Senin, 30 Juli 2018

Hantu Arturo dan Lelaki yang Mencari Tuhan



            


            Nugio pernah berkata sekali waktu, kepadaku, bahwa ia pernah bertemu dengan Hantu Arturo di satu malam terang bulan, di pinggiran Pantai Chanes, pesisir jauh Panama. Katanya lagi, ketika dirinya berhadapan langsung dengan sosok tersebut, sama sekali tidak ada rasa takut—sebagaimana orang-orang bertemu makhluk astral—bulu kuduknya pun tidak  berdiri, itu menurut penuturannya dengan sangat meyakinkan. Hantu Arturo yang menurut sebagian orang yang pernah bertemu dengan arwah tersebut, wajahnya sangat menakutkan: berwajah rusak, dengan bola mata yang keluar dari ceruknya. Nugio mengatakannya lain, bahkan ia berani bersumpah bahwa apa yang dikatakan orang-orang tidaklah benar.
            “Arturo berwajah halus, seperti boneka porselein. Hidungnya panjang dan sedikit bengkok, mirip dengan hidungmu,” terang Nugio seraya menunjuk ke arah hidungku, yang kebetulan proporsi hidungku ini mewakili definisi tersebut.
            “Memakai setelan tuksedo abu-abu dengan dasi kupu-kupu berwarna merah. Apakah sosok seperti itu bisa layak disebut hantu?” lanjut Nugio bersemangat.
            Aku tidak berani menjawab pertanyaan terakhirnya. Toh, aku belum pernah melihat penampakkan sosok Hantu Arturo secara langsung. Bisa saja apa yang dikatakan oleh temanku yang satu ini hanyalah kibul semata. Perihal perkataan orang-orang pada kebanyakan, mungkin saja mereka jauh lebih benar. Bukankah semua hantu itu pada prinsipnya berpenampilan sangat menyeramkan?
            Nugio memelintirkan kumis tipisnya sebelum pergi. Ia mencondongkan wajahnya sambil lalu, “Sekali-kali, datanglah ke Pantai Chanes pada malam terang bulan, bila kau tidak percaya dan ingin membuktikan kebenaran akan perkataanku.”

            Sepanjang hari aku memikirkan hal itu. Kata-kata perihal Hantu Arturo yang menggemparkan itu menggelitik keinginanku untuk membuktikan semua kebenarannya.
            Pantai Chanes tidak terlalu jauh, hanya berjarak lima kilometer dari tempat tinggalku, Distrik Harades. Jika berjalan kaki, hanya dibutuhkan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit saja, tentu saja untuk ukuran langkah kakiku yang bisa dibilang lambat. Sementara angkutan umum yang menuju ke sana, hanya bus bobrok—kaca jendelanya bolong-bolong, kursi-kursi penumpangnya yang busa-busanya terburai, juga bunyi decitan yang riuh selama bus tersebut berjalan—yang melintas hanya beberapa buah saja. Itupun dibatasi waktu: pagi hari pukul tujuh, hingga pukul empat pada sore harinya, selebihnya tidak ada lagi kendaraan umum yang berani melintasi pesisir itu setelah Arturo dikabarkan tewas dan menjadi hantu.
            Pantai Chanes bukanlah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tujuan wisata. Pantainya sama sekali tidak terurus, pasir pantainya berwarna putih kusam, kotor, dengan onggokan sampah berserakan di mana-mana. Kesan mencekam menjadi sangat laik menjadi penilaian orang-orang.
            Perihal Arturo, sebenarnya hanya seorang pemuda biasa yang sebelumnya tidak memiliki prestasi apa pun yang laik diperbincangkan, kecuali kedua orang tuanya yang nelayan tradisional ulet. Selama hidupnya, nyaris tidak ada teman sebayanya yang mau bergaul dengan Arturo. Arturo yang pendiam, cenderung tertutup kepada semua orang. Ia hanya tinggal dengan kedua orang tuanya pada sebuah gubuk kayu yang berdiri di bibir pantai, di antara barisan rumah tetangga yang berdiri jarang-jarang di belakang rumah mereka.
            Ayahnya, beberapa waktu yang lalu meninggal, dan inilah kisah awal Hantu Arturo dimulai. Ayahnya meninggal sebab ombak besar yang menghantam perahunya di tengah laut kala badai, ketika tengah menjala ikan. Perahunya pecah, berantakan, dan karam, menenggelamkan jasad ayahnya itu ke dasar laut. Kata orang-orang, jasad Argero—ayahnya, tidak pernah berhasil diketemukan. Bisa jadi jasadnya dimakan ikan hiu.
            Ibunya menjadi gila setelahnya. Ia terlalu memikirkan nasib suaminya itu. Berkali-kali dirinya melolong seperti anjing, seraya berteriak-teriak memanggil nama suaminya di pinggir pantai seraya menghadap ke arah laut lepas sepanjang waktu. “Argero! Argero! Argero! Kembali!”
            Arturo yang pendiam hanya mampu menatap nanar dari balik kaca jendela rumahnya. Orang-orang sudah tidak lagi peduli dengan keadaan itu. Mereka lebih memilih melakukan rutinitas kesehariannya daripada musti repot-repot membujuk perempuan itu berhenti melakukan hal bodoh tersebut.
            Arturo hanya bisa menangis meratapi kepergian ayahnya yang tiba-tiba, sekaligus menangisi ibunya yang sepertinya sudah menjadi tidak waras. Suatu kali Arturo membujuk ibunya untuk menghentikan semua kegilaannya itu. Bukankah nyawa orang mati tidak bakal kembali, dengan dipanggil dan ditangisi berulang-ulang sekalipun? Begitulah adanya, bukan? Batin Arturo.
            Ibunya bersikeras. Ia marah besar kepada Arturo, anaknya itu. “Brengsek kau! Ayahmu tidak mati. Ia pasti akan kembali. Ibu yakin itu!”
            Arturo mengelus dada. Keyakinan ibunya tidak cukup beralasan. “Yang mati tidak akan kembali, Bu. Semua sudah saatnya untuk direlakan.”
            “Anak durhaka! Pergilah ke neraka! Ayahmu masih hidup, mengerti?!” Sang ibu marah. Ditamparnya pipi Anaknya dengan keras. Arturo meraung. Kemudian menyingkir dari tempat ibunya bersimpuh menatap laut.
           
            Itu cerita yang kudengar dari mulut orang-orang perihal Arturo. Setelahnya, kabar lain menyebutkan bahwa ibunya Arturo meninggal digulung ombak besar hingga jasadnya terseret jauh ke tengah laut ketika laut pasang bergejolak. Arturo tidak mampu menolong kecuali meraung-raung sedih. Arturo kehilangan orang-orang yang dicintainya dalam waktu relatif singkat. Arturo yang malang, kini hidup sendirian.
            Arturo yang malang sangat kesepian. Itu faktanya. Dan entah ada bisikan setan dari arah mana, ia berubah menjadi seorang pemberang. Berkali-kali ia mengutuk laut, mengutuk ombak, pada akhirnya ia mengutuk Tuhan. Keyakinan dirinya kepada Tuhan rontok sekejap waktu.      
            “Untuk apa aku menyembah-Mu kalau hanya membuatku menderita. Untuk apa aku taat, toh, Kau telah membuatku kehilangan orang-orang terkasihku. Kau sungguh tidak adil, Tuhan.”
           
Satu hari Arturo bertekad untuk mencari Tuhan. Ke mana pun. Entah itu ke laut, atau ke tempat lain di mana Tuhan bisa ditemuinya. “Aku butuh keadilan, Tuhan. Aku ingin bicara dan berbincang banyak hal dengan-Mu. Bila perlu, aku ingin bertemu dengan ayah dan ibuku dan membawanya pulang. Bukankah Kau yang ambil mereka?”
Arturo yang masih berumur tiga belas tahun yakin bahwa Tuhan bisa ditemuinya di tengah laut, di mana jasad ayahnya hilang, mungkin jasad ibunya juga. Arturo yakin bahwa Tuhan masih di sana, menunggu kedatangan dirinya.
Bagi Arturo bertemu dengan Tuhan butuh sesuatu hal yang berbau seremonial: mengenakan pakaian serba formal, misalnya. Berbekal uang simpanan ayah-ibunya yang jumlahnya sangat lumayan, berangkatlah Arturo menuju ke kota. Membela kemeja putih, tuksedo, dasi kupu-kupu, sepatu pantofel hitam mengilat, juga kacamata penahan laju angin, tidak ketinggalan mesin boat untuk perahunya. Arturo yakin bahwa Tuhan akan menyambutnya dengan penuh sukacita. Ia sangat berharap bisa sangat beruntung bisa bertemu dengan Tuhan plus kedua orang tuanya.
Berangkatlah Arturo ke tengah lautan bersama cahaya terang bulan purnama, sendirian. Orang-orang hanya bisa mengantarnya dengan tatapan penuh kecemasan. Mereka berharap Arturo bisa kembali.
Laut yang sedari tadi tenang, tiba-tiba bergolak, selepas Arturo melaju dengan perahunya. Orang-orang bergidik ngeri, satu persatu mulai masuk ke bilik rumahnya masing-masing. Ini sebuah pertanda buruk, renung orang-orang. Hujan disertai kilat halilintar yang menyambar-nyambar muncul membubarkan sisa orang-orang yang berkerumun di pinggir pantai yang menanti cemas kepulangan Arturo.
Di tengah laut, Arturo merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan perahu juga cuaca di sekitarnya. Mesin perahunya tiba-tiba mati. Ia menggigil, air hujan menyirami tubuh dan pakaiannya hingga kuyup. Arturo mendongak ke atas langit yang gelap. Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan hitam.
“Penyambutan-Mu tidak memuaskan, Tuhan. Apa Kau tidak berkenan dengan kedatanganku?” tanya Arturo kepada laut, seolah Tuhan sedang bersemayam di sana. “Baiklah. Aku akan tetap memaksakan diri.”
Perahu Arturo oleng, terombang-ambing ombak yang kian meninggi. Halilintar mulai menampar-nampar permukaan laut. Gelombang bergulung-gulung, mengamuk. Arturo tidak sedikit pun gentar. Ia kadung pergi. Tidak ada waktu untuk kembali.
Arturo menggumamkan kalimat-kalimat tidak jelas, entah semacam mantra atau mungkin barisan doa. Arturo mencoba mendayung perahu, hingga suatu saat, hantaman gelombang memporak-porandakan perahunya, pecah berkeping-keping, dan mengantarkan tubuh Aturo tersedot ke dasar lautan.
“Aku datang Ayah, Ibu, Tuhan,” satu kalimat terakhir meluncur deras dari mulutnya yang mulai memucat.
Kisah Arturo selesai. Aku mendengarnya dari mulut orang-orang. Arturo yang malang, pikirku. Sangat malang. Kasihan.
Arturo karam ke dasar lautan. Itu faktanya. Sementara jasadnya sendiri, tidak seorang pun pernah menemukannya, kecuali bangkai pecahan perahu kayunya. Dan, cerita kemunculan sesosok lelaki bertuksedo abu-abu, diyakini oleh orang-orang sebagai Arturo. Mereka menyebutnya Hantu Arturo. Kerap muncul di malam hari ketika bulan purnama terang bersinar.

Aku penasaran. Dengan memantapkan niat, berangkatlah aku ke Pantai Chanes, seperti saran dari Nugio. Tidak banyak barang yang kubawa, selain menyiapkan mental dan keberanian diri.
Malam terang bulan. Waktu yang tepat. Permukaan air laut begitu tenang. Suasana begitu sepi, hanya kerlap-kerlip lampu teplok di beberapa rumah pinggir pantai. Di atas sana, rembulan bersinar terang, cahanya berkilauan ditingkahi gelombang air laut.
Aku mematung. Jam setengah dua belas. Seseorang mendekatiku, memakai tuksedo dengan wajah yang masih samar. Aku pikir inilah waktunya, membuktikan kebenaran.
“Apakah kau Arturo?”tanyaku. tidak ada ketakutan dalam diriku. Arturo yang dimaksud orang-orang, ternyata tidak semenakutkan dengan apa yang kulihat sekarang ini. Sekali ini, aku harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh Nugio. Arturo—bila ini benar dia—berwajah halus seperti boneka porselein dan berhidung bengkok seperti hidungku.
Arturo tidak menjawab, ia hanya tersenyum samar. Aku menjadi semakin penasaran. “Kaukah yang dimaksud orang-orang sebagai Hantu Arturo?’ tegasku.
“Tidak ada hantu yang berbicara kepada manusia, Kawan. Tentu saja bukan. Arturo sudah mati. Mana mungkin bisa hidup lagi,” jawab lelaki itu. Aku yakin ia adalah Hantu Arturo yang berwajah pucat.
“Lantas kalau bukan, kau siapa?”
“Kala aku bilang aku adalah Tuhan yang dicari oleh Arturo, apakah kau akan percaya?’
“Tentu saja tidak. Tuhan tidak pernah menampakkan diri,” jawabku.”
“Baiklah, Kawan. Aku bukan Arturo, apalagi Tuhan. Aku hanya seseorang yang kebetulan tersesat di pinggir pantai ini, yang kebetulan pula dicurigai orang-orang sebagai hantunya Arturo,” pungkasnya. Ia bergegas pergi ke arah utara. Aku hanya bisa terdiam, membatu. Lelaki itu hilang dengan cepat selayaknya hantu.
“Arturo?”

Esoknya aku kembali ke Harades untuk segera menceritakan kisahku kepada Nugio. Ia menggeleng tidak percaya. “Kau pembohong besar, Santiago. Hantu Arturo itu benar-benar dia, dan kau mengatakannya bukan dia. Lantas, lelaki yang kau lihat itu siapa? Mana ada lelaki bertuksedo berkeliaran di pinggir pantai di tengah malam buta padahal tidak ada pesta bujang di sana.”
Aku terdiam merenungi kata-kata Nugio. Sepertinya ada benarnya.
Aku kembali ke Pantai Chanes pada bulan berikutnya dan bulan berikutnya lagi, terus menerus sepanjang tahun hanya untuk bertemu kembali dengan lelaki itu. Namun, lelaki itu tidak pernah benar-benar muncul kembali. Sekali-kali dan terus kulakukan tanpa kusadari, aku melolong dan memanggil-manggil nama Arturo seraya menatap ke arah laut lepas. Orang-orang menatapku dengan penuh rasa iba.
Apa yang terjadi dengan diriku? Apakah Hantu Arturo sudah membuatku gila?

Garut, 30 Oktober 2017