Prabu Tapak Agung sebenarnya enggan
untuk mengatakannya, akan tetapi semakin dirinya memendam permasalahan ini,
semakin pusing ia memikirkannya. Berkali-kali ia minta pendapat kepada
istrinya, tentu saja, sang Permaisuri hanya mengatakan bahwa keputusan mutlak
ada di tangan sang Prabu, ia hanya mengikuti.
Hampir setiap malam Sang Prabu kerap
berdoa agar diberi petunjuk oleh sang Hyang Widhi, tetap saja petunjuknya tidak
lain dan tidak bukan adalah keputusan yang telah dibuatnya semula. Ini berat,
tentu saja. Bahkan, sebelum mengatakannya pun, sang Prabu sudah bisa menebak
akan apa yang kelak terjadi. Ia paham betul dengan karakter putri sulungnya ini.
“Apa itu artinya Ayahanda sudah
berlaku kurang adil terhadapku?” Purbararang tampaknya tidak terima dengan
keputusan ayahnya yang lebih memilih adik bungsunya, Purbasari, untuk mengambil
alih tampuk pemerintahan Kerajaan Pasir Batang, ketimbang kepada dirinya.
Purbararang merasa bahwa kekuasaan
itu harusnya jatuh ke tangannya sebagai putri pertama sang Prabu, bukan kepada putri
terakhirnya. Tapi, kenapa malah itu terjadi? Bukankah ini sebuah kesalahan,
yang menurut Purbararang tidak semestinya terjadi.
“Tidak. Tidak sama sekali putriku. Ini
keputusan sang Dewata, Ayahanda hanya mengikuti titah-Nya saja.” Ada sesal
teramat berat yang diutarakan lewat ucapannya yang terbata. Sang Prabu menatap putri
sulungnya itu dengan sorot mata berdosa.
Purbararang tidak mampu berkata-kata
lagi setelahnya. Ada rasa perih yang begitu saja mengiris ulu hatinya. Matanya yang
tidak terima, bedah hingga alirannya meleleh begitu saja di sudut kedua
matanya. Ia melangkah pergi meninggalkan sang Prabu yang masih berdiri di depan
singgasananya, dengan tubuh lunglai. Sang Prabu sadar bahwa keputusan ini akan
menyakiti hati Purbararang. Sementara itu, Purbasari yang masih tertunduk lesu,
tak mampu berbuat banyak selain ikut menangis. Ia tidak menginginkan ini sama
sekali. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menuruti kehendak ayahandanya
itu.
“Purbararang lebih berhak, Ayahanda,”
ucap Purbasari lirih, nyaris tidak terdengar.
Sang Prabu menatap putri bungsunya
itu, mengusap bahunya lembut. “Berdirilah putriku. Sang Dewata sudah memberikan
titah-Nya, ayahandamu ini hanya menuruti perintah-Nya saja. Tidak ada yang
berlaku tidak adil bila sang Dewata menghendaki. Ini adalah takdirmu, putriku.”
Purbasari mendekap tubuh ayahandanya
dengan erat. Perasaannya campur aduk: senang, bahagia, sedih, tidak enak,
bahkan merasa bersalah terhadap kakaknya—yang seharusnya menjadi pemimpin baru
kerajaan Pasir Batang.
“Kau harus segera mempersiapkan
diri, putriku. Saatnya akan segera tiba. Kau adalah penerus masa kejayaan
kerajaan ini,” pungkas sang Prabu seraya mengamit tangan putrinya itu bergegas
menuju Keputren.
*****
Adalah
Sanghyang Guruminda yang menjalani takdir yang telah digariskan Hyang Widhi, ia
terusir dari Kahyangan oleh sebuah kesalahan yang dilakukannya. Tidak ada yang
patut disesalinya, sebab apa yang telah disemainya, itulah yang kelak akan
dituainya. Guruminda paham akan hal itu.
Menjalani
hari-hari sepi di dalam hutan di bumi tidak membuatnya merasa seorang yang
terbuang. Ia menjalaninya dengan sabar dan penuh keikhlasan. Tidak ada teman
yang bisa diajaknya berbicara selain hewan-hewan yang menempati hutan tersebut.
Hari-harinya dihabiskan untuk berkeliling di seputaran hutan tersebut.
Tubuhnya
yang tidak lagi berwujud manusia tidak membuatnya dijauhi oleh hewan-hewan. Hewan-hewan
itu merasa bahwa Guruminda adalah bagian dari kehidupan mereka. Tidak ada yang
mengganggunya. Tidak ada pula yang hendak mencelakainya, hewan itu tidak pernah
sama sekali berupaya menjahati sang Guruminda.
Guruminda
tersesat di dalam hutan. Itu faktanya. Dan, ia sama sekali tidak memperkenalkan
dirinya yang sebenarnya sebagai Guruminda kepada teman-teman hewannya. Guruminda
menyebut dirinya sebagai Lutung Kasarung, seekor monyet hitam dengan ekornya
yang panjang menjuntai. Kelak, Lutung Kasarung akan menjelma kembali sebagai
seorang pangeran bagus rupa.
Sang
Prabu lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya semenjak kejadian itu. Ia merasa
sangat berdosa kepada Purbararang hingga tubuhnya lambat laun mulai digerogoti
oleh penyakit. Dalam hal ini sang Prabu tidak salah sama sekali. Ini adalah
takdir yang sudah digariskan langit.
Bukan
tanpa alasan—selain petunjuk dari Hyang Widhi, sang Prabu menyerahkan tampuk
kekuasaan kepada Purbasari. Ini sudah dipikirkan oleh sang Prabu dengan sangat
matang. Perangai Purbararang yang sombong, angkuh, dan terlalu tergesa-gesa
bila mengambil suatu keputusan, jelas bukan pribadi yang cocok untuk dijadikan
seorang pemimpin. Pemimpin adalah seseorang yang berjiwa arif, bijaksana, tidak
memihak, dan terpenting mengambil suatu keputusan selalu melalui pemikiran yang
matang. Dan, sifat yang baik bagi seorang pemimpin, tersemat dengan lengkap
pada sosok Purbasari. Itu inti dari keputusan mengapa sang Prabu lebih memilih
Purbasari sebagai pemimpin baru menggantikan dirinya ketimbang Purbararang.
Sebenarnya,
putri sang Prabu berjumlah tujuh, yakni: Purbararang, Purbadewata, Purbaendah,
Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuwi, dan Purbasari. Berhubung lima dari
ketujuh putrinya itu sudah menikah dan dibawa oleh suaminya yang semuanya
seorang raja ke istananya masing-masing, tinggal dua putri inilah yang tersisa:
Purbararang dan Purbasari.
“Aku
harus melakukan sesuatu, Kakanda,” ucap Purbararang kepada tunangannya, Indra
Jaya. “Aku sama sekali tidak terima diperlakukan tidak adil seperti ini. Aku harus
menyingkirkan Purbasari agar kekuasaan itu secara otomatis jatuh ke tanganku.
Adalah
Indra Jaya yang begitu bersemangat untuk membantu meluluskan rencana
tunangannya itu. Sama halnya denga Purbararang, Indra Jaya pun merasa tersulut
emosinya ketika mengetahui bahwa kekuasaan yang harusnya jatuh ke tangan calon
istrinya itu berbelok ke tangan Purbasari.
“Tentu
saja aku sangat setuju. Bukankah itu artinya harga diri kita sudah
diinjak-injak?” Indra Jaya mendelik. Purbararang tampak mengangguk-angguk,
sementara wajahnya memerah padam disulut emosi.
“Kita
akan melakukannya sama-sama. Hingga Purbasari terusir dari kerajaan,” tegas
Purbararang.
Esoknya,
mereka berdua mendatangi seorang dukun perempuan untuk meminta pertolongan
kepadanya. Tidak banyak yang ingin dilakukan oleh Purbararang kecuali membuat
adiknya itu terusir. Sang dukun mengangguk. Dalam segala hal yang berbau
mencelakai orang, perempuan tua inilah ahlinya.
Nama
dukun perempuan itu adalah Ni Ronde. Rambutnya yang memutih sungguh menakutkan,
ditambah pula dengan banyak kerut keriput di wajahnya semakin menampakkan kebengisan
perempuan ini.
Ni
Ronde melaksanakan titah yang diberikan Purbararang kepadanya. Ia hanya butuh
duduk bersila, memejamkan mata, membaca mantera, setelahnya, siluman
peliharaannya yang bekerja. Purbararang menatap perempuan itu dengan sorot
penuh harap. Purbararang menginginkan misinya ini berhasil.
Istana
digegerkan oleh sebuah kejadian yang sangat aneh. Sehari sebelum penobatan
Purbasari menjadi pemimpin kerajaan Pasir Batang, putri itu tiba-tiba sakit. Tubuhnya
diserang oleh penyakit gatal-gatal yang tidak terkira. Seluruh tubuhnya
ditumbuhi oleh bentol-bentol hitam. Banyak tabib didatangkan. Banyak orang
pintar dihadirkan. Banyak dukun sakti diundang. Namun, tidak ada satu pun yang
mampu menyembuhkan sakitnya sang Putri.
Purbararang
mengambil kesempatan. Ia datang kepada ayahandanya untuk menghasut. Ia seolah-olah
mendapat petunjuk bahwa apa yang terjadi pada diri Purbasari adalah sebuah
kutukan.
“Mungkin
Ayahanda telah salah mengambil keputusan hingga sang Hyang Widhi tampak murka. Mungkin
ini semacam kutukan agar Ayahanda membatalkan rencana pengangkatan Purbasari
menjadi pemimpin. Maaf, bila putrimu ini sedikit lancang,” ujar Purbasari.
Sang
Prabu berdiri mematung. Apa yang dikatakan oleh Purbararang mungkin ada
benarnya. Tapi, ada sedikit rasa sangsi dalam hatinya.
Purbararang
tidak mau menyerah. Ia segera menghasut kembali. “Kalau Ayahanda bersikeras
untuk melanjutkannya, kemungkinan terburuk adalah penyakit itu tidak saja
menyerang Purbasari, bisa jadi akan menyerang Ayahanda, aku, Ibunda, dan
seluruh rakyat Kerajaan Pasir Batang. Ini harus segera dihentikan,” papar
Purbararang berapi-api.
Sang
Prabu terpengaruh. Ia sudah masuk dalam perangkap hasutan Purbararang. Merasa berada
di atas angin, Purbararang kembali melancarkan hasutan selanjutnya.
“Mungkin,
mengasingkan Purbasari ke dalam hutan adalah jalan terbaik untuk menangkal
kutukan itu. Lagipula, apa Ayahanda tidak malu mendengar pergunjingan
orang-orang akan penyakit yang diderita Purbasari yang terdengar aneh?”
Semakin
sang Prabu mendengar akan apa yang dikatakan oleh putri sulungnya itu, semakin
merasa bahwa apa yang dikatakan oleh putri sulungnya itu ada benarnya. Sang Prabu
pun terus berpikir untuk mengikuti saran yang diajukan oleh Purbararang.
“Sepertinya
hal itu ada benarnya, putriku. Baiklah, besok pagi, Ayahanda akan memerintahkan
Uwak Batara Lengser untuk mengantarkan Purbasari ke hutan untuk diasingkan,”
tegas sang Prabu.
Betapa
senangnya Purbararang. Itu artinya, kekuasaan akan otomatis jatuh ke tangannya.
Ini patut dirayakan, batinya. Ia tersenyum sementara Purbasari akan merasakan
derita teramat berat di dalam pengasingan.
Purbasari
tidak habis pikir kenapa ini terjadi. Semakin ia pikirkan semakin dirinya tidak
memahaminya. Beberapa hari ia berusaha untuk menerima keadaanya dengan ikhlas. Mulanya
sulit, tapi lama kelamaan akhirnya ia bisa menjalaninya.
Uwak
Batara Lengser bukanlah tipe orang yang tidak punya hati. Sebelum ia pergi,
dibuatkannya Purbasari sebuah pondokan yang bisa melndunginya dari hewan-hewan
buas juga cuaca yang buruk.
Tidak
ada yang bisa dilakukan oleh Purbasari selain berdiam diri di dalam pondokannya
itu. Kian hari tubuhnya kian sakit. Rasa gatal yang menjalar di seluruh
tubuhnya tidak sekalipun pernah berhenti. Bintik-bintik hitam itu terus menyebar
hingga tubuhnya tak lebih dari seekor monster yang menyeramkan.
Tidak
seorang manusia pun di dalam hutan. Mulanya ada rasa takut akan kehadiran
hewan-hewan di sekitar pondokan. Namun, hewan-hewan yang berkeliaran di dalam
hutan dekat pondokannya itu lama kelamaan menjadi pemandangan yang biasa bagi
Purbasari. Dulu ia sangat takut didatangi oleh hewan-hewan. Seiring waktu,
hewan-hewan itu untuk kemudian menjadi sahabat-sahabat yang kerap berkunjung ke
dalam pondokannya, termasuk si Lutung, seekor monyet berbulu hitam.
“Kamu
cantik,” ucap si Lutung suatu saat.
Betapa
terkejutnya Purbasari mendapatkan fakta mengejutkan bahwa si Lutung, monyet
hitam yang kerap dibelai dan dipeluknya itu pandai berbicara seperti layaknya
manusia. Untuk beberapa saat Purbasari tertegun, ia masih tidak percaya dengan
pendengarannya.
“Tidak
sama sekali. Bahkan kedua orangtuaku mengasingkanku hanya karena aku buruk
rupa,” ucap Purbasari setelah kesadarannya kembali. Ia menunjukkan beberapa
bagian tubuhnya yang berbintik-bintik hitam, termasuk menunjuk ke arah wajahnya.
Si
Lutung tertawa terbahak. “Tidak sama sekali, putriku. Bahkan, jauh di belakang
wajah burukmu, kecantikan terpancar jelas,” hiburnya.
“Kamu
terlalu berlebihan Lutung.”
“Aku
serius. Sama sekali tidak berlebihan,” bela si Lutung.
Lutung
Kasarung adalah Guruminda yang mengubah wujud. Ia adalah seorang yang sakti. Demi
menolong Purbasari yang sedang dilanda lara, ia berjuang untuk membantunya. Suatu
malam ia melakukan tapa brata. Ia memohon kepada Dewata untuk mengembalikan
wajah dan tubuh buruk Purbasari kembali ke asal semula. Doa Guruminda
dikabulkan. Esoknya sebuah telaga merekah begitu saja di dalam hutan. Airnya yang
jernih tampak indah dan airnya yang dingin tampak sangat menyegarkan.
“Aku
ingin menunjukkanmu sesuatu. Maukah kau ikut denganku, Putri?”
Purbasari
menatap mata Lutung Kasarung setengah bingung. “Apakah itu?” tanya Purbasari.
Dibekap
rasa penasaran, ikutlah Purbasari. Lutung Kasarung menuntunnya ke tempat yang
dituju. Purbasari begitu takjub dengan pemandangan di depannya. Ia tidak
mengira bahwa di dalam hutan yang sepi ini, tersimpan sebuah telaga rahasia
yang begitu menakjubkan.
“Berenanglah,
Putri. Sebab hanya dengan melakukan itu, penyakitmu akan hilang.”
“Benarkah
itu, Lutung?”
Lutung
Kasarung mengangguk. Tanpa diketahui oleh Purbasari yang telah menyeburkan diri
ke dalam danau, Lutung Kasarung bersembunyi ke balik pohon agar ia tidak
tergoda untuk mengintip sang Putri yang sedang berenang.
Keajaiban
terjadi. Tubuh Purbasari yang dipenuhi oleh bentol dan bintik-bintik hitam
hilang sama sekali. Purbasari kembali seperti sedia kala: putri yang sangat
cantik dengan kulit tubuh seputih susu. Purbasari menatap bayangannya sendiri
di permukaan telaga yang bening. Betapa terkejutnya ia akan apa yang
dilihatnya. Ia senang alang kepalang. Lutung Kasarung telah mengembalikan
kecantikannya.
“Aku
ingin menjadi tunanganmu, Lutung.” Sebagai ucapan terima kasihnya, Purbasari bersedia
untuk menjadi calon istri bagi Lutung Kasarung.
“Aku
seekor monyet jelek, mana mungkin kamu pantas jadi istriku,” sergah sang
Lutung.
“Bahkan
hatimu lebih tampan. Aku tidak butuh tampilan luarmu.”
Demi
mendapatkan kisah yang diceritakan oleh Purbasari, terenyuhlah sang Lutung. Ia bertekad,
sekuat tenaga untuk membantu Purbasari dalam kembali merebut kekuasaan yang
harusnya jatuh ke tangannya. Purbasari bergeming untuk tidak melakukannya. Ia telah
mengikhlaskan jabatan itu. Namun tidak bagi Lutung Kasarung, kebenaran adalah
mutlak untuk ditegakkan.
Mereka
berdebat. Keputusan pada akhirnya tercipta: Purbasari harus kembali ke istana
untuk mengambil kekuasaan yang telah direbut oleh kakaknya dengan cara tidak
benar. Berangkatlah mereka berdua menuju istana.
Di
istana, Purbararang terkejut. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya itu akan
kembali. Purbararang tidak terima kalau harus melepas kekuasaannya dengan
begitu saja. Dicarinya jalan agar ia tetap menjadi pemimpin di Kerajaan Pasir
Batang.
“Kita
buat sayembara. Bila aku kalah, kau berhak mengambil apa yang seharusnya
menjadi milikmu. Sebaliknya bila aku yang kalah, aku siap untuk dipancung.”
Purbararang mengatakannya dengan wajah mendongak, seolah kemenangan akan ada di
tangannya. Indra Jaya, tunangannya, melakukan hal yang sama. Mereka tertawa
mengejek.
“Baiklah.
Aku menerima tangtangan itu. Dan, maaf, apa yang telah kamu katakan tidak bisa
ditarik lagi. Aku setuju,” jawab Purbasari.
Sayembara
dimulai. Tentu saja pesertanya hanya mereka berdua, beserta para tunangannya.
Pertandingan
pertama adalah lomba memasak. Purbararang dalam hal ini sangat ahli. Ia bisa
memasak apa saja dengan sangat lezat. Purbararang begitu cekatan mengatur bumbu
hingga bahan-bahan yang akan digunakannya. Menit demi menit begitu cepat
melaju. Rakyat kerajaan yang menyaksikan bersorak-sorai sementara sebagian dari
mereka dilanda rasa cemas. Rakyat terbelah dua, ada yang mendukung Purbasari,
ada pula yang mendukung Purbararang.
Pertandingan
pertama begitu seru. Purbararang berhasil mengungguli segala hal. Purbasari dibuat
kepayahan. Ia hampir menyerah. Namun, Lutung Kasarung memberi semangat. Purbasari
hampir kalah di menit-menit akhir. Namun dengan kesaktian yang dimliki oleh
Guruminda sang Lutung, Purbasari berhasil menyelesaikannya dengan bantuan
bidadari-bidadari yang diturunkan dari Kahyangan. Pada akhirnya, pertandingan
dimenangkan oleh Purbasari.
Purbararang
tidak terima. Ia mengajukan pertandingan dilanjut. Sekali ini ia membuat
pertandingan rambut paling panjang. Purbararang merasa rambutnyalah yang paling
panjang. Purbararang tahu betul akan rambut yang dimiliki adiknya itu. Belum apa-apa
ia sudah tersenyum puas. Kemenangan sudah ada di depan matanya.
“Bagaimana?”
tantang Purbararang.
Purbasari
hanya diam membisu. Kekalahannya akan segera terjadi. Dirinya tahu betul
sepanjang apa rambut kakaknya itu, lebih panjang dari dirinya yang hanya
sepunggung, sementara kakaknya itu, setahu dirinya, panjangnya hampir semata
kaki.
Sementara
Purbasari termenung, Lutung Kasarung berbisik di telinganya. “Tidak usah takut,
aku akan membantumu, Putri.”
“Aku
terima,” ucap Purbasari setelah mendengar bisikan dari si Lutung.
Maka
digerainya rambut Purbararang. Benar saja, panjang rambutnya hingga mata kaki.
“Kini
giliranmu, Purbasari,” setengah mengejek, Purbararang mengatakannya dengan
tatapan mata penuh kemenangan.
Jauh
sebelum Purbasari membuka gelungan rambutnya, para bidadari yang tidak terlihat
oleh orang-orang, telah memberikan rambut-rambutnya untuk kemudian disambungkan
ke rambut Purbasari. Digerainya rambut Purbasari. Melototlah mata Purbararang,
sebab, rambut adiknya itu jauh lebih panjang dari miliknya. Rambut Purbasari
tergerai melebihi mata kaki, bahkan hingga beberapa meter tergerai di atas
tanah. Kecewalah Purbararang.
Bukan
Purbararang namanya kalau harus menyerah begitu saja. Ia memohon agar diberi
kesempatan untuk bertanding sekali lagi. Dan mungkin, ini untuk kali terakhir. Purbararang
merasa bahwa pertandingan yang terakhir ini akan benar-benar dimenangkan
olehnya. Bagaimana tidak, otaknya yang licik, mulai berjalan.
“Aku
ingin kita berlomba untuk seorang tunangan yang paling tampan,” ucapnya percaya
diri.
Purbasari
kali ini merasa ciut. Ia tahu siapa itu Indra Jaya, pangeran tampan yang
kegantengannya sudah diakui di kerajaan ini. Sementara dirinya, tunangannya
hanya seekor monyet hitam. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Purbasari menyetujuinya.
“Inilah
tunanganku,” ucap Purbararang seraya memperkenalkan Indra Jaya di hadapan
orang-orang yang melihat pertandingan tersebut. Orang-orang bersorak-sorai,
mereka setuju bahwa Indra Jaya adalah pangeran yang sangat tampan. Purbararang tertawa
puas.
Giliran
Purbasari yang memperkenalkan tunangannya. Ia segera menggenggam tangan Lutung
Kasarung ke hadapan orang-orang tanpa ada rasa ragu.
“Ini
tunanganku,” ucap Purbasari dengan percaya diri.
Demi
mendapatkan seekor monyet yang digenggam tangannya oleh Purbasari, tertawalah
orang-orang mencemooh. Mereka sampai berguling-guling mendapatkan fakta aneh
tersebut. Purbararang semakin yakin bahwa kali ini, ia akan menang.
Sebelum
keputusan diambil. Lutung Kasarung yang seekor monyet tersenyum, untuk kemudian
ia memejamkan mata. Hatinya membatin dan berdoa agar tubuh aslinya kembali. Sang
Hyang Widhi mengabulkannya. Di hadapan orang-orang yang masih saja tertawa
terpingkal, Lutung Kasarung mengubah diri. Sosok yang tadinya seekor monyet,
kini berganti rupa menjadi seorang pangeran tampan berkulit seputih susu, lebih
tampan dari Indra Jaya.
Terbelalaklah
orang-orang. Untuk kemudian mereka bersorak-sorai. Lutung Kasarung telah
berubah kembali menjadi Sanghyang Guruminda. Mendapatkan kenyataan itu,
bersujudlah Purbararang beserta Indra Jaya di hadapan Purbasari. Mereka mengaku
kalah dan siap menerima hukuman yang telah diucapkan mereka.
“Demi
apapun itu, pancunglah kami, Adinda,” pinta Purbararang dengan kalimat bergetar.
“Aku
tidak akan melakukannya, Kanda Purbararang. Aku telah memaafkanmu,” ucap
Purbasari dengan ketenangan luar biasa.
“Terkutuklah
kami bila Dinda Purbasari tidak melakukannya,” timpal Indra Jaya.
“Aku
sudah memaafkan kalian, jauh sebelum hari ini. Berdirilah. Dan, mulai hari ini,
kita jalankan pemerintahan ini bersama-sama,” pungkas Purbasari.
Guruminda
setuju dengan apa yang dikatakan oleh calon istrinya. Ia mengangguk seraya
mengangkat tangannya. Orang-orang bersorak-sorai atas peristiwa itu.
Cibatu
– Garut, 14 Desember 2016