Ketika mereka menyebutkan bahwa warna matahari itu adalah oranye, aku tidak lantas percaya. Menurutku, warna matahari tidaklah demikian. Aku pernah membayangkan bahwa warna matahari itu adalah merah. Seperti pemikiranku selama ini. Aku merasakan kehangatan dari sentuhan sang matahari, sedikit membakar kulit dan aku yakin akan hal itu: hangat membakar adalah merah, seperti api. Aku pernah merasakan jilatan lidah api. Ketika aku tanyakan warna api kepada mamaku, ia mengatakan: merah.
Merah. Itu warna yang sering kali aku impikan untuk kulihat. Mereka mengatakan api itu merah, awan itu putih, dan laut itu biru. Aku selalu membayangkan bahwa hidup itu berwarna. Dan, aku selalu ingin melihat dunia sesuai dengan apa yang kubayangkan.
"Kenapa merah itu merah, Mama?"
Pertanyaan yang kerap kutanyakan kepada mamaku. Mamaku, hingga saat ini belum bisa menjawabnya secara gamblang. Sebagai gantinya, ia hanya bisa memberikan pengandaian dengan warna-warna yang ada di sekitarku, yang tentu saja, warna yang dimaksud oleh mamaku tidaklah sama dengan warna yang aku bayangkan. Merahnya mama tidak sama dengan merah yang dimaksud olehku.
"Apakah gelap itu artinya hitam?"
"Ya. Bisa jadi demikian."
Aku hanya bisa terdiam membisu ketika mama bercerita banyak tentang berbagai hal. Ketika menceritakannya, aku seolah-olah larut di dalam cerita mamaku.
"Aku ingin melihat burung, Ma. Menangkapnya kalau perlu. Sepertinya, burung adalah binatang yang paling indah di dunia ini, kan, Ma?" tanyaku suatu saat.
"Kenapa berpikir demikian, Sayang?"
"Dari suaranya, Ma."
Mama mengela napas panjang. Aku dengar ia mendesah. "Tidak, Nak. Ada yang lebih indah dari seekor burung."
"Apakah itu?"
"Alam semesta," jawab mama singkat saja. "Di mana burung-burung termasuk di dalamnya."
"Aku ingin melihat, Ma."
"Itu yang sangat kuinginkan, Sayang," jawab mamaku.
"Akan tetapi... aku mencintai kesunyian. Bisakah aku melihat tanpa harus melepaskan kesunyian yang lama menemaniku, Ma?"
Tidak ada jawaban selain belaian hangat yang mendarat di rambutku. Sesuatu yang hangat mendarat di atas keningku.
"Mama menangis?" tanyaku. "Maaf, Ma, kalau keinginanku membuat mama menangis, aku akan mengurungkannya," lanjutku.
"Tidak, Sayang. Mama menangis tidak untuk alasan itu."
*****
"Ma, ternyata apa yang kulihat sekarang, tidak seindah dengan apa yang aku bayangkan," keluhku ketika dunia ini tidak lagi hanya bisa kudengar, melainkan bisa kulihat dan kuraba.
"Aku ingin kembali kepada kesunyian, ketika keindahan hanya bisa kudengar saja."
Cibatu, 24 Juli 2016