Perihal Raya hidup sendirian di
tengah hutan belantara, dengan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun yang
menjulang tinggi, itu memang benar. Perihal Raya ‘dibuang’ oleh orangtuanya ke
dalam hutan dengan banyak hewan buas di dalamnya, itu juga benar. Yang salah
adalah rumor yang beredar hingga membuat Raya terusir dari buaian orang tuanya,
bahwa Raya adalah anak siluman. Kedua orangtuanya tentu saja menyangkalnya
dengan tegas.
Kang Saleh yang tentu saja saleh
seperti namanya itu, tak mungkin seorang siluman. Mana ada siluman yang salat
dan mengaji? Bahkan, siluman dari negeri siluman sebelah mana yang bisa berkhutbah
dan memiliki banyak jamaah? Itu tidak benar, sangkal Kang Saleh sendiri. Ia
berani bersumpah, bahkan dengan menyebut nama Allah dan meletakkan Al-Quran di
atas kepalanya pun ia tak akan pernah mau mengakuinya kalau dirinya adalah
siluman atau bersekutu dengan siluman.
“Saya manusia biasa. Tentu saja.
Saya bukan siluman,” tegas Kang Saleh terus menerus. Namun, toh, orang-orang
tak pernah mau mempercayainya.
Ibunya Raya, Ceu Ulya, sama sekali
tidak mirip dengan potongan—yang kerap digadang-gadang mirip—wajah siluman
betina. Dia cantik tidak menakutkan, berambut sebahu tidak panjang, tersenyum
manis tidak menyeringai, dan pastinya dia tidak bertaring. Harusnya, itu saja
sudah cukup untuk membungkam mulut orang-orang yang menyebut Raya anak siluman.
Lantas, hal apa yang membuat
orang-orang menuduh Raya anak siluman?
“Raya berbulu.”
Itu
benar. Raya, di hampir seluruh bagian tubuhnya berbulu halus selayaknya monyet.
Tapi, kalau tidak salah, ada penyakit tentang kelainan ini bukan? Manusia
monyet. Di India, China, atau belahan bumi lain, ada.
“Raya berekor.”
Sebenarnya ini hanya tonjolan daging
mirip ekor di pantat Raya. Kecil saja, tapi efeknya tak sekecil tonjolan daging
tersebut.
“Raya tidak menangis ketika untuk kali
pertama membaui aroma dunia, malahan mengembik selayaknya kambing.” Yang ini,
orangtuanya tidak bisa menyangkal. Kenyataannya memang demikian, dukun beranak
yang membantu kelahiran Raya menyaksikannya sendiri. Dan, kabarnya pun berembus
sangat cepat.
Orang-orang desa tidak terima dengan
ini semua. Selain mereka mengembuskan rumor bahwa Raya adalah anak siluman, hal
lain menambah rumor ini kian menyudutkan: Kang Saleh bersekutu dengan siluman
sebagai budak pesugihan.
Kang Saleh tidak kaya. Apa mungkin?
“Mungkin saja!” serempak orang-orang
bersetuju. Apa boleh buat.
Perihal Raya berada di dalam hutan
belantara sendirian—sebenarnya tidak, itu benar. Tapi, kedua orangtuanya tidak
benar-benar membuangnya. Mereka hanya mengungsikannya sementara, walau pada
kenyataannya, Raya tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Perihal
dibuang atau diungsikan, bagi Raya itu tidaklah penting. Karena Raya tidak
memahaminya.
Raya sendirian. Ia kesepian?
Rasa-rasanya tidak. Ia memiliki tiga orang sahabat, posturnya kecil-kecil dan
kepalanya botak, yang herannya, ketiga sahabatnya itu tidak pernah ada ketika
malam hari. Raya sudah tujuh tahun usianya, itu menurut perhitungan Raya
sendiri dengan ditegaskan oleh salah satu sahabatnya. Tak ada akta lahir, tak
ada kalender, tentu saja.
Perihal kedua orangtuanya yang tak
pernah datang menemuinya lagi, Raya tidak keberatan. Ia sudah biasa
sendirian—tentu saja ketiga sahabatnya itu lebih sering meninggalkan ketimbang
menemaninya. Ia tergeletak tidak berdaya di dahan pohon beringin besar dengan
beralaskan koran, tujuh tahun lalu. Kalian tahu, kenapa Raya diberi nama Raya
oleh ketiga sahabatnya yang kali pertama
menemukannya?
Koran itu berisi berita dengan judul
huruf besar-besar: MERAYAKAN HARI KEMERDEKAAN RI YANG KE-67…. Tidak mungkin
‘kan menamainya dengan kalimat sepanjang itu? Ya, setuju, Raya lebih cocok
untuk nama seorang anak manusia.
Raya berbulu? Iya. Berekor juga?
Iya. Mengembik? Sudah tidak. Raya sudah bisa berucap selayaknya manusia, karena
ia memang manusia—tiga sahabatnya yang mengajarkan caranya bicara. Orangtuanya
juga manusia, bukan siluman.
Perihal tiga orang sahabatnya Raya
yang hilang di malam hari, itu kenyataannya. Mereka mungkin pergi ke suatu
tempat. Mereka bekerja untuk majikan-majikannya. Digaji? Tentu saja, tapi tidak
berbentuk rupiah. Mereka hanya disuruh pergi ke rumah orang-orang—kalau bisa
yang kaya, mengambil sebagian uangnya, lalu kembali. Itu saja, dan selesai.
Mereka tidak pernah peduli seberapa
banyak uang yang berhasil mereka ambil, selesai dikasih upah—biasanya menyusu
pada istri majikannya, minyak wangi, dan bunga-bunga serta kemenyan. Habis itu
mereka pulang, dan mengulangnya keesokan harinya.
Perihal kedua orangtua Raya yang tak
pernah kembali, ini ada hubungannya dengan tiga ekor harimau yang sering
ditemui Raya di pinggiran danau ketika mereka sedang minum, mungkin. Mereka
tidak memakan Raya, bukan karena Raya berbulu dan berekor, hanya saja Raya
sudah tidak mengembik lagi, sementara kedua orangtuanya tidak berbulu banyak
dan berekor, bahkan tidak juga mengembik. Kemungkinan mereka dimakan, sangat
besar.
Raya pernah menemukan sisa belulang
yang terserak di pinggiran danau. Raya tidak tahu itu belulang siapa. Yang Raya
tahu, kedua orangtuanya tidak pernah kembali kepadanya hingga ia tujuh tahun.
“Orangtuamu dimakan harimau.”
“Orangtuamu dimakan harimau.”
“Orangtuamu dimakan harimau.”
Ketiga sahabatnya berucap dengan
tiga kalimat yang sama.
Raya tidak menangis, sebab dia tidak
pernah belajar caranya menangis. Ketiga sahabatnya itupun tidak pernah
melakukannya.
Perihal Raya berbulu dan berekor itu
benar. Perihal kedua orangtuanya yang tidak pernah kembali dan kemungkinannya
dimakan harimau di pinggir danau, itu juga benar. Yang salah, Raya bukan
keturunan siluman, bahkan ketiga temannya yang sudah dipastikan siluman pun
bisa memastikan bahwa Raya, seorang manusia. Murni, manusia. Seorang anak
manusia yang cantik.
Raya seorang manusia yang berbulu
dan berekor. Tiga sahabatnya, jelas bukan manusia, melainkan siluman.