tapi tidak berbentuk rupiah. Mereka hanya disuruh pergi ke rumah orang-orang—kalau bisa yang kaya, mengambil sebagian uangnya, lalu kembali. Itu saja, dan selesai.
            Mereka tidak pernah peduli seberapa banyak uang yang berhasil mereka ambil, selesai dikasih upah—biasanya menyusu pada istri majikannya, minyak wangi, dan bunga-bunga serta kemenyan. Habis itu mereka pulang, dan mengulangnya keesokan harinya.
            Perihal kedua orangtua Raya yang tak pernah kembali, ini ada hubungannya dengan tiga ekor harimau yang sering ditemui Raya di pinggiran danau ketika mereka sedang minum, mungkin. Mereka tidak memakan Raya, bukan karena Raya berbulu dan berekor, hanya saja Raya sudah tidak mengembik lagi, sementara kedua orangtuanya tidak berbulu banyak dan berekor, bahkan tidak juga mengembik. Kemungkinan mereka dimakan, sangat besar.
            Raya pernah menemukan sisa belulang yang terserak di pinggiran danau. Raya tidak tahu itu belulang siapa. Yang Raya tahu, kedua orangtuanya tidak pernah kembali kepadanya hingga ia tujuh tahun.
            “Orangtuamu dimakan harimau.”
            “Orangtuamu dimakan harimau.”
            “Orangtuamu dimakan harimau.”
            Ketiga sahabatnya berucap dengan tiga kalimat yang sama.

            Raya tidak menangis, sebab dia tidak pernah belajar caranya menangis. Ketiga sahabatnya itupun tidak pernah melakukannya.
            Perihal Raya berbulu dan berekor itu benar. Perihal kedua orangtuanya yang tidak pernah kembali dan kemungkinannya dimakan harimau di pinggir danau, itu juga benar. Yang salah, Raya bukan keturunan siluman, bahkan ketiga temannya yang sudah dipastikan siluman pun bisa memastikan bahwa Raya, seorang manusia. Murni, manusia. Seorang anak manusia yang cantik.
            Raya seorang manusia yang berbulu dan berekor. Tiga sahabatnya, jelas bukan manusia, melainkan siluman.






Minggu, 12 Maret 2017

Gadis Penunggu Hujan

GADIS PENUNGGU HUJAN

           
Aku berada di sebuah padang ilalang luas dengan batu-batu granit terpahat di atas bukit-bukitnya. Aku tidak sedang menunggu hujan seperti yang biasa aku lakukan selagi masih kecil, walau sekarang pun masih belum dikatakan dewasa.
Aku sedang berusaha menenangkan pikiran di tempat ini. Sesuatu yang buruk baru saja terjadi dan aku ingin mengalihkan rasa tidak nyaman itu segera: bapakku mau menikah lagi di usianya yang menyentuh angka tujuh puluh lima tahun. Ini sangat memalukan. Teman-teman sebayaku terus mengejekku dan mengatai bahwa bapakku itu sangat keterlaluan.
“Tua-tua keladi.” Itu kata mereka. Terus terang saja, aku malu. Di usiaku yang baru beranjak sembilan tahun ini, kenyataan seperti ini membuatku sedikit minder, dan membuatku banyak mengurung diri.
Aku tidak ingin menghadiri acara pernikahannya. Untuk apa coba? Aku benar-benar tidak merestuinya. Aku pikir Bapak sudah tidak sayang lagi kepada almarhumah ibuku, makanya memutuskan untuk menikah lagi.
            Sebenarnya Bapak tidak salah. Mungkin bapakku terlalu lama kesepian setelah ditinggal oleh Ibu. Tapi, aku mengabaikan fakta tersebut. Setiap kali Bapak mengutarakan maksudnya, aku selalu menentangnya. Aku selalu tidak pernah setuju kalau Bapak melakukannya. Kali ini Bapak melakukannya tanpa izin dariku.
Aku ingin duduk menyendiri dan melupakah rasa pedih di dalam hatiku perihal keputusan bapakku. Rencanaku, aku ingin menangis meraung-raung seraya memanggil-manggil nama ibuku beberapa lama hingga rasa sesak di dalam dada ini sedikit berkurang atau hilang sama sekali—walau hal itu sangat tidak mungkin, bila ada orang lain di sekitarku  muncul tiba-tiba.

Rencana menyendiriku ternyata gagal. Seorang gadis, tanpa kutahu datang dari arah mana, telah berdiri membelakangiku. Dia sedang mendongak menantang awan yang mulai memekat menunggu hujan tiba.
Aku tak tahu pada mulanya apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Mulanya dia berdiri mematung menghadap langit yang pekat, setelahnya dia membentangkan kedua belah tangannya. Awan yang berarak, bergerak diembus angin. Dia, gadis itu, seolah kehilangan daya langkah kakinya dan terpasak lantas lunglai menghunjam tanah yang ditumbuhi rumput ilalang, juga batu-batu kecil yang terserak.
            Tak ada yang istimewa dengan gadis itu kecuali sebuah buntalan kain warna putih—pudar menjadi abu-abu karena debu dan kotoran—yang tersampir di bahunya. Tubuhnya yang kurus dan legam seolah mengingatkan aku pada pengemis-pengemis cilik di seputar perempatan lampu merah di kota-kota besar yang sering kutemui ketika aku berlibur.
            Aku memandangnya berkali-kali dengan penasaran. Dia, merentangkan tangannya seolah ingin terbang menyapa awan-awan itu. Sementara rambutnya yang ikal bergoyang-goyang. Aku tidak tahu apa yang dilihatnya, sebab kondisinya yang membelakangiku, membuat pandanganku hanya tertumpu pada belakang tubuhnya.
            Apakah ia menangis? Pundaknya bergerak-gerak. Hal itu mengingatkanku akan orang-orang yang sedang menangis: pundak turun-naik menahan sedu.
Ini kali ketiga dia membentangkan kedua belah tangannya. Dua kesempatan sebelumnya hanya kuperhatikan sepintas, sambil lalu, tentu saja. Kali ini, sesuatu yang menggelitik hatiku menyuruhku untuk fokus, tanpa dia ketahui. Aku berjarak beberapa meter di belakang tubuhnya.
Dia berdiri mendongakkan wajah, mungkin disertai gumaman. Dari jarak beberapa meter dari tempatku berdiri, suara serak menanggung lelah terdengar samar.
“Apa yang kamu lakukan?” Aku mendekatinya. Dia sama sekali tidak bereaksi. Jangankan menoleh, terlihat kaget pun tidak.
Harusnya aku berdiri saja memperhatikan dirinya dari jauh. Entahlah. Dorongan dalam diriku seolah menuntunku untuk mendekat. Aku penasaran. Untuk itulah aku bertanya kepadanya.
“Apa yang kamu lakukan?” Aku mengulangi pertanyaan. Sekali ini dia menoleh. Wajahnya begitu menyedihkan. Aku pikir, usianya jauh lebih muda dari tampilan wajahnya. Dia tersenyum ramah seolah mengenaliku. Giginya yang hitam terlihat tidak rata di beberapa bagian. Mungkin, dia sembilan tahun, sama sepertiku. Wajahnya yang kumal dan tidak terurus membuatnya terlihat sangat tua belasan tahun.
“Menunggu hujan,” ucapnya lirih. Kembali dia tersenyum. “Apakah kamu juga demikian?”
Aku? Maksudmu aku juga menunggu hujan? Aku menggeleng lantas ikut tersenyum. Dulu, iya. Aku sering melakukannya. Nenek bilang ibuku meninggal dalam kondisi suci—sehabis melahirkanku, dan jasadnya terpecah menjadi bulir-bulir hujan. Setiap hujan tiba aku akan menunggu kedatangan Ibu. Itu kulakukan hingga usiaku lima tahun. Namun, selama beberapa tahun itu, tak sekalipun aku bertemu dengan Ibu. Setelahnya aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
Pertanyaan gadis itu sontak membawa ingatanku beberapa tahun lalu kembali.
“Menunggu hujan? Apa maksudnya?” tanyaku.
Dia merentangkan tangannya kembali, mulutnya terbuka dan menggumam. Namun, kalimat yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak bisa kupahami. Terdengar aneh, bukan kalimat seperti biasa orang-orang ucapkan. Apakah ini semacam mantra?
“Kamu memanggil hujan?”
“Tidak.”
“Lantas?”
“Aku memanggil ibuku?”
“Ibu?” tanyaku heran. Dia menurunkan rentangan tangannya. Dia kembali tersenyum, memperlihatkan barisan gigi hitamnya yang berantakan.
“Ibuku berjanji akan datang bersama hujan,” ucapnya. Dia menurunkan buntalan kain, membiarkannya tergeletak begitu saja di atas tanah. Awan semakin menghitam, mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Aku tidak mengerti apa maksudnya. Buntalan kain itu bergerak-gerak seolah seseorang ada di dalamnya dan ingin keluar. Aku menatapnya terkejut.
“Itu Bapak,” ucapnya lagi untuk menutupi keterkejutanku. Itu membuat aku semakin heran.
“Bapak selalu muncul tiba-tiba di dalam buntalan itu ketika aku akan menemui Ibu. Itu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tahu-tahu sudah ada di dalam, seperti saat ini. Entah bagaimana caranya masuk.” Dia menjelaskan dan membuat diriku semakin keheranan.
“Ibu pergi ketika Bapak sedang tidak di rumah. Yang aku tahu, Ibu menghilang ketika hujan turun. Setelah Ibu menghilang, Bapak sakit lantas setelahnya ikut juga menghilang,” terangnya.
“Aku mendengar kabar bahwa ibuku dibawa pergi oleh hujan. Bapak tidak terima kemudian mengejar Ibu. Entah ke mana. Suatu saat Bapak kembali dalam keadaan yang sangat memprihatinkan: tubuhnya bengkak dengan lebam di mana-mana. Bapak demam beberapa lama, setelah itu Bapak menghilang tanpa jejak. Aku tidak tahu ke mana Bapak pergi. Yang aku tahu Bapak pergi mencari Ibu lagi. Itu dilakukannya terus menerus tanpa kenal lelah. Anehnya Bapak suka kembali tiba-tiba. Bapak selalu muncul di dalam buntalan itu ketika hujan akan turun tanpa kuketahui sebelumnya.”
“Aku bingung. katamu bapakmu menghilang, terus katamu itu bapak,” protesku seraya menunjuk buntalan yang terus bergerak-gerak.
“Bapak selalu muncul di dalam buntalan ketika aku ingin menemui Ibu.”
Aku semakin bingung dengan uraiannya. Ini sangat membingungkan. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan gadis ini sebenarnya siapa, apa semua ceritanya itu benar?
Petir mulai menyambar-nyambar. Sesuatu yang hitam muncul tiba-tiba di tengah gerombolan awan pekat. Tetes hujan mulai turun dari atas langit.
“Beliau datang,” ucapnya seraya bersiap-siap dengan posisi berdirinya semula, membelakangiku. “Ibuku datang. Beliau akan menjemput aku dan Bapak segera.”
Aku segera berlindung ketika hujan dengan begitu derasnya turun. Sementara gadis itu membentangkan tangannya kembali. Mulutnya bergumam-gumam, sementara buntalan itu terus bergerak-gerak seolah sebuah kekuatan mahadahsyat ingin melepaskan diri. Aku termangu, sebuah pohon rindang telah menyelamatkan tubuhku dari basahnya air hujan.
Aku terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Petir terus menyambar-nyambar. Beberapa menit kemudian ketika pandanganku lengah—kilatan petir membuat mataku terpejam beberapa saat karena silau, gadis itu hilang beserta buntalannya juga gemuruh halilintar yang memekakkan telinga menyertainya. Aku melonjak serta merta menutup telingaku. Sejurus kemudian gadis itu benar-benar menghilang dari tatapanku.

“Kamu sedang apa?” di antara deru suara halilintar pertanyaan itu sampai di lubang pendengaranku.
“Menunggu hujan. Menunggu Ibu,” jawabku tanpa kusadari. Harusnya bukan itu yang kukatakan.
“Ibumu tidak mungkin kembali.”
Aku menoleh. Sosok itu berdiri dengan ringkih. Aku seolah mengenalnya tapi siapa? Badannya sudah membungkuk, keriput di beberapa bagian wajahnya sudah menggelambir. Bola matanya yang sudah lamur bergerak-gerak. Dia berdiri begitu dekat dengan tubuhku. Satu pertanyaanku yang tiba-tiba muncul: apakah perempuan tua ini ada hubungannya dengan gadis kecil tadi?
“Ibumu tidak mungkin kembali,” ulang perempuan tua itu.
“Kenapa demikian?”
Sebenarnya aku menyangsikan ucapan perempuan tua itu. Perihal ia siapa, sama sekali tidak bisa kuterka. Apakah ia mengenal ibuku? Apakah ada hubungan keluarga dengan almarhumah ibuku? Atau….
Ada atau-atau lain yang berjejer di dalam kepalaku. Aku semakin bingung dibuatnya.
“Ibumu sudah bahagia di langit sana menjadi bulir-bulir hujan surgawi,” jawabnya. “Dan biarkan bapakmu pun bahagia.”
“Bapak?”
“Ya. Bapakmu,” tegas perempuan tua itu.
Perempuan itu seakan tahu akan apa yang sedang terjadi.

Aku memutar pandanganku ke arah tubuh gadis itu menghilang. Kemudian mengarahkan kembali pandanganku ke arah perempuan tadi. Hujan terus turun semakin deras. Pohon-pohon tampak kuyup. Halilintar terus menyambar-nyambar di atas langit sana yang awannya semakin tebal memekat. Aku terpaku, sesuatu yang ganjil tengah terjadi. Sepertinya begitu. Aku melekatkan pandangan di antara bulir-bulir jarum air hujan. Dan… setelahnya aku tidak lagi bisa melihat tubuh perempuan tua itu. Apakah perempuan tua itu pergi atau menghilang?
Entahlah. Jejak-jejaknya seperti lenyap di antara hujan.
Halilintar menggelegar, hujan deras terus turun. Aku hanya mampu bertahan sebentar di bawah pohon, sesudahnya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu dengan banyak pertanyaan.
“Ibumu tidak mungkin kembali.” Suara itu terus terdengar berulang-ulang.
“Benarkah?”
“Benarkah demikian?” ulangku.


Cibatu, 25 Mei 2016


Dimuat di Flores Sastra, Februari 2017


Senin, 23 Januari 2017

Memulai


Kau tak musti mencela. Tentu saja. Retak angin gemeretak pada musim-musim setelah gugur raib kautinggalkan.

Bunga lili jatuh-bangun menegakkan keinginan. Bahkan kau tak ingat terakhir kali menanamnya; tunas air mata dan ketakutan yang memupuk tanah tumbuhnya mekar terlampau memar. Aku selalu lupa menyiraminya dengan air bahagia.

Aku atau kau yang kerap lupa?

Kau bahagia. Kabar angin beringas mengabarkan pesan. Syukurlah! Aku kerap lara menimang-nimang kehendak: melupakan atau mengingat-ingat.

Ah! Dedak kopi di pikiran mengendap begitu saja, sementara sepiring kenangan harus kulumat hingga tuntas. Betapa sakitnya merindu. Retih. Letih. Ringkih. Perih.

Kau telah memulai. Aku sama saja. Terjebak dalam kesendirian tarian sunyi.
Dari arah sebelah mana aku harus memulai: Barat-Timur, Utara-Selatan?
Atau tidak dari mana pun
: dari hati yang resah, berdarah, lantas musnah
Punah.


Cibatu - Garut, 16 Desember 2016, 19: 17

Sabtu, 14 Januari 2017

Kisah yang Menunggu untuk Segera Diakhiri


Membaca tubuhmu, adalah menderas segala kisah kehidupan yang dibukukan waktu di matamu, dituliskan masa di dadamu. Aku melafal segala kemungkinan yang sudah lama jatuh dalam paragraf-paragraf usang bahasa riwayat.

Serupa prolog yang membuka percakapan tentang pertemuan, seperti itulah cerita mengalir dalam bahasanya sendiri. Tidak perlu jeda, tidak perlu tanda baca.

Kisahmu masih sama saja. Memburam dan hampir saja pudar, seumpama epilog yang menggantung dan tidak mengakhiri cerita apa pun (aku hanya figuran konyol yang lewat begitu saja tanpa sedikit pun berkuasa atas dialog yang seharusnya tertuju padamu: sang tokoh utama).

Kisah yang menunggu untuk segera diakhiri. Lewat segala ending yang mau tidak mau harus ditulistuntaskan.



Buni Nagara - Tasik Malaya, 13 Januari 2017

Selasa, 10 Januari 2017

Sulaiman dan Sebuah Perumpamaan


Sebagaimana burung terbang membentangkan sayap-sayap,
sebagaimana itu pula Sulaiman mengekalkan riwayat pada kisah-kisah sebelum kamu.
Tentang penciptaan negeri Salva dalam kepak sayap burung Hud-hud.

Kau tak mengira,
hidup adalah perihal perumpamaan:
burung yang terbang tinggi, menukik jatuh terempas, melayang menantang laju angin, lantas mati dipusarakan sejarah.
Bukankah riwayat hidupmu akan seperti demikian (adanya)?
Sulaiman yang gagah sekalipun mati dalam dekap tak berdaya rayap-rayap.

Sebagaimana Sulaiman.
Sebagaimana pula percakapan burung Hud-hud yang kisahnya dilontarkan masa lalu, perihal Balqis dan segenap keagungan yang terlampau diagung-agungkan.

Hidup bukan hanya perihal terbang tinggi (tapi, terbang dan jatuh).
Bukankah kisah Balqis dikalamkan ayat-ayat dalam kejatuhan setelah terbang?
Betapa manusia kerap merindu terbang sementara sayap-sayapnya terkadang kebas dan patah.
Mereka mengira kejatuhan tidak lebih menyakitkan dari kisah Putri Balqis.

Jauh sebelum kisah Sulaiman dan Hud-hud dicatat,
manusia kerap lupa. Hidup tidak lebih dari perumpamaan burung terbang yang kelak akan jatuh juga sebagai sejarah singkat,
dalam kefanaan dunia


Cibatu, 09 Januari 2017