GADIS PENUNGGU HUJAN
Aku
berada di sebuah padang ilalang luas dengan batu-batu granit terpahat di atas
bukit-bukitnya. Aku tidak sedang menunggu hujan seperti yang biasa aku lakukan
selagi masih kecil, walau sekarang pun masih belum dikatakan dewasa.
Aku
sedang berusaha menenangkan pikiran di tempat ini. Sesuatu yang buruk baru saja
terjadi dan aku ingin mengalihkan rasa tidak nyaman itu segera: bapakku mau
menikah lagi di usianya yang menyentuh angka tujuh puluh lima tahun. Ini sangat
memalukan. Teman-teman sebayaku terus mengejekku dan mengatai bahwa bapakku itu
sangat keterlaluan.
“Tua-tua
keladi.” Itu kata mereka. Terus terang saja, aku malu. Di usiaku yang baru
beranjak sembilan tahun ini, kenyataan seperti ini membuatku sedikit minder,
dan membuatku banyak mengurung diri.
Aku
tidak ingin menghadiri acara pernikahannya. Untuk apa coba? Aku benar-benar
tidak merestuinya. Aku pikir Bapak sudah tidak sayang lagi kepada almarhumah
ibuku, makanya memutuskan untuk menikah lagi.
Sebenarnya Bapak tidak salah.
Mungkin bapakku terlalu lama kesepian setelah ditinggal oleh Ibu. Tapi, aku
mengabaikan fakta tersebut. Setiap kali Bapak mengutarakan maksudnya, aku
selalu menentangnya. Aku selalu tidak pernah setuju kalau Bapak melakukannya.
Kali ini Bapak melakukannya tanpa izin dariku.
Aku
ingin duduk menyendiri dan melupakah rasa pedih di dalam hatiku perihal
keputusan bapakku. Rencanaku, aku ingin menangis meraung-raung seraya
memanggil-manggil nama ibuku beberapa lama hingga rasa sesak di dalam dada ini
sedikit berkurang atau hilang sama sekali—walau hal itu sangat tidak mungkin,
bila ada orang lain di sekitarku muncul
tiba-tiba.
Rencana
menyendiriku ternyata gagal. Seorang gadis, tanpa kutahu datang dari arah mana,
telah berdiri membelakangiku. Dia sedang mendongak menantang awan yang mulai
memekat menunggu hujan tiba.
Aku
tak tahu pada mulanya apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Mulanya dia
berdiri mematung menghadap langit yang pekat, setelahnya dia membentangkan
kedua belah tangannya. Awan yang berarak, bergerak diembus angin. Dia, gadis
itu, seolah kehilangan daya langkah kakinya dan terpasak lantas lunglai
menghunjam tanah yang ditumbuhi rumput ilalang, juga batu-batu kecil yang
terserak.
Tak ada yang istimewa dengan gadis
itu kecuali sebuah buntalan kain warna putih—pudar menjadi abu-abu karena debu
dan kotoran—yang tersampir di bahunya. Tubuhnya yang kurus dan legam seolah
mengingatkan aku pada pengemis-pengemis cilik di seputar perempatan lampu merah
di kota-kota besar yang sering kutemui ketika aku berlibur.
Aku memandangnya berkali-kali dengan
penasaran. Dia, merentangkan tangannya seolah ingin terbang menyapa awan-awan
itu. Sementara rambutnya yang ikal bergoyang-goyang. Aku tidak tahu apa yang
dilihatnya, sebab kondisinya yang membelakangiku, membuat pandanganku hanya
tertumpu pada belakang tubuhnya.
Apakah ia menangis? Pundaknya
bergerak-gerak. Hal itu mengingatkanku akan orang-orang yang sedang menangis:
pundak turun-naik menahan sedu.
Ini
kali ketiga dia membentangkan kedua belah tangannya. Dua kesempatan sebelumnya
hanya kuperhatikan sepintas, sambil lalu, tentu saja. Kali ini, sesuatu yang
menggelitik hatiku menyuruhku untuk fokus, tanpa dia ketahui. Aku berjarak
beberapa meter di belakang tubuhnya.
Dia
berdiri mendongakkan wajah, mungkin disertai gumaman. Dari jarak beberapa meter
dari tempatku berdiri, suara serak menanggung lelah terdengar samar.
“Apa
yang kamu lakukan?” Aku mendekatinya. Dia sama sekali tidak bereaksi. Jangankan
menoleh, terlihat kaget pun tidak.
Harusnya
aku berdiri saja memperhatikan dirinya dari jauh. Entahlah. Dorongan dalam
diriku seolah menuntunku untuk mendekat. Aku penasaran. Untuk itulah aku
bertanya kepadanya.
“Apa
yang kamu lakukan?” Aku mengulangi pertanyaan. Sekali ini dia menoleh. Wajahnya
begitu menyedihkan. Aku pikir, usianya jauh lebih muda dari tampilan wajahnya.
Dia tersenyum ramah seolah mengenaliku. Giginya yang hitam terlihat tidak rata
di beberapa bagian. Mungkin, dia sembilan tahun, sama sepertiku. Wajahnya yang
kumal dan tidak terurus membuatnya terlihat sangat tua belasan tahun.
“Menunggu
hujan,” ucapnya lirih. Kembali dia tersenyum. “Apakah kamu juga demikian?”
Aku?
Maksudmu aku juga menunggu hujan? Aku menggeleng lantas ikut tersenyum. Dulu,
iya. Aku sering melakukannya. Nenek bilang ibuku meninggal dalam kondisi
suci—sehabis melahirkanku, dan jasadnya terpecah menjadi bulir-bulir hujan.
Setiap hujan tiba aku akan menunggu kedatangan Ibu. Itu kulakukan hingga usiaku
lima tahun. Namun, selama beberapa tahun itu, tak sekalipun aku bertemu dengan
Ibu. Setelahnya aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
Pertanyaan
gadis itu sontak membawa ingatanku beberapa tahun lalu kembali.
“Menunggu
hujan? Apa maksudnya?” tanyaku.
Dia
merentangkan tangannya kembali, mulutnya terbuka dan menggumam. Namun, kalimat
yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak bisa kupahami. Terdengar aneh,
bukan kalimat seperti biasa orang-orang ucapkan. Apakah ini semacam mantra?
“Kamu
memanggil hujan?”
“Tidak.”
“Lantas?”
“Aku
memanggil ibuku?”
“Ibu?”
tanyaku heran. Dia menurunkan rentangan tangannya. Dia kembali tersenyum,
memperlihatkan barisan gigi hitamnya yang berantakan.
“Ibuku
berjanji akan datang bersama hujan,” ucapnya. Dia menurunkan buntalan kain,
membiarkannya tergeletak begitu saja di atas tanah. Awan semakin menghitam,
mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Aku
tidak mengerti apa maksudnya. Buntalan kain itu bergerak-gerak seolah seseorang
ada di dalamnya dan ingin keluar. Aku menatapnya terkejut.
“Itu
Bapak,” ucapnya lagi untuk menutupi keterkejutanku. Itu membuat aku semakin
heran.
“Bapak
selalu muncul tiba-tiba di dalam buntalan itu ketika aku akan menemui Ibu. Itu
tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tahu-tahu sudah ada di dalam, seperti saat ini.
Entah bagaimana caranya masuk.” Dia menjelaskan dan membuat diriku semakin
keheranan.
“Ibu
pergi ketika Bapak sedang tidak di rumah. Yang aku tahu, Ibu menghilang ketika
hujan turun. Setelah Ibu menghilang, Bapak sakit lantas setelahnya ikut juga
menghilang,” terangnya.
“Aku
mendengar kabar bahwa ibuku dibawa pergi oleh hujan. Bapak tidak terima
kemudian mengejar Ibu. Entah ke mana. Suatu saat Bapak kembali dalam keadaan
yang sangat memprihatinkan: tubuhnya bengkak dengan lebam di mana-mana. Bapak
demam beberapa lama, setelah itu Bapak menghilang tanpa jejak. Aku tidak tahu
ke mana Bapak pergi. Yang aku tahu Bapak pergi mencari Ibu lagi. Itu
dilakukannya terus menerus tanpa kenal lelah. Anehnya Bapak suka kembali
tiba-tiba. Bapak selalu muncul di dalam buntalan itu ketika hujan akan turun
tanpa kuketahui sebelumnya.”
“Aku
bingung. katamu bapakmu menghilang, terus katamu itu bapak,” protesku seraya
menunjuk buntalan yang terus bergerak-gerak.
“Bapak
selalu muncul di dalam buntalan ketika aku ingin menemui Ibu.”
Aku
semakin bingung dengan uraiannya. Ini sangat membingungkan. Apa yang sebenarnya
terjadi. Dan gadis ini sebenarnya siapa, apa semua ceritanya itu benar?
Petir
mulai menyambar-nyambar. Sesuatu yang hitam muncul tiba-tiba di tengah
gerombolan awan pekat. Tetes hujan mulai turun dari atas langit.
“Beliau
datang,” ucapnya seraya bersiap-siap dengan posisi berdirinya semula,
membelakangiku. “Ibuku datang. Beliau akan menjemput aku dan Bapak segera.”
Aku
segera berlindung ketika hujan dengan begitu derasnya turun. Sementara gadis
itu membentangkan tangannya kembali. Mulutnya bergumam-gumam, sementara
buntalan itu terus bergerak-gerak seolah sebuah kekuatan mahadahsyat ingin
melepaskan diri. Aku termangu, sebuah pohon rindang telah menyelamatkan tubuhku
dari basahnya air hujan.
Aku
terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Petir terus menyambar-nyambar.
Beberapa menit kemudian ketika pandanganku lengah—kilatan petir membuat mataku
terpejam beberapa saat karena silau, gadis itu hilang beserta buntalannya juga
gemuruh halilintar yang memekakkan telinga menyertainya. Aku melonjak serta
merta menutup telingaku. Sejurus kemudian gadis itu benar-benar menghilang dari
tatapanku.
“Kamu
sedang apa?” di antara deru suara halilintar pertanyaan itu sampai di lubang
pendengaranku.
“Menunggu
hujan. Menunggu Ibu,” jawabku tanpa kusadari. Harusnya bukan itu yang
kukatakan.
“Ibumu
tidak mungkin kembali.”
Aku
menoleh. Sosok itu berdiri dengan ringkih. Aku seolah mengenalnya tapi siapa?
Badannya sudah membungkuk, keriput di beberapa bagian wajahnya sudah
menggelambir. Bola matanya yang sudah lamur bergerak-gerak. Dia berdiri begitu
dekat dengan tubuhku. Satu pertanyaanku yang tiba-tiba muncul: apakah perempuan
tua ini ada hubungannya dengan gadis kecil tadi?
“Ibumu
tidak mungkin kembali,” ulang perempuan tua itu.
“Kenapa
demikian?”
Sebenarnya
aku menyangsikan ucapan perempuan tua itu. Perihal ia siapa, sama sekali tidak
bisa kuterka. Apakah ia mengenal ibuku? Apakah ada hubungan keluarga dengan
almarhumah ibuku? Atau….
Ada
atau-atau lain yang berjejer di dalam kepalaku. Aku semakin bingung dibuatnya.
“Ibumu
sudah bahagia di langit sana menjadi bulir-bulir hujan surgawi,” jawabnya. “Dan
biarkan bapakmu pun bahagia.”
“Bapak?”
“Ya.
Bapakmu,” tegas perempuan tua itu.
Perempuan
itu seakan tahu akan apa yang sedang terjadi.
Aku
memutar pandanganku ke arah tubuh gadis itu menghilang. Kemudian mengarahkan
kembali pandanganku ke arah perempuan tadi. Hujan terus turun semakin deras.
Pohon-pohon tampak kuyup. Halilintar terus menyambar-nyambar di atas langit
sana yang awannya semakin tebal memekat. Aku terpaku, sesuatu yang ganjil
tengah terjadi. Sepertinya begitu. Aku melekatkan pandangan di antara
bulir-bulir jarum air hujan. Dan… setelahnya aku tidak lagi bisa melihat tubuh
perempuan tua itu. Apakah perempuan tua itu pergi atau menghilang?
Entahlah.
Jejak-jejaknya seperti lenyap di antara hujan.
Halilintar
menggelegar, hujan deras terus turun. Aku hanya mampu bertahan sebentar di
bawah pohon, sesudahnya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu
dengan banyak pertanyaan.
“Ibumu
tidak mungkin kembali.” Suara itu terus terdengar berulang-ulang.
“Benarkah?”
“Benarkah
demikian?” ulangku.
Cibatu,
25 Mei 2016
Dimuat di Flores Sastra, Februari 2017