Rabu, 14 Desember 2016

Guruminda dan Purbasari



           

          Prabu Tapak Agung sebenarnya enggan untuk mengatakannya, akan tetapi semakin dirinya memendam permasalahan ini, semakin pusing ia memikirkannya. Berkali-kali ia minta pendapat kepada istrinya, tentu saja, sang Permaisuri hanya mengatakan bahwa keputusan mutlak ada di tangan sang Prabu, ia hanya mengikuti.
            Hampir setiap malam Sang Prabu kerap berdoa agar diberi petunjuk oleh sang Hyang Widhi, tetap saja petunjuknya tidak lain dan tidak bukan adalah keputusan yang telah dibuatnya semula. Ini berat, tentu saja. Bahkan, sebelum mengatakannya pun, sang Prabu sudah bisa menebak akan apa yang kelak terjadi. Ia paham betul dengan karakter putri sulungnya ini.
            “Apa itu artinya Ayahanda sudah berlaku kurang adil terhadapku?” Purbararang tampaknya tidak terima dengan keputusan ayahnya yang lebih memilih adik bungsunya, Purbasari, untuk mengambil alih tampuk pemerintahan Kerajaan Pasir Batang, ketimbang kepada dirinya.
            Purbararang merasa bahwa kekuasaan itu harusnya jatuh ke tangannya sebagai putri pertama sang Prabu, bukan kepada putri terakhirnya. Tapi, kenapa malah itu terjadi? Bukankah ini sebuah kesalahan, yang menurut Purbararang tidak semestinya terjadi.
            “Tidak. Tidak sama sekali putriku. Ini keputusan sang Dewata, Ayahanda hanya mengikuti titah-Nya saja.” Ada sesal teramat berat yang diutarakan lewat ucapannya yang terbata. Sang Prabu menatap putri sulungnya itu dengan sorot mata berdosa.
            Purbararang tidak mampu berkata-kata lagi setelahnya. Ada rasa perih yang begitu saja mengiris ulu hatinya. Matanya yang tidak terima, bedah hingga alirannya meleleh begitu saja di sudut kedua matanya. Ia melangkah pergi meninggalkan sang Prabu yang masih berdiri di depan singgasananya, dengan tubuh lunglai. Sang Prabu sadar bahwa keputusan ini akan menyakiti hati Purbararang. Sementara itu, Purbasari yang masih tertunduk lesu, tak mampu berbuat banyak selain ikut menangis. Ia tidak menginginkan ini sama sekali. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menuruti kehendak ayahandanya itu.
            “Purbararang lebih berhak, Ayahanda,” ucap Purbasari lirih, nyaris tidak terdengar.
            Sang Prabu menatap putri bungsunya itu, mengusap bahunya lembut. “Berdirilah putriku. Sang Dewata sudah memberikan titah-Nya, ayahandamu ini hanya menuruti perintah-Nya saja. Tidak ada yang berlaku tidak adil bila sang Dewata menghendaki. Ini adalah takdirmu, putriku.”
            Purbasari mendekap tubuh ayahandanya dengan erat. Perasaannya campur aduk: senang, bahagia, sedih, tidak enak, bahkan merasa bersalah terhadap kakaknya—yang seharusnya menjadi pemimpin baru kerajaan Pasir Batang.
            “Kau harus segera mempersiapkan diri, putriku. Saatnya akan segera tiba. Kau adalah penerus masa kejayaan kerajaan ini,” pungkas sang Prabu seraya mengamit tangan putrinya itu bergegas menuju Keputren.


*****

Adalah Sanghyang Guruminda yang menjalani takdir yang telah digariskan Hyang Widhi, ia terusir dari Kahyangan oleh sebuah kesalahan yang dilakukannya. Tidak ada yang patut disesalinya, sebab apa yang telah disemainya, itulah yang kelak akan dituainya. Guruminda paham akan hal itu.
Menjalani hari-hari sepi di dalam hutan di bumi tidak membuatnya merasa seorang yang terbuang. Ia menjalaninya dengan sabar dan penuh keikhlasan. Tidak ada teman yang bisa diajaknya berbicara selain hewan-hewan yang menempati hutan tersebut. Hari-harinya dihabiskan untuk berkeliling di seputaran hutan tersebut.
Tubuhnya yang tidak lagi berwujud manusia tidak membuatnya dijauhi oleh hewan-hewan. Hewan-hewan itu merasa bahwa Guruminda adalah bagian dari kehidupan mereka. Tidak ada yang mengganggunya. Tidak ada pula yang hendak mencelakainya, hewan itu tidak pernah sama sekali berupaya menjahati sang Guruminda.
Guruminda tersesat di dalam hutan. Itu faktanya. Dan, ia sama sekali tidak memperkenalkan dirinya yang sebenarnya sebagai Guruminda kepada teman-teman hewannya. Guruminda menyebut dirinya sebagai Lutung Kasarung, seekor monyet hitam dengan ekornya yang panjang menjuntai. Kelak, Lutung Kasarung akan menjelma kembali sebagai seorang pangeran bagus rupa.


Sang Prabu lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya semenjak kejadian itu. Ia merasa sangat berdosa kepada Purbararang hingga tubuhnya lambat laun mulai digerogoti oleh penyakit. Dalam hal ini sang Prabu tidak salah sama sekali. Ini adalah takdir yang sudah digariskan langit.
Bukan tanpa alasan—selain petunjuk dari Hyang Widhi, sang Prabu menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Purbasari. Ini sudah dipikirkan oleh sang Prabu dengan sangat matang. Perangai Purbararang yang sombong, angkuh, dan terlalu tergesa-gesa bila mengambil suatu keputusan, jelas bukan pribadi yang cocok untuk dijadikan seorang pemimpin. Pemimpin adalah seseorang yang berjiwa arif, bijaksana, tidak memihak, dan terpenting mengambil suatu keputusan selalu melalui pemikiran yang matang. Dan, sifat yang baik bagi seorang pemimpin, tersemat dengan lengkap pada sosok Purbasari. Itu inti dari keputusan mengapa sang Prabu lebih memilih Purbasari sebagai pemimpin baru menggantikan dirinya ketimbang Purbararang.
Sebenarnya, putri sang Prabu berjumlah tujuh, yakni: Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuwi, dan Purbasari. Berhubung lima dari ketujuh putrinya itu sudah menikah dan dibawa oleh suaminya yang semuanya seorang raja ke istananya masing-masing, tinggal dua putri inilah yang tersisa: Purbararang dan Purbasari.

“Aku harus melakukan sesuatu, Kakanda,” ucap Purbararang kepada tunangannya, Indra Jaya. “Aku sama sekali tidak terima diperlakukan tidak adil seperti ini. Aku harus menyingkirkan Purbasari agar kekuasaan itu secara otomatis jatuh ke tanganku.
Adalah Indra Jaya yang begitu bersemangat untuk membantu meluluskan rencana tunangannya itu. Sama halnya denga Purbararang, Indra Jaya pun merasa tersulut emosinya ketika mengetahui bahwa kekuasaan yang harusnya jatuh ke tangan calon istrinya itu berbelok ke tangan Purbasari.
“Tentu saja aku sangat setuju. Bukankah itu artinya harga diri kita sudah diinjak-injak?” Indra Jaya mendelik. Purbararang tampak mengangguk-angguk, sementara wajahnya memerah padam disulut emosi.
“Kita akan melakukannya sama-sama. Hingga Purbasari terusir dari kerajaan,” tegas Purbararang.
Esoknya, mereka berdua mendatangi seorang dukun perempuan untuk meminta pertolongan kepadanya. Tidak banyak yang ingin dilakukan oleh Purbararang kecuali membuat adiknya itu terusir. Sang dukun mengangguk. Dalam segala hal yang berbau mencelakai orang, perempuan tua inilah ahlinya.
Nama dukun perempuan itu adalah Ni Ronde. Rambutnya yang memutih sungguh menakutkan, ditambah pula dengan banyak kerut keriput di wajahnya semakin menampakkan kebengisan perempuan ini.
Ni Ronde melaksanakan titah yang diberikan Purbararang kepadanya. Ia hanya butuh duduk bersila, memejamkan mata, membaca mantera, setelahnya, siluman peliharaannya yang bekerja. Purbararang menatap perempuan itu dengan sorot penuh harap. Purbararang menginginkan misinya ini berhasil.

Istana digegerkan oleh sebuah kejadian yang sangat aneh. Sehari sebelum penobatan Purbasari menjadi pemimpin kerajaan Pasir Batang, putri itu tiba-tiba sakit. Tubuhnya diserang oleh penyakit gatal-gatal yang tidak terkira. Seluruh tubuhnya ditumbuhi oleh bentol-bentol hitam. Banyak tabib didatangkan. Banyak orang pintar dihadirkan. Banyak dukun sakti diundang. Namun, tidak ada satu pun yang mampu menyembuhkan sakitnya sang Putri.
Purbararang mengambil kesempatan. Ia datang kepada ayahandanya untuk menghasut. Ia seolah-olah mendapat petunjuk bahwa apa yang terjadi pada diri Purbasari adalah sebuah kutukan.
“Mungkin Ayahanda telah salah mengambil keputusan hingga sang Hyang Widhi tampak murka. Mungkin ini semacam kutukan agar Ayahanda membatalkan rencana pengangkatan Purbasari menjadi pemimpin. Maaf, bila putrimu ini sedikit lancang,” ujar Purbasari.
Sang Prabu berdiri mematung. Apa yang dikatakan oleh Purbararang mungkin ada benarnya. Tapi, ada sedikit rasa sangsi dalam hatinya.
Purbararang tidak mau menyerah. Ia segera menghasut kembali. “Kalau Ayahanda bersikeras untuk melanjutkannya, kemungkinan terburuk adalah penyakit itu tidak saja menyerang Purbasari, bisa jadi akan menyerang Ayahanda, aku, Ibunda, dan seluruh rakyat Kerajaan Pasir Batang. Ini harus segera dihentikan,” papar Purbararang berapi-api.
Sang Prabu terpengaruh. Ia sudah masuk dalam perangkap hasutan Purbararang. Merasa berada di atas angin, Purbararang kembali melancarkan hasutan selanjutnya.
“Mungkin, mengasingkan Purbasari ke dalam hutan adalah jalan terbaik untuk menangkal kutukan itu. Lagipula, apa Ayahanda tidak malu mendengar pergunjingan orang-orang akan penyakit yang diderita Purbasari yang terdengar aneh?”
Semakin sang Prabu mendengar akan apa yang dikatakan oleh putri sulungnya itu, semakin merasa bahwa apa yang dikatakan oleh putri sulungnya itu ada benarnya. Sang Prabu pun terus berpikir untuk mengikuti saran yang diajukan oleh Purbararang.
“Sepertinya hal itu ada benarnya, putriku. Baiklah, besok pagi, Ayahanda akan memerintahkan Uwak Batara Lengser untuk mengantarkan Purbasari ke hutan untuk diasingkan,” tegas sang Prabu.
Betapa senangnya Purbararang. Itu artinya, kekuasaan akan otomatis jatuh ke tangannya. Ini patut dirayakan, batinya. Ia tersenyum sementara Purbasari akan merasakan derita teramat berat di dalam pengasingan.


Purbasari tidak habis pikir kenapa ini terjadi. Semakin ia pikirkan semakin dirinya tidak memahaminya. Beberapa hari ia berusaha untuk menerima keadaanya dengan ikhlas. Mulanya sulit, tapi lama kelamaan akhirnya ia bisa menjalaninya.
Uwak Batara Lengser bukanlah tipe orang yang tidak punya hati. Sebelum ia pergi, dibuatkannya Purbasari sebuah pondokan yang bisa melndunginya dari hewan-hewan buas juga cuaca yang buruk.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Purbasari selain berdiam diri di dalam pondokannya itu. Kian hari tubuhnya kian sakit. Rasa gatal yang menjalar di seluruh tubuhnya tidak sekalipun pernah berhenti. Bintik-bintik hitam itu terus menyebar hingga tubuhnya tak lebih dari seekor monster yang menyeramkan.
Tidak seorang manusia pun di dalam hutan. Mulanya ada rasa takut akan kehadiran hewan-hewan di sekitar pondokan. Namun, hewan-hewan yang berkeliaran di dalam hutan dekat pondokannya itu lama kelamaan menjadi pemandangan yang biasa bagi Purbasari. Dulu ia sangat takut didatangi oleh hewan-hewan. Seiring waktu, hewan-hewan itu untuk kemudian menjadi sahabat-sahabat yang kerap berkunjung ke dalam pondokannya, termasuk si Lutung, seekor monyet berbulu hitam.
“Kamu cantik,” ucap si Lutung suatu saat.
Betapa terkejutnya Purbasari mendapatkan fakta mengejutkan bahwa si Lutung, monyet hitam yang kerap dibelai dan dipeluknya itu pandai berbicara seperti layaknya manusia. Untuk beberapa saat Purbasari tertegun, ia masih tidak percaya dengan pendengarannya.
“Tidak sama sekali. Bahkan kedua orangtuaku mengasingkanku hanya karena aku buruk rupa,” ucap Purbasari setelah kesadarannya kembali. Ia menunjukkan beberapa bagian tubuhnya yang berbintik-bintik hitam, termasuk menunjuk ke arah wajahnya.
Si Lutung tertawa terbahak. “Tidak sama sekali, putriku. Bahkan, jauh di belakang wajah burukmu, kecantikan terpancar jelas,” hiburnya.
“Kamu terlalu berlebihan Lutung.”
“Aku serius. Sama sekali tidak berlebihan,” bela si Lutung.

Lutung Kasarung adalah Guruminda yang mengubah wujud. Ia adalah seorang yang sakti. Demi menolong Purbasari yang sedang dilanda lara, ia berjuang untuk membantunya. Suatu malam ia melakukan tapa brata. Ia memohon kepada Dewata untuk mengembalikan wajah dan tubuh buruk Purbasari kembali ke asal semula. Doa Guruminda dikabulkan. Esoknya sebuah telaga merekah begitu saja di dalam hutan. Airnya yang jernih tampak indah dan airnya yang dingin tampak sangat menyegarkan.
“Aku ingin menunjukkanmu sesuatu. Maukah kau ikut denganku, Putri?”
Purbasari menatap mata Lutung Kasarung setengah bingung. “Apakah itu?” tanya Purbasari.
Dibekap rasa penasaran, ikutlah Purbasari. Lutung Kasarung menuntunnya ke tempat yang dituju. Purbasari begitu takjub dengan pemandangan di depannya. Ia tidak mengira bahwa di dalam hutan yang sepi ini, tersimpan sebuah telaga rahasia yang begitu menakjubkan.
“Berenanglah, Putri. Sebab hanya dengan melakukan itu, penyakitmu akan hilang.”
“Benarkah itu, Lutung?”
Lutung Kasarung mengangguk. Tanpa diketahui oleh Purbasari yang telah menyeburkan diri ke dalam danau, Lutung Kasarung bersembunyi ke balik pohon agar ia tidak tergoda untuk mengintip sang Putri yang sedang berenang.
Keajaiban terjadi. Tubuh Purbasari yang dipenuhi oleh bentol dan bintik-bintik hitam hilang sama sekali. Purbasari kembali seperti sedia kala: putri yang sangat cantik dengan kulit tubuh seputih susu. Purbasari menatap bayangannya sendiri di permukaan telaga yang bening. Betapa terkejutnya ia akan apa yang dilihatnya. Ia senang alang kepalang. Lutung Kasarung telah mengembalikan kecantikannya.
“Aku ingin menjadi tunanganmu, Lutung.” Sebagai ucapan terima kasihnya, Purbasari bersedia untuk menjadi calon istri bagi Lutung Kasarung.
“Aku seekor monyet jelek, mana mungkin kamu pantas jadi istriku,” sergah sang Lutung.
“Bahkan hatimu lebih tampan. Aku tidak butuh tampilan luarmu.”

Demi mendapatkan kisah yang diceritakan oleh Purbasari, terenyuhlah sang Lutung. Ia bertekad, sekuat tenaga untuk membantu Purbasari dalam kembali merebut kekuasaan yang harusnya jatuh ke tangannya. Purbasari bergeming untuk tidak melakukannya. Ia telah mengikhlaskan jabatan itu. Namun tidak bagi Lutung Kasarung, kebenaran adalah mutlak untuk ditegakkan.
Mereka berdebat. Keputusan pada akhirnya tercipta: Purbasari harus kembali ke istana untuk mengambil kekuasaan yang telah direbut oleh kakaknya dengan cara tidak benar. Berangkatlah mereka berdua menuju istana.
Di istana, Purbararang terkejut. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya itu akan kembali. Purbararang tidak terima kalau harus melepas kekuasaannya dengan begitu saja. Dicarinya jalan agar ia tetap menjadi pemimpin di Kerajaan Pasir Batang.
“Kita buat sayembara. Bila aku kalah, kau berhak mengambil apa yang seharusnya menjadi milikmu. Sebaliknya bila aku yang kalah, aku siap untuk dipancung.” Purbararang mengatakannya dengan wajah mendongak, seolah kemenangan akan ada di tangannya. Indra Jaya, tunangannya, melakukan hal yang sama. Mereka tertawa mengejek.
“Baiklah. Aku menerima tangtangan itu. Dan, maaf, apa yang telah kamu katakan tidak bisa ditarik lagi. Aku setuju,” jawab Purbasari.

Sayembara dimulai. Tentu saja pesertanya hanya mereka berdua, beserta para tunangannya.
Pertandingan pertama adalah lomba memasak. Purbararang dalam hal ini sangat ahli. Ia bisa memasak apa saja dengan sangat lezat. Purbararang begitu cekatan mengatur bumbu hingga bahan-bahan yang akan digunakannya. Menit demi menit begitu cepat melaju. Rakyat kerajaan yang menyaksikan bersorak-sorai sementara sebagian dari mereka dilanda rasa cemas. Rakyat terbelah dua, ada yang mendukung Purbasari, ada pula yang mendukung Purbararang.
Pertandingan pertama begitu seru. Purbararang berhasil mengungguli segala hal. Purbasari dibuat kepayahan. Ia hampir menyerah. Namun, Lutung Kasarung memberi semangat. Purbasari hampir kalah di menit-menit akhir. Namun dengan kesaktian yang dimliki oleh Guruminda sang Lutung, Purbasari berhasil menyelesaikannya dengan bantuan bidadari-bidadari yang diturunkan dari Kahyangan. Pada akhirnya, pertandingan dimenangkan oleh Purbasari.
Purbararang tidak terima. Ia mengajukan pertandingan dilanjut. Sekali ini ia membuat pertandingan rambut paling panjang. Purbararang merasa rambutnyalah yang paling panjang. Purbararang tahu betul akan rambut yang dimiliki adiknya itu. Belum apa-apa ia sudah tersenyum puas. Kemenangan sudah ada di depan matanya.
“Bagaimana?” tantang Purbararang.
Purbasari hanya diam membisu. Kekalahannya akan segera terjadi. Dirinya tahu betul sepanjang apa rambut kakaknya itu, lebih panjang dari dirinya yang hanya sepunggung, sementara kakaknya itu, setahu dirinya, panjangnya hampir semata kaki.
Sementara Purbasari termenung, Lutung Kasarung berbisik di telinganya. “Tidak usah takut, aku akan membantumu, Putri.”
“Aku terima,” ucap Purbasari setelah mendengar bisikan dari si Lutung.
Maka digerainya rambut Purbararang. Benar saja, panjang rambutnya hingga mata kaki.
“Kini giliranmu, Purbasari,” setengah mengejek, Purbararang mengatakannya dengan tatapan mata penuh kemenangan.
Jauh sebelum Purbasari membuka gelungan rambutnya, para bidadari yang tidak terlihat oleh orang-orang, telah memberikan rambut-rambutnya untuk kemudian disambungkan ke rambut Purbasari. Digerainya rambut Purbasari. Melototlah mata Purbararang, sebab, rambut adiknya itu jauh lebih panjang dari miliknya. Rambut Purbasari tergerai melebihi mata kaki, bahkan hingga beberapa meter tergerai di atas tanah. Kecewalah Purbararang.
Bukan Purbararang namanya kalau harus menyerah begitu saja. Ia memohon agar diberi kesempatan untuk bertanding sekali lagi. Dan mungkin, ini untuk kali terakhir. Purbararang merasa bahwa pertandingan yang terakhir ini akan benar-benar dimenangkan olehnya. Bagaimana tidak, otaknya yang licik, mulai berjalan.
“Aku ingin kita berlomba untuk seorang tunangan yang paling tampan,” ucapnya percaya diri.
Purbasari kali ini merasa ciut. Ia tahu siapa itu Indra Jaya, pangeran tampan yang kegantengannya sudah diakui di kerajaan ini. Sementara dirinya, tunangannya hanya seekor monyet hitam. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Purbasari menyetujuinya.
“Inilah tunanganku,” ucap Purbararang seraya memperkenalkan Indra Jaya di hadapan orang-orang yang melihat pertandingan tersebut. Orang-orang bersorak-sorai, mereka setuju bahwa Indra Jaya adalah pangeran yang sangat tampan. Purbararang tertawa puas.
Giliran Purbasari yang memperkenalkan tunangannya. Ia segera menggenggam tangan Lutung Kasarung ke hadapan orang-orang tanpa ada rasa ragu.
“Ini tunanganku,” ucap Purbasari dengan percaya diri.
Demi mendapatkan seekor monyet yang digenggam tangannya oleh Purbasari, tertawalah orang-orang mencemooh. Mereka sampai berguling-guling mendapatkan fakta aneh tersebut. Purbararang semakin yakin bahwa kali ini, ia akan menang.
Sebelum keputusan diambil. Lutung Kasarung yang seekor monyet tersenyum, untuk kemudian ia memejamkan mata. Hatinya membatin dan berdoa agar tubuh aslinya kembali. Sang Hyang Widhi mengabulkannya. Di hadapan orang-orang yang masih saja tertawa terpingkal, Lutung Kasarung mengubah diri. Sosok yang tadinya seekor monyet, kini berganti rupa menjadi seorang pangeran tampan berkulit seputih susu, lebih tampan dari Indra Jaya.
Terbelalaklah orang-orang. Untuk kemudian mereka bersorak-sorai. Lutung Kasarung telah berubah kembali menjadi Sanghyang Guruminda. Mendapatkan kenyataan itu, bersujudlah Purbararang beserta Indra Jaya di hadapan Purbasari. Mereka mengaku kalah dan siap menerima hukuman yang telah diucapkan mereka.
“Demi apapun itu, pancunglah kami, Adinda,” pinta Purbararang dengan kalimat bergetar.
“Aku tidak akan melakukannya, Kanda Purbararang. Aku telah memaafkanmu,” ucap Purbasari dengan ketenangan luar biasa.
“Terkutuklah kami bila Dinda Purbasari tidak melakukannya,” timpal Indra Jaya.
“Aku sudah memaafkan kalian, jauh sebelum hari ini. Berdirilah. Dan, mulai hari ini, kita jalankan pemerintahan ini bersama-sama,” pungkas Purbasari.
Guruminda setuju dengan apa yang dikatakan oleh calon istrinya. Ia mengangguk seraya mengangkat tangannya. Orang-orang bersorak-sorai atas peristiwa itu.



Cibatu – Garut, 14 Desember 2016