Jumat, 11 November 2022

Perempuan yang Berhenti Bernyanyi


 Orang-orang terdekat di rumahnya hanya butuh beberapa detik saja untuk mengingat seragam apa yang harus dikenakan Adisty, pada hari ini, tetapi, tidak berlaku bagi dirinya. Ia harus benar-benar mengingatnya hingga sangat yakin bahwa pilihannya tidak salah meleset. Ia butuh hingga waktu 2 jam sampai mengatakan dengan pasti: "yang ini, kan?" dalam intonasi ragu, meski itu adalah pilihan terakhir untuk memastikan kebenarnya.

Tak ada respon yang menyakitkan yang diperagakan Andisty, meskipun waktunya terbuang cuma-cuma sekadar menunggu hasil pilihan ibunya. Andisty selalu bangun dengan sengaja di pukul 04.30 pagi, agar segala keterlambatan tidak memakan banyak waktunya.

Andisty bisa saja mengambil seragamnya sendiri tanpa perlu menunggu ia memilihkannya. Namun, jika Andisty melakukannya, ia akan sangat sedih dan memendam kekecewaannya sepanjang hari. Kalau sudah seperti itu, Andisty tak akan berani pergi ke sekolah dengan meninggalkan mood sang pemilih seragam hancur berkeping-keping.


Andisty 10 tahun, sementara usia ia hampir menyentuh angka 50 tahun. Andisty tanpa saudara, bagi dirinya Andisty adalah anugerah terindah yang paling dinantinya semenjak usia pernikahan 10 tahun, dan suaminya meninggal setelah Andisty genap 1 tahun setelah kelahirannya.


"Ibu marah?" tanya Andisty pagi itu. Ia hanya menggeleng dengan sedikit senyum paksaan.

"Tidak, Nak, tidak apa-apa?" jawabnya serasa menggeser tempat duduknya mendekat ke arah Andisty. Kemudian ia melanjutkan ucapannya dengan pertanyaan, "lho, kamu memang nggak sekolah, Nak? Kok, masih di sini?" Padahal ini sore hari, pagi tadi ibunya telah memilihkan baju kotak-kotak biru dengan syal biru pula.

Andisty tersenyum. Pertanyaan seperti itu kerap terlontar dari bibir ibunya. Andisty mafhum dengan hal ini. "Iya, Bu. Disty nggak sekolah, sengaja mau menemani ibu terus di rumah." Bisa saja Andisty mengatakan bahwa ia sudah pulang, tapi ia tak melakukannya, Andisty lebih memilih berbohong agar tidak melukai perasaan ibunya itu.

"Ibu sudah pikun berarti," kata Ibu suatu waktu dengan wajah sangat sedih dan muram ketika Andisty mengatakan bahwa ia sudah pulang sekolah ketika ditanya kenapa tidak sekolah. Maka dari itu Andisty tidak ingin mengulanginya.


*****


"Ibu sedang nyantai, kan, Bu. Sudah lama Disty tak mendengar suara merdu Ibu," ajak Andisty di suatu sore hari yang bergerimis.

Ibunya tak merespon kecuali mengerutkan dahi seolah sedang mengingat sesuatu.

"Ibu bisa menyanyi, Nak?" tanya ibunya seakan tak percaya. Andisty tersenyum, mengangguk.

"Sejak kapan ibu bisa menyanyi?" pertanyaan berikutnya terlontar. Andisty masih tersenyum, kemudian mendekat ke arah Ibu yang tengah memerhatikan bunga mawar merah di pekarangan yang tengah mekar lewat kaca jendela.

"Kemarin ibu menyanyi lagu Bengawan Solo, kesukaan Ibu. Kemarinnya lagi juga," jawab Andisty.

"Ibu tak pernah melakukannya, Nak, bahkan Ibu sama sekali buta nada," sesal ibunya. Andisty mencoba menahan sesak di dadanya. Memori ibu sedang kembali tidak bisa diakses.

"Ya, sudah, lain kali saja, Bu. Ibu belum makan, kan? Ayo kita makan bareng sama Disty," Andisty mencoba membelokkan situasi, ia meletakkan kedua tangannya di handle kursi roda, tempat ibunya biasa duduk dan beraktivitas sepanjang hari.

"Ibu sudah kenyang, Nak, barusan, kan, sudah makan bareng bapakmu," jawab ibunya. Rasa sesak di dada Andisty membuncah. Inginnya saat itu juga Andisty menangis. Semenjak bapaknya meninggal beberapa tahun lalu, ibu sudah tak lagi seperti ibu yang dulu, terutama dalam hal mengingat. Dulu, ibunya adalah seorang penyanyi keroncong yang kerap diundang ke acara-acara penting para pejabat. Kini semua telah berubah. Alzhaimer, mengubah semuanya.



Soreang, 11 November 2022


******