Nugio pernah berkata sekali waktu,
kepadaku, bahwa ia pernah bertemu dengan Hantu Arturo di satu malam terang
bulan, di pinggiran Pantai Chanes, pesisir jauh Panama. Katanya lagi, ketika dirinya
berhadapan langsung dengan sosok tersebut, sama sekali tidak ada rasa
takut—sebagaimana orang-orang bertemu makhluk astral—bulu kuduknya pun tidak berdiri, itu menurut penuturannya dengan
sangat meyakinkan. Hantu Arturo yang menurut sebagian orang yang pernah bertemu
dengan arwah tersebut, wajahnya sangat menakutkan: berwajah rusak, dengan bola
mata yang keluar dari ceruknya. Nugio mengatakannya lain, bahkan ia berani
bersumpah bahwa apa yang dikatakan orang-orang tidaklah benar.
“Arturo berwajah halus, seperti
boneka porselein. Hidungnya panjang dan sedikit bengkok, mirip dengan
hidungmu,” terang Nugio seraya menunjuk ke arah hidungku, yang kebetulan
proporsi hidungku ini mewakili definisi tersebut.
“Memakai setelan tuksedo abu-abu
dengan dasi kupu-kupu berwarna merah. Apakah sosok seperti itu bisa layak
disebut hantu?” lanjut Nugio bersemangat.
Aku tidak berani menjawab pertanyaan
terakhirnya. Toh, aku belum pernah melihat penampakkan sosok Hantu Arturo
secara langsung. Bisa saja apa yang dikatakan oleh temanku yang satu ini
hanyalah kibul semata. Perihal perkataan orang-orang pada kebanyakan, mungkin
saja mereka jauh lebih benar. Bukankah semua hantu itu pada prinsipnya
berpenampilan sangat menyeramkan?
Nugio memelintirkan kumis tipisnya
sebelum pergi. Ia mencondongkan wajahnya sambil lalu, “Sekali-kali, datanglah
ke Pantai Chanes pada malam terang bulan, bila kau tidak percaya dan ingin
membuktikan kebenaran akan perkataanku.”
Sepanjang hari aku memikirkan hal
itu. Kata-kata perihal Hantu Arturo yang menggemparkan itu menggelitik
keinginanku untuk membuktikan semua kebenarannya.
Pantai Chanes tidak terlalu jauh,
hanya berjarak lima kilometer dari tempat tinggalku, Distrik Harades. Jika
berjalan kaki, hanya dibutuhkan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit saja,
tentu saja untuk ukuran langkah kakiku yang bisa dibilang lambat. Sementara
angkutan umum yang menuju ke sana, hanya bus bobrok—kaca jendelanya
bolong-bolong, kursi-kursi penumpangnya yang busa-busanya terburai, juga bunyi
decitan yang riuh selama bus tersebut berjalan—yang melintas hanya beberapa
buah saja. Itupun dibatasi waktu: pagi hari pukul tujuh, hingga pukul empat
pada sore harinya, selebihnya tidak ada lagi kendaraan umum yang berani
melintasi pesisir itu setelah Arturo dikabarkan tewas dan menjadi hantu.
Pantai Chanes bukanlah tempat yang
cocok untuk dijadikan tempat tujuan wisata. Pantainya sama sekali tidak
terurus, pasir pantainya berwarna putih kusam, kotor, dengan onggokan sampah
berserakan di mana-mana. Kesan mencekam menjadi sangat laik menjadi penilaian
orang-orang.
Perihal Arturo, sebenarnya hanya
seorang pemuda biasa yang sebelumnya tidak memiliki prestasi apa pun yang laik
diperbincangkan, kecuali kedua orang tuanya yang nelayan tradisional ulet.
Selama hidupnya, nyaris tidak ada teman sebayanya yang mau bergaul dengan
Arturo. Arturo yang pendiam, cenderung tertutup kepada semua orang. Ia hanya
tinggal dengan kedua orang tuanya pada sebuah gubuk kayu yang berdiri di bibir
pantai, di antara barisan rumah tetangga yang berdiri jarang-jarang di belakang
rumah mereka.
Ayahnya, beberapa waktu yang lalu
meninggal, dan inilah kisah awal Hantu Arturo dimulai. Ayahnya meninggal sebab
ombak besar yang menghantam perahunya di tengah laut kala badai, ketika tengah
menjala ikan. Perahunya pecah, berantakan, dan karam, menenggelamkan jasad
ayahnya itu ke dasar laut. Kata orang-orang, jasad Argero—ayahnya, tidak pernah
berhasil diketemukan. Bisa jadi jasadnya dimakan ikan hiu.
Ibunya menjadi gila setelahnya. Ia
terlalu memikirkan nasib suaminya itu. Berkali-kali dirinya melolong seperti
anjing, seraya berteriak-teriak memanggil nama suaminya di pinggir pantai
seraya menghadap ke arah laut lepas sepanjang waktu. “Argero! Argero! Argero!
Kembali!”
Arturo yang pendiam hanya mampu menatap
nanar dari balik kaca jendela rumahnya. Orang-orang sudah tidak lagi peduli
dengan keadaan itu. Mereka lebih memilih melakukan rutinitas kesehariannya
daripada musti repot-repot membujuk perempuan itu berhenti melakukan hal bodoh
tersebut.
Arturo hanya bisa menangis meratapi
kepergian ayahnya yang tiba-tiba, sekaligus menangisi ibunya yang sepertinya
sudah menjadi tidak waras. Suatu kali Arturo membujuk ibunya untuk menghentikan
semua kegilaannya itu. Bukankah nyawa orang mati tidak bakal kembali, dengan
dipanggil dan ditangisi berulang-ulang sekalipun? Begitulah adanya, bukan?
Batin Arturo.
Ibunya bersikeras. Ia marah besar
kepada Arturo, anaknya itu. “Brengsek kau! Ayahmu tidak mati. Ia pasti akan
kembali. Ibu yakin itu!”
Arturo mengelus dada. Keyakinan
ibunya tidak cukup beralasan. “Yang mati tidak akan kembali, Bu. Semua sudah
saatnya untuk direlakan.”
“Anak durhaka! Pergilah ke neraka!
Ayahmu masih hidup, mengerti?!” Sang ibu marah. Ditamparnya pipi Anaknya dengan
keras. Arturo meraung. Kemudian menyingkir dari tempat ibunya bersimpuh menatap
laut.
Itu cerita yang kudengar dari mulut
orang-orang perihal Arturo. Setelahnya, kabar lain menyebutkan bahwa ibunya
Arturo meninggal digulung ombak besar hingga jasadnya terseret jauh ke tengah laut
ketika laut pasang bergejolak. Arturo tidak mampu menolong kecuali
meraung-raung sedih. Arturo kehilangan orang-orang yang dicintainya dalam waktu
relatif singkat. Arturo yang malang, kini hidup sendirian.
Arturo yang malang sangat kesepian.
Itu faktanya. Dan entah ada bisikan setan dari arah mana, ia berubah menjadi
seorang pemberang. Berkali-kali ia mengutuk laut, mengutuk ombak, pada akhirnya
ia mengutuk Tuhan. Keyakinan dirinya kepada Tuhan rontok sekejap waktu.
“Untuk apa aku menyembah-Mu kalau
hanya membuatku menderita. Untuk apa aku taat, toh, Kau telah membuatku
kehilangan orang-orang terkasihku. Kau sungguh tidak adil, Tuhan.”
Satu
hari Arturo bertekad untuk mencari Tuhan. Ke mana pun. Entah itu ke laut, atau
ke tempat lain di mana Tuhan bisa ditemuinya. “Aku butuh keadilan, Tuhan. Aku
ingin bicara dan berbincang banyak hal dengan-Mu. Bila perlu, aku ingin bertemu
dengan ayah dan ibuku dan membawanya pulang. Bukankah Kau yang ambil mereka?”
Arturo
yang masih berumur tiga belas tahun yakin bahwa Tuhan bisa ditemuinya di tengah
laut, di mana jasad ayahnya hilang, mungkin jasad ibunya juga. Arturo yakin
bahwa Tuhan masih di sana, menunggu kedatangan dirinya.
Bagi
Arturo bertemu dengan Tuhan butuh sesuatu hal yang berbau seremonial:
mengenakan pakaian serba formal, misalnya. Berbekal uang simpanan ayah-ibunya
yang jumlahnya sangat lumayan, berangkatlah Arturo menuju ke kota. Membela
kemeja putih, tuksedo, dasi kupu-kupu, sepatu pantofel hitam mengilat, juga
kacamata penahan laju angin, tidak ketinggalan mesin boat untuk perahunya. Arturo yakin bahwa Tuhan akan menyambutnya
dengan penuh sukacita. Ia sangat berharap bisa sangat beruntung bisa bertemu
dengan Tuhan plus kedua orang tuanya.
Berangkatlah
Arturo ke tengah lautan bersama cahaya terang bulan purnama, sendirian.
Orang-orang hanya bisa mengantarnya dengan tatapan penuh kecemasan. Mereka
berharap Arturo bisa kembali.
Laut
yang sedari tadi tenang, tiba-tiba bergolak, selepas Arturo melaju dengan
perahunya. Orang-orang bergidik ngeri, satu persatu mulai masuk ke bilik
rumahnya masing-masing. Ini sebuah pertanda buruk, renung orang-orang. Hujan
disertai kilat halilintar yang menyambar-nyambar muncul membubarkan sisa
orang-orang yang berkerumun di pinggir pantai yang menanti cemas kepulangan Arturo.
Di
tengah laut, Arturo merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan perahu juga
cuaca di sekitarnya. Mesin perahunya tiba-tiba mati. Ia menggigil, air hujan
menyirami tubuh dan pakaiannya hingga kuyup. Arturo mendongak ke atas langit
yang gelap. Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan hitam.
“Penyambutan-Mu
tidak memuaskan, Tuhan. Apa Kau tidak berkenan dengan kedatanganku?” tanya
Arturo kepada laut, seolah Tuhan sedang bersemayam di sana. “Baiklah. Aku akan
tetap memaksakan diri.”
Perahu
Arturo oleng, terombang-ambing ombak yang kian meninggi. Halilintar mulai
menampar-nampar permukaan laut. Gelombang bergulung-gulung, mengamuk. Arturo
tidak sedikit pun gentar. Ia kadung pergi. Tidak ada waktu untuk kembali.
Arturo
menggumamkan kalimat-kalimat tidak jelas, entah semacam mantra atau mungkin
barisan doa. Arturo mencoba mendayung perahu, hingga suatu saat, hantaman
gelombang memporak-porandakan perahunya, pecah berkeping-keping, dan
mengantarkan tubuh Aturo tersedot ke dasar lautan.
“Aku
datang Ayah, Ibu, Tuhan,” satu kalimat terakhir meluncur deras dari mulutnya
yang mulai memucat.
Kisah
Arturo selesai. Aku mendengarnya dari mulut orang-orang. Arturo yang malang,
pikirku. Sangat malang. Kasihan.
Arturo
karam ke dasar lautan. Itu faktanya. Sementara jasadnya sendiri, tidak seorang
pun pernah menemukannya, kecuali bangkai pecahan perahu kayunya. Dan, cerita
kemunculan sesosok lelaki bertuksedo abu-abu, diyakini oleh orang-orang sebagai
Arturo. Mereka menyebutnya Hantu Arturo. Kerap muncul di malam hari ketika bulan
purnama terang bersinar.
Aku
penasaran. Dengan memantapkan niat, berangkatlah aku ke Pantai Chanes, seperti
saran dari Nugio. Tidak banyak barang yang kubawa, selain menyiapkan mental dan
keberanian diri.
Malam
terang bulan. Waktu yang tepat. Permukaan air laut begitu tenang. Suasana
begitu sepi, hanya kerlap-kerlip lampu teplok di beberapa rumah pinggir pantai.
Di atas sana, rembulan bersinar terang, cahanya berkilauan ditingkahi gelombang
air laut.
Aku
mematung. Jam setengah dua belas. Seseorang mendekatiku, memakai tuksedo dengan
wajah yang masih samar. Aku pikir inilah waktunya, membuktikan kebenaran.
“Apakah
kau Arturo?”tanyaku. tidak ada ketakutan dalam diriku. Arturo yang dimaksud
orang-orang, ternyata tidak semenakutkan dengan apa yang kulihat sekarang ini.
Sekali ini, aku harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh Nugio. Arturo—bila
ini benar dia—berwajah halus seperti boneka porselein dan berhidung bengkok
seperti hidungku.
Arturo
tidak menjawab, ia hanya tersenyum samar. Aku menjadi semakin penasaran.
“Kaukah yang dimaksud orang-orang sebagai Hantu Arturo?’ tegasku.
“Tidak
ada hantu yang berbicara kepada manusia, Kawan. Tentu saja bukan. Arturo sudah
mati. Mana mungkin bisa hidup lagi,” jawab lelaki itu. Aku yakin ia adalah
Hantu Arturo yang berwajah pucat.
“Lantas
kalau bukan, kau siapa?”
“Kala
aku bilang aku adalah Tuhan yang dicari oleh Arturo, apakah kau akan percaya?’
“Tentu
saja tidak. Tuhan tidak pernah menampakkan diri,” jawabku.”
“Baiklah,
Kawan. Aku bukan Arturo, apalagi Tuhan. Aku hanya seseorang yang kebetulan
tersesat di pinggir pantai ini, yang kebetulan pula dicurigai orang-orang
sebagai hantunya Arturo,” pungkasnya. Ia bergegas pergi ke arah utara. Aku
hanya bisa terdiam, membatu. Lelaki itu hilang dengan cepat selayaknya hantu.
“Arturo?”
Esoknya
aku kembali ke Harades untuk segera menceritakan kisahku kepada Nugio. Ia
menggeleng tidak percaya. “Kau pembohong besar, Santiago. Hantu Arturo itu
benar-benar dia, dan kau mengatakannya bukan dia. Lantas, lelaki yang kau lihat
itu siapa? Mana ada lelaki bertuksedo berkeliaran di pinggir pantai di tengah
malam buta padahal tidak ada pesta bujang di sana.”
Aku
terdiam merenungi kata-kata Nugio. Sepertinya ada benarnya.
Aku
kembali ke Pantai Chanes pada bulan berikutnya dan bulan berikutnya lagi, terus
menerus sepanjang tahun hanya untuk bertemu kembali dengan lelaki itu. Namun,
lelaki itu tidak pernah benar-benar muncul kembali. Sekali-kali dan terus
kulakukan tanpa kusadari, aku melolong dan memanggil-manggil nama Arturo seraya
menatap ke arah laut lepas. Orang-orang menatapku dengan penuh rasa iba.
Apa
yang terjadi dengan diriku? Apakah Hantu Arturo sudah membuatku gila?
Garut,
30 Oktober 2017